B.M. Diah
Salah seorang pemuda revolusioner yang terlibat dalam
proses proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah B.M. Diah. Burhanuddin Muhammad Diah lahir di Kutaraja (Banda
Aceh), pada 7 April1917. Lulus Sekolah Dasar ia melanjutkan ke AMS di Jakarta
dan sekolah dagang di Bandung. Setelah itu ia melanjutkan ke Sekolah Tinggi
Ekonomi di Bandung. Namun ia lebih tertarik menjadi wartawan. Karena itu ia
masuk Sekolah Jurnalis Ksatrian di bawah pimpinan Dr. E.E. Douwes Dekker di
Bandung.
Di sekolah itu, ia sempat bertanya kepada Douwes
Dekker alias Setiabudi, “Pada umur berapa seseorang bisa menjadi wartawan
terkenal ?” Sang guru menjawab, “Empat puluh tahun.” Belakangan terbukti,
sebelum usia itu, Diah telah terkenal. Dia sempat menjadi sekretaris pribadi
Setiabudi. Setelah itu ia pulang ke Medan dan bekerja di harian Sinar Deli. Di
zaman Jepang ia turut dalampenerbitan Pertjatoeran Doenia dan Film dan memimpin
harian Asia Raja.
Penyimpan Naskah Proklamasi
BM Diah ikut hadir langsung saat naskah
proklamasi tengah dirumuskan. Lelaki kelahiran Kutaraja, Aceh, 7 April 1917 itu
pula yang menyelamatkan teks asli proklamasi yang ditulis tangan Sukarno. Sebab
setelah teks itu diketik ulang oleh Sayuti Melik, teks dalam tulisan tangan
lantas dibuang begitu saja ke tempat sampah.
"Naskah proklamasi yang didikte Bung Hatta dan ditulis tangan oleh Bung Karno itu sempat dikuwel-kuwel dan dibuang setelah Bung Sajuti Melik mengetik naskah asli Proklamasi. Suami saya mengambil naskah draft itu, dirapikan dan diselipkan ke buku catatan yang dibawanya," kenang Siti Latifah Herawati Diah, istri BM Diah, suatu ketika.
"Naskah proklamasi yang didikte Bung Hatta dan ditulis tangan oleh Bung Karno itu sempat dikuwel-kuwel dan dibuang setelah Bung Sajuti Melik mengetik naskah asli Proklamasi. Suami saya mengambil naskah draft itu, dirapikan dan diselipkan ke buku catatan yang dibawanya," kenang Siti Latifah Herawati Diah, istri BM Diah, suatu ketika.
Kalau pun boleh disebut sial, BM Diah
tak sempat menyaksikan langsung pembacaan teks proklamasi oleh Sukarno – Hatta,
17 Agustus 1945. Sebab dia dan sejumlah wartawan lainnya sudah terlanjur berada
di Lapangan Ikada, tempat yang semula direncanakan untuk pembacaan proklamasi.
BM Diah dan rekan-rekannya menyebarkan berita proklamasi dengan mencetak surat kabar dan selebaran serta menyebarkannya ke pelosok Indonesia. Mereka juga kala itu berhasil menguasai percetakan milik Jepang.
Karena hingga September 1945 masih banyak tentara Jepang di Indonesia, BM Diah dan tokoh pemuda lainnya memutuskan ikut angkat senjata dan merebut percetakan "Djawa Shimbun" yang menerbitkan Harian Asia Raja (detiknews, 17 Agustus2017).
BM Diah dan rekan-rekannya menyebarkan berita proklamasi dengan mencetak surat kabar dan selebaran serta menyebarkannya ke pelosok Indonesia. Mereka juga kala itu berhasil menguasai percetakan milik Jepang.
Karena hingga September 1945 masih banyak tentara Jepang di Indonesia, BM Diah dan tokoh pemuda lainnya memutuskan ikut angkat senjata dan merebut percetakan "Djawa Shimbun" yang menerbitkan Harian Asia Raja (detiknews, 17 Agustus2017).
Merdeka
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Diah segera
menerbitkan harian Merdeka pada tanggal 1 Oktober 1945. Peristiwa yang dapat
dicatat pada awal harian ini ialah perselisihannya dengan Rosihan Anwar, yang
turut mendirikan koran itu. Akhirnya, Rosihan Anwar keluar dari Merdeka pada
tahun 1947. Harmoko yang menjabat
Menteri Penerangan di era Orde Baru, cukup lama menjadi wartawan Merdeka.
Mulai tahun 1959, B.M. Diah menjadi duta besar untuk
Cekoslowakia, Inggris, lalu Thailand. Memasuki zaman Orde Baru, tahun 1968 ia
menjadi menteri penerangan. Setelah itu ia mendirikan Hotel Hyat Aryaduta.
Bersama Mochtar Lubis, Diah pernah menerbitkan majalah Masa, namun tidak
bertahan lama. Dia juga menerbitkan majalah Ekspres (1970), Topik (1972) dan
harian Jurnal Ekuin (1981). Majalah-majalah tersebut sudah tidak terbit lagi.
Dalam keorganisasian kewartawanan, Diah terpilih
sebagai Ketua Umum Dewan Pers selama dua masa jabatan (1981-1987). Ia juga
pernah menjadi Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Di PWI ia bentrok lagi
dengan Rosihan Anwar dari harian Pedoman dan Jacob Oetama dari harian Kompas
(Haribowo, ENI Vol. 4, 2004 : 338).
Atas jasa-jasanya BM Diah menerima
Bintang Mahaputra Utama dari Presiden Soeharto pada 10 Mei 1978. Ia juga meraih
penghargaan medali perjuangan angkatan 45 dari Dewan Harian Nasional Angkatan
45 pada 17 Agustus 1995. Pada 10 Juni 1996, BM Diah menghembuskan napas
terakhir. Hingga saat terakhir menjelang tutup usia, BM Diah masih terus
bekerja (detiknews, 17 Agustus 2017).
Komentar
Posting Komentar