Abulrahman Saleh Dokter Dosen dan Penerbang

 

Pada tanggal 29 Juli 1947, pesawat terbang Dakota kepunyaan Patnaik, yang membawa obat-obatan dari Singapura ditembak jatuh oleh pesawat pemburu Belanda ketika akan mendarat di Meguwo , Yogyakarta.  Seluruh penumpangnya tewas. Mereka itu antara lain adalah Adisutjipto, Dr. Abdulrahman Saleh, Adisumarmo Wirjokusumo, ex Wing Kommander Constantine, Ny. Constantine, ex Squadron Leader Haxelhurst (Supeni, 2001 : 268-270).

Saya sudah menyampaikan biografi singkat Adisutjipto. Berikut ini biografi singkat Abdulrahman Saleh.

Abdulrahman Saleh  yang  lahir di Jakarta 1 Juli 1909 berasal dari keluarga dokter. Setamatnya dari MULO ia meneruskan pendidikan ke STOVIA Jakarta lalu ke AMS di Malang dan GHS (Sekolah Tinggi Kedokteran) Jakarta. Setelah tamat  pada tahun 1937 ia melanjutkan tugasnya di laboratorium fisi ologi GHS di samping membuka praktik umum.

Pada zaman pendudukan Jepang, ia bekerja sebagai dosen ilmu fisiologi di NIAS (Nederlands Indische Artsen Scholl) dan Gouvernment Instituut voor Lichmaelijke Opvoeding (sekolah guru pendidikan jasmani) di Surabaya, di samping doketer RSUP Negeri bagian Rontgen.

Sejak muda ia seneng berorganisasi, baik dalam gerakan pemuda seperti Indonesia Muda maupun kepanduan, tempat ia mendapat julukan Si Karbol. Menjelang pecahnya Perang Dunia II ia menjadi anggota Aeroclub atau klub penerbang. Ia ikut mendirikan VORO (Verenigde Oosterse Radio Omroep), perkumpulan penyiar radio. Ia juga menjadi wakil ketua PPRK (Perikatan Perhimpunan Radio Ketimuran) dalam Dewan Pertimbangan programa siaran Ketimuran di  Bandung. Sewaktu Jepang membuka kembali Ika Dai Gaku, Sekolah Tinggi Kedokteran, ia menjadi salah seorang  pengajarnya.

Sewaktu jawatan penerbangan RI (cikal bakal TNI-AU) terbentuk, Abdulrahman bergabung. Ia belajar menerbangkan pesawat peninggalan Jepang dengan insturuktur Komodor Muda Agustinus Adisutjipto yang pernah menjadi mahasiswanya di Ika Dai Gaku.



Menjelang bulan Juni 1947, ia bersama Adisutjipto mendapat tugas ke India untuk mencari bantuan obat-obatan dan tenaga instruktur. Mereka menggunakan pesawat sewaan dari industrialis India, Patnaik.  Sewaktu pulang dari India dan hendak mendarat di Maguwo, Yogyakarta, secara tiba-tiba pesawat mereka diserang dua buah pesawat Mustang Belanda sehingga jatuh dan terbakar pada tanggal 19 Juli 1947. Abdulrahman Saleh dan Adisutjipto gugur bersama penumpang lain. Hanya satu yang selamat. Sebagai penghormatan atas jasa dan pengorbanannya, pangkat Abdulrahman dinaikkan secara anumerta dari komodor udara menjadi laksamana muda udara.  Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Kuncen, Yogyakarta. Namanya diabadikan pada pangkalan udara Malang pada tahun 1952. Ia mendapat Satyalencana Bintang Garuda pada tahun 1959 dan Bintang Mahaputra pada tahun 1961. Pada tahun 1958 ia diakui sebagai Bapak Ilmu Faal Indonesia oleh Universitas Indonesia karena  jasanya yang besar dalam ilmu faal. Pada tahun 1974 dianugerahi  gelar Pahlawan Nasional (Soebagio I. N., 2004 : 344).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan