RMT Ario Soerjo Gubernur Pertama Jawa Timur
Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo (biasa dikenal dengan nama Gubernur Soerjo), lahir di Magetan, Jawa Timur, 9 Juli 1898. Beliau memasuki sekolah HIS (Holland Inlandsch School) di Madiun kemudian dilanjutkan OSVIA Madiun dan lulus mendapatkan diploma lalu melanjutkan sekolah ke Sekolah Pamong Praja (Bestuurschool) dan mendapatkan diploma kelulusannya. Dia sempat pula sekolah Polisi di Jakarta.
RMTA Soerjo menikah dengan Raden Ajoe Siti Moestopeni putri dari Raden Mas Ario Hadiwinoto dari Ponorogo dan memiliki seorang putri bernama Raden Adjeng Siti Soeprapti.. Melalui besluit Kepala Departemen van Binnenlandsch Bestuur tanggal 22-8-1917 No. 1442/CII, dia ditunjuk sebagai pangreh praja di residensi Madiun. Kemudian melalui besluit residen Madiun, diangkat menjadi kontrolir Ngawi. Sejak itu beberapa jabatan yang diberikan melalui besluit residen Madiun diterima, seperti : Wedono, Mantri polisi, Assisten Wedono, dan lain-lain. Dari tahun 1938 hingga tahun 1943 ia menjabat Bupati di Kabupaten Magetan. Setelah menjabat bupati Magetan, ia menjabat Su Cho Kan Bojonegoro (Residen).
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Soerjo dipilih oleh PPKI menjadi Gubernur Jawa Timur hingga tahun 1948 (Biografi Para Pahlawan, Minggu, 10 Januari 2016).
Pertempuran Surabaya
Pada saat Soerjo menjadi Gubernur Jawa Timur, ia membuat perjanjian gencatan senjata dengan komandan pasukan Inggris Brigadir Jendral Mallaby di Surabaya pada tanggal 26 Oktober 1945. Namun tetap saja meletus pertempuran tiga hari di Surabaya 28-30 Oktober yang membuat Inggris terdesak.
Presiden Sukarno memutuskan datang ke Surabaya untuk mendamaikan kedua pihak. Gencatan senjata yang disepakati tidak diketahui sepenuhnya oleh para pejuang pribumi. Tetap saja terjadi kontak senjata yang menewaskan Mallaby. Hal ini menyulut kemarahan pasukan Inggris. Komandan pasukan yang bernama Jenderal Mansergh mengultimatum rakyat Surabaya supaya menyerahkan semua senjata paling lambat tanggal 9 November 1945, atau keesokan harinya Surabaya akan dihancurkan. Menanggapi ultimatum tersebut, Presiden Sukarno menyerahkan sepenuhnya keputusan ditangan pemerintah Jawa Timur, yaitu menolak atau menyerah. Gubernur Soerjo dengan tegas berpidato di RRI bahwa Arek-Arek Suroboyo akan melawan ultimatum Inggris sampai darah penghabisan. Maka meletuslah pertempuran besar antara rakyat Jawa Timur melawan Inggris di Surabaya yang dimulai tanggal 10 November 1945. Selama tiga minggu pertempuran terjadi di mana Surabaya akhirnya menjadi kota mati. Gubernur Soerjo termasuk golongan yang terakhir meninggalkan Surabaya untuk kemudian membangun pemerintahan darurat di Mojokerto (Sumber : Anonim).
Ketua DPA
Pada bulan Juni 1947, Suryo diangkat menjadi wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) berkedudukan di Yogyakarta. Lalu, Soerjo menjadi ketua dewan tersebut karena sang ketua, Ahmad Wiranatakusumah, dalam keadaan sakit.
Peristiwa Madiun
Pada tanggal 18 September 1948, PKI melancarkan pemberontakan di Madiun. Mereka berhasil pula menguasai beberapa kota lain. Pemerintah segera bertindak. Tanggal 30 September Madiun direbut kembali oleh pasukan yang setia kepada pemerintah, tetapi keamanan belum pulih seluruhnya. Di beberapa tempat, orang-orang komunis masih melakukan pengacauan.
Dalam kondisi seperti itulah, Soerjo pada tanggal 10 November 1948 berangkat dari Yogyakarta menuju Madiun. Dia bermaksud menghadiri peringatan 40 hari meninggalnya adiknya yang dibunuh orang-orang PKI meskipun sejumlah sahabat, termasuk Wakil Presiden Mohammad Hatta, meminta agar Suryo mengurungkan maksudnya. Tetapi, Soerjo tetap pada pendiriannya. Soerjo tiba sore hari di Surakarta. Sudiro yang ketika itu menjadi Residen Surakarta menahan Soerjo supaya bermalam dan perjalanan diteruskan esok hari. Suryo melanjutkan perjalanannya ke Madiun pagi-pagi sekali. Di Desa Gendingan, sekali lagi diperingatkan supaya Suryo tidak meneruskan perjalanan. Namun, peringatan itu juga diabaikan.
Di Desa Bogo, Kedunggalar, Ngawi, mobil Soerjo berpapasan dengan sisa-sisa gerombolan PKI. Pada saat itu pula dari arah Madiun datang mobil yang ditumpangi oleh Komisaris Besar (Kolonel) Polisi M. Durijat dan Komisaris (Mayor) Polisi Suroko dalam perjalanan ke Yogyakarta. Kedua mobil itu diperintahkan berhenti oleh gerombolan PKI tersebut.
Soerjo, Duryat, dan Suroko diperintahkan turun dari mobil. Mereka dibawa ke hutan. Di tempat inilah Gubernur Suryo dan dua orang lainnya itu dihabisi PKI. Empat hari kemudian, jenazah Suryo ditemukan penduduk di Kali Kakah, Dukuh Ngandu, Desa Bangunrejo, Kedunggalar, Ngawi, lalu dibawa ke Madiun dan dimakamkan di Pemakaman Sasana Mulya, Sawahan, Desa Kepalrejo, Magetan, dalam usia 50 tahun (wikipedia).
Monumen Soerjo.
Di tempat Gubernur Soerjo, Kolonel Polisi Duryat dan Mayor Polisi Suroko dihabisi oleh gerombolan PKI tersebut kini berdiri Monumen Soerjo. Monumen tersebut diresmikan pada 28 Oktober 1975 oleh Pangdam Brawijaya Mayjen TNI Witarmin.
RMTA Soerjo menikah dengan Raden Ajoe Siti Moestopeni putri dari Raden Mas Ario Hadiwinoto dari Ponorogo dan memiliki seorang putri bernama Raden Adjeng Siti Soeprapti.. Melalui besluit Kepala Departemen van Binnenlandsch Bestuur tanggal 22-8-1917 No. 1442/CII, dia ditunjuk sebagai pangreh praja di residensi Madiun. Kemudian melalui besluit residen Madiun, diangkat menjadi kontrolir Ngawi. Sejak itu beberapa jabatan yang diberikan melalui besluit residen Madiun diterima, seperti : Wedono, Mantri polisi, Assisten Wedono, dan lain-lain. Dari tahun 1938 hingga tahun 1943 ia menjabat Bupati di Kabupaten Magetan. Setelah menjabat bupati Magetan, ia menjabat Su Cho Kan Bojonegoro (Residen).
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Soerjo dipilih oleh PPKI menjadi Gubernur Jawa Timur hingga tahun 1948 (Biografi Para Pahlawan, Minggu, 10 Januari 2016).
Pertempuran Surabaya
Pada saat Soerjo menjadi Gubernur Jawa Timur, ia membuat perjanjian gencatan senjata dengan komandan pasukan Inggris Brigadir Jendral Mallaby di Surabaya pada tanggal 26 Oktober 1945. Namun tetap saja meletus pertempuran tiga hari di Surabaya 28-30 Oktober yang membuat Inggris terdesak.
Presiden Sukarno memutuskan datang ke Surabaya untuk mendamaikan kedua pihak. Gencatan senjata yang disepakati tidak diketahui sepenuhnya oleh para pejuang pribumi. Tetap saja terjadi kontak senjata yang menewaskan Mallaby. Hal ini menyulut kemarahan pasukan Inggris. Komandan pasukan yang bernama Jenderal Mansergh mengultimatum rakyat Surabaya supaya menyerahkan semua senjata paling lambat tanggal 9 November 1945, atau keesokan harinya Surabaya akan dihancurkan. Menanggapi ultimatum tersebut, Presiden Sukarno menyerahkan sepenuhnya keputusan ditangan pemerintah Jawa Timur, yaitu menolak atau menyerah. Gubernur Soerjo dengan tegas berpidato di RRI bahwa Arek-Arek Suroboyo akan melawan ultimatum Inggris sampai darah penghabisan. Maka meletuslah pertempuran besar antara rakyat Jawa Timur melawan Inggris di Surabaya yang dimulai tanggal 10 November 1945. Selama tiga minggu pertempuran terjadi di mana Surabaya akhirnya menjadi kota mati. Gubernur Soerjo termasuk golongan yang terakhir meninggalkan Surabaya untuk kemudian membangun pemerintahan darurat di Mojokerto (Sumber : Anonim).
Ketua DPA
Pada bulan Juni 1947, Suryo diangkat menjadi wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) berkedudukan di Yogyakarta. Lalu, Soerjo menjadi ketua dewan tersebut karena sang ketua, Ahmad Wiranatakusumah, dalam keadaan sakit.
Peristiwa Madiun
Pada tanggal 18 September 1948, PKI melancarkan pemberontakan di Madiun. Mereka berhasil pula menguasai beberapa kota lain. Pemerintah segera bertindak. Tanggal 30 September Madiun direbut kembali oleh pasukan yang setia kepada pemerintah, tetapi keamanan belum pulih seluruhnya. Di beberapa tempat, orang-orang komunis masih melakukan pengacauan.
Dalam kondisi seperti itulah, Soerjo pada tanggal 10 November 1948 berangkat dari Yogyakarta menuju Madiun. Dia bermaksud menghadiri peringatan 40 hari meninggalnya adiknya yang dibunuh orang-orang PKI meskipun sejumlah sahabat, termasuk Wakil Presiden Mohammad Hatta, meminta agar Suryo mengurungkan maksudnya. Tetapi, Soerjo tetap pada pendiriannya. Soerjo tiba sore hari di Surakarta. Sudiro yang ketika itu menjadi Residen Surakarta menahan Soerjo supaya bermalam dan perjalanan diteruskan esok hari. Suryo melanjutkan perjalanannya ke Madiun pagi-pagi sekali. Di Desa Gendingan, sekali lagi diperingatkan supaya Suryo tidak meneruskan perjalanan. Namun, peringatan itu juga diabaikan.
Di Desa Bogo, Kedunggalar, Ngawi, mobil Soerjo berpapasan dengan sisa-sisa gerombolan PKI. Pada saat itu pula dari arah Madiun datang mobil yang ditumpangi oleh Komisaris Besar (Kolonel) Polisi M. Durijat dan Komisaris (Mayor) Polisi Suroko dalam perjalanan ke Yogyakarta. Kedua mobil itu diperintahkan berhenti oleh gerombolan PKI tersebut.
Soerjo, Duryat, dan Suroko diperintahkan turun dari mobil. Mereka dibawa ke hutan. Di tempat inilah Gubernur Suryo dan dua orang lainnya itu dihabisi PKI. Empat hari kemudian, jenazah Suryo ditemukan penduduk di Kali Kakah, Dukuh Ngandu, Desa Bangunrejo, Kedunggalar, Ngawi, lalu dibawa ke Madiun dan dimakamkan di Pemakaman Sasana Mulya, Sawahan, Desa Kepalrejo, Magetan, dalam usia 50 tahun (wikipedia).
Monumen Soerjo.
Di tempat Gubernur Soerjo, Kolonel Polisi Duryat dan Mayor Polisi Suroko dihabisi oleh gerombolan PKI tersebut kini berdiri Monumen Soerjo. Monumen tersebut diresmikan pada 28 Oktober 1975 oleh Pangdam Brawijaya Mayjen TNI Witarmin.
Komentar
Posting Komentar