Soetardjo Kartohadikoesoemo Gubernur Pertama Jawa Barat
Mas Soetardjo Kartohadikoesoemo lahir di Kunduran, Blora, Jawa Tengah, Rabu, 22 Oktober 1892 . Mas Soetardjo Kartohadikoesoemo adalah putra seorang Assistant-Wedono di onder-distrik Kunduran, yaitu Kiai Ngabehi Kartoredjo. Sedangkan Ibunda Soetardjo, Mas Ajoe Kartoredjo, adalah keturunan keluarga pemerintahan dari Banten. Keluarga Soetardjo adalah keluarga pamong praja. Semua saudara laki-lakinya menjadi pegawai negeri, sedangkan yang perempuan menjadi istri pegawai negeri.
Walaupun berasal dari keluarga pegawai pemerintahan yang terpandang, masa kecil Soetardjo banyak dilalui bersama masyarakat desa. Hal itu mengilhaminya di kemudian hari untuk menulis buku tentang desa.
Soetardjo mengikuti Sekolah Jawa di Ngawi (1899) dan Sekolah Belanda di Blora (1900). Sumber lain mengatakan ia lulus Sekolah Belanda ELS (Europese Lagere School) di Tuban pada tahun 1906. Di akhir masa sekolahnya, Soetardjo mengikuti dan lulus ujian menjadi pegawai rendah (kleinambtenaarsexamen) pada 1906. Tetapi Soetardjo tidak memilih menjadi pegawai rendah, melainkan melanjutkan pendidikan di OSVIA (Opleiding School Voor Inlandse Ambtenaaren atau OSVIA) di Magelang. Disinilah Soetardjo mulai bersentuhan dengan organisasi pergerakan.
Pada 1919, Soetardjo yang saat itu berusia 19 tahun telah terpilih sebagai Ketua Cabang Boedi Oetomo hingga 1921 saat meninggalkan sekolah dan “magang” kerja pada kantor Assisten Resident di Blora. Saat itu yang menjadi Ketua Boedi Oetomo adalah R.T.A. Tirtokoesoemo, Bupati Karanganyar. Selain itu ia pun menjadi Wakil Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Oud Osvianen Bond (OOB).
Tidak sampai 1 tahun magang, pada 19 Oktober 1911 Soetardjo diangkat sebagai pembantu juru tulis (hulpschrijver) pada kantor Resident Rembang. Dua bulan kemudian, yaitu pada 23 Desember 1911, diangkat sebagai juru tulis jaksa, serta lima bulan kemudian diangkat sebagai Mantri Kabupaten. Setelah menduduki jabatan tersebut selama 19 bulan, Soetardjo diangkat sebagai Assistant-Wedono.
Jabatan-jabatan tersebut membuat Soetardjo banyak belajar melakukan pekerjaan-pekerjaan pemerintahan hingga membuat berita acara pemeriksaan serta berkas tuntutan jaksa dalam bahasa Indonesia dan Belanda.
Walaupun dibesarkan dalam keluarga birokrat jawa, namun Soetardjo memiliki pandangan yang menentang feodalisme, terutama yang merendahkan masyarakat pribumi dihadapan orang Belanda.
Saat menjabat sebagai Mantri, Soetardjo mengajukan protes terhadap tata cara konferensi yang menempatkan pamong praja dengan pakaian hitam memakai keris dan duduk silo di atas tikar, sedangkan pegawai Belanda duduk di atas kursi. Pada konferensi bulan berikutnya, semua pamong praja dibolehkan memakai sikepan putih dan duduk di atas kursi.
Pada 1913, Soetardjo mendapatkan kenaikan pangkat sebagai Assisten Wedono onderdistrik Bogorejo di daerah Blora. Saat menjabat sebagai Assistent Wedono Bogorejo, Soetardjo menggagas dan memelopori berdirinya koperasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa yang terpuruk karena praktik tengkulak.
Karena kerja kerasnya karirnya pun semakin meningkat dan saat terbentuknya PPBB, is ditunjuk sebagai wakil ketua dan dicalonkan kemudian terpilih menjadi anggota Volksraad mewakili Jawa Timur. Selama menjadi anggota Volksraad, Soetardjo berhubungan erat dengan para mahasiswa Bestuuracademi.
Soetardjo melontarkan gagasan-gagasannya tentang perlunya mengubah hubungan dan tata kerja pamong praja yang feodal menjadi lebih modern. Ia bersama pangreh praja pribumi lain mendirikan Persatoean Pegawai Bestuur Bumipoetera (PPBB) yang aktif mengusahakan kemajuan rakyat dan daerah. Selain itu ia juga mendirikan Soetardjo Bank melalui kongres PPBB.
Soetardjo juga memperjuangkan dikeluarkannya pamong praja dari Peraturan Gaji Regional (Regionale Bezoldingingsregeling) yang merugikan dan dimasukkan ke dalam Peraturan Gaji Pegawai (Bezoldingings-regeling Burgerlijke Landsdienaren) sehingga lebih pantas.
Petisi Soetardjo
Selama menjadi anggota Volksraad, ia penggagas Petisi Soetardjo. Petisi ini diajukan pada 15 Juli 1936, kepada Ratu Wilhelmina serta Staten Generaal (parlemen Belanda). Petisi ini diajukan karena ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan politik Gubernur Jenderal De Jonge. Selain itu Soetardjo juga mengajukan banyak mosi yang bersifat strategis demi kemajuan rakyat. Mosi tersebut diantaranya adalah:
1. Mosi kepada pemerintah Belanda untuk memberikan sumbangan 25 juta Gulden untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat desa. Mosi ini diterima, dan diantaranya digunakan untuk pembangunan waduk di Cipanas sebesar 2 juta Gulden.
2. Mosi untuk memajukan ekonomi rakyat dengan membentuk welvaartsfonds dan welvaartscommissie dengan tugas merancang upaya memberantas kemiskinan.
3. Mosi berupa tuntutan mengubah sebutan inlander dalam semua undang-undang menjadi Indonesia
4. Mosi membuat peraturan milisi bagi penduduk Indonesia dan memberi kesempatan yang lebih besar kepada bangsa Indonesia untuk menjadi anggota militer.
5. Mosi berupa permohonan untuk memperbanyak sekolah Inlandsche Mulo, mengadakan sekolah kejuruan menengah (middelbare vakschool), menyelenggarakan wajib belajar setempat (locale leerplicht) mengingat terbatasnya biasa untuk melaksanakan wajib belajar nasional (leerplicht).
Saksi di Landraad.
Saat Sukarno diadili di Landraad Bandung tahun 1930-an karena dituding hendak memberontak kaum kolonial, Soetardjo—waktu itu anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) cabang Bandung dan peserta kursus kepemimpinan yang diselenggarakan partai tersebut—ditunjuk untuk menulis kesaksian tentang kegiatan kursus kepemimpinan sebagai klarifikasi atas tuduhan yang menyeret Sukarno dkk ke meja hijau
Selain itu, Soetardjo juga berperan aktif dalam pembuatan kebijakan-kebijakan, diantaranya adalah pembuatan Desa Ordonnantie 1941, serta pembentukan Comite voor onderwijsbelangen, pembentukan Hof van Islamitische Zaken.
Setelah penjajahan Belanda berakhir dan digantikan oleh pemerintahan Jepang dengan kemampuan dan pengalaman pemerintahan yang dimiliki, Soetardjo diangkat sebagai pemimpin Departemen Dalam Negeri (Sanyoo Naimubu).
Pada 17 Agustus 1945, Soetardjo menghadiri upacara pembacaan proklamasi. Proklamasi tersebut kemudian diberitahukan kepada pemerintah militer Jepang. Untuk melakukan hal tersebut Soetardjo ditunjuk sebagai utusan dengan didampingi oleh Mr. Kasman Singodimedjo.
Pada rapat PPKI 18 Agustus 1945, selain disahkan UUD 1945, juga dibentuk provinsi dan kementerian kabinet. Soetardjo dipilih sebagai Gubernur Jawa Barat yang pertama. Menurut UU No. 1 Tahun 1945, daerah Jawa Barat saat itu menjadi daerah otonom provinsi. Sekalipun ia adalah Gubernur Jawa Barat, namun ia tidak berkantor di Bandung, melainkan di Jakarta.
Soetardjo merupakan tokoh nasional yaitu anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Selain itu ia pernah menjabat juga sebagai Ketua DPA. Wakil Ketua Dewan Kurator Universitas Gadjah Mada (1948-1967), Dosen luar biasa Universitas Padjadjaran (1956-1959), Dosen luar biasa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung (1964-1967), Ketua Palang Merah Indonesia kedua (1946-1948), Ketua Dewan Presidium Persatuan Pensiun Republik Indonesia (1961-1965) dan Wakil Ketua Pimpinan Pusat Partai Persatuan Indonesia Raya (1950-1956). (Somya Samita,m.merdeka.com; tirto.id; dll.).
Mas Soetardjo Kartohadikoesoemo wafat di Jakarta pada tanggal 20 Desember 1976 (Sumber : Harimurti Soetardjo).
Walaupun berasal dari keluarga pegawai pemerintahan yang terpandang, masa kecil Soetardjo banyak dilalui bersama masyarakat desa. Hal itu mengilhaminya di kemudian hari untuk menulis buku tentang desa.
Soetardjo mengikuti Sekolah Jawa di Ngawi (1899) dan Sekolah Belanda di Blora (1900). Sumber lain mengatakan ia lulus Sekolah Belanda ELS (Europese Lagere School) di Tuban pada tahun 1906. Di akhir masa sekolahnya, Soetardjo mengikuti dan lulus ujian menjadi pegawai rendah (kleinambtenaarsexamen) pada 1906. Tetapi Soetardjo tidak memilih menjadi pegawai rendah, melainkan melanjutkan pendidikan di OSVIA (Opleiding School Voor Inlandse Ambtenaaren atau OSVIA) di Magelang. Disinilah Soetardjo mulai bersentuhan dengan organisasi pergerakan.
Pada 1919, Soetardjo yang saat itu berusia 19 tahun telah terpilih sebagai Ketua Cabang Boedi Oetomo hingga 1921 saat meninggalkan sekolah dan “magang” kerja pada kantor Assisten Resident di Blora. Saat itu yang menjadi Ketua Boedi Oetomo adalah R.T.A. Tirtokoesoemo, Bupati Karanganyar. Selain itu ia pun menjadi Wakil Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Oud Osvianen Bond (OOB).
Tidak sampai 1 tahun magang, pada 19 Oktober 1911 Soetardjo diangkat sebagai pembantu juru tulis (hulpschrijver) pada kantor Resident Rembang. Dua bulan kemudian, yaitu pada 23 Desember 1911, diangkat sebagai juru tulis jaksa, serta lima bulan kemudian diangkat sebagai Mantri Kabupaten. Setelah menduduki jabatan tersebut selama 19 bulan, Soetardjo diangkat sebagai Assistant-Wedono.
Jabatan-jabatan tersebut membuat Soetardjo banyak belajar melakukan pekerjaan-pekerjaan pemerintahan hingga membuat berita acara pemeriksaan serta berkas tuntutan jaksa dalam bahasa Indonesia dan Belanda.
Walaupun dibesarkan dalam keluarga birokrat jawa, namun Soetardjo memiliki pandangan yang menentang feodalisme, terutama yang merendahkan masyarakat pribumi dihadapan orang Belanda.
Saat menjabat sebagai Mantri, Soetardjo mengajukan protes terhadap tata cara konferensi yang menempatkan pamong praja dengan pakaian hitam memakai keris dan duduk silo di atas tikar, sedangkan pegawai Belanda duduk di atas kursi. Pada konferensi bulan berikutnya, semua pamong praja dibolehkan memakai sikepan putih dan duduk di atas kursi.
Pada 1913, Soetardjo mendapatkan kenaikan pangkat sebagai Assisten Wedono onderdistrik Bogorejo di daerah Blora. Saat menjabat sebagai Assistent Wedono Bogorejo, Soetardjo menggagas dan memelopori berdirinya koperasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa yang terpuruk karena praktik tengkulak.
Karena kerja kerasnya karirnya pun semakin meningkat dan saat terbentuknya PPBB, is ditunjuk sebagai wakil ketua dan dicalonkan kemudian terpilih menjadi anggota Volksraad mewakili Jawa Timur. Selama menjadi anggota Volksraad, Soetardjo berhubungan erat dengan para mahasiswa Bestuuracademi.
Soetardjo melontarkan gagasan-gagasannya tentang perlunya mengubah hubungan dan tata kerja pamong praja yang feodal menjadi lebih modern. Ia bersama pangreh praja pribumi lain mendirikan Persatoean Pegawai Bestuur Bumipoetera (PPBB) yang aktif mengusahakan kemajuan rakyat dan daerah. Selain itu ia juga mendirikan Soetardjo Bank melalui kongres PPBB.
Soetardjo juga memperjuangkan dikeluarkannya pamong praja dari Peraturan Gaji Regional (Regionale Bezoldingingsregeling) yang merugikan dan dimasukkan ke dalam Peraturan Gaji Pegawai (Bezoldingings-regeling Burgerlijke Landsdienaren) sehingga lebih pantas.
Petisi Soetardjo
Selama menjadi anggota Volksraad, ia penggagas Petisi Soetardjo. Petisi ini diajukan pada 15 Juli 1936, kepada Ratu Wilhelmina serta Staten Generaal (parlemen Belanda). Petisi ini diajukan karena ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan politik Gubernur Jenderal De Jonge. Selain itu Soetardjo juga mengajukan banyak mosi yang bersifat strategis demi kemajuan rakyat. Mosi tersebut diantaranya adalah:
1. Mosi kepada pemerintah Belanda untuk memberikan sumbangan 25 juta Gulden untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat desa. Mosi ini diterima, dan diantaranya digunakan untuk pembangunan waduk di Cipanas sebesar 2 juta Gulden.
2. Mosi untuk memajukan ekonomi rakyat dengan membentuk welvaartsfonds dan welvaartscommissie dengan tugas merancang upaya memberantas kemiskinan.
3. Mosi berupa tuntutan mengubah sebutan inlander dalam semua undang-undang menjadi Indonesia
4. Mosi membuat peraturan milisi bagi penduduk Indonesia dan memberi kesempatan yang lebih besar kepada bangsa Indonesia untuk menjadi anggota militer.
5. Mosi berupa permohonan untuk memperbanyak sekolah Inlandsche Mulo, mengadakan sekolah kejuruan menengah (middelbare vakschool), menyelenggarakan wajib belajar setempat (locale leerplicht) mengingat terbatasnya biasa untuk melaksanakan wajib belajar nasional (leerplicht).
Saksi di Landraad.
Saat Sukarno diadili di Landraad Bandung tahun 1930-an karena dituding hendak memberontak kaum kolonial, Soetardjo—waktu itu anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) cabang Bandung dan peserta kursus kepemimpinan yang diselenggarakan partai tersebut—ditunjuk untuk menulis kesaksian tentang kegiatan kursus kepemimpinan sebagai klarifikasi atas tuduhan yang menyeret Sukarno dkk ke meja hijau
Selain itu, Soetardjo juga berperan aktif dalam pembuatan kebijakan-kebijakan, diantaranya adalah pembuatan Desa Ordonnantie 1941, serta pembentukan Comite voor onderwijsbelangen, pembentukan Hof van Islamitische Zaken.
Setelah penjajahan Belanda berakhir dan digantikan oleh pemerintahan Jepang dengan kemampuan dan pengalaman pemerintahan yang dimiliki, Soetardjo diangkat sebagai pemimpin Departemen Dalam Negeri (Sanyoo Naimubu).
Pada 17 Agustus 1945, Soetardjo menghadiri upacara pembacaan proklamasi. Proklamasi tersebut kemudian diberitahukan kepada pemerintah militer Jepang. Untuk melakukan hal tersebut Soetardjo ditunjuk sebagai utusan dengan didampingi oleh Mr. Kasman Singodimedjo.
Pada rapat PPKI 18 Agustus 1945, selain disahkan UUD 1945, juga dibentuk provinsi dan kementerian kabinet. Soetardjo dipilih sebagai Gubernur Jawa Barat yang pertama. Menurut UU No. 1 Tahun 1945, daerah Jawa Barat saat itu menjadi daerah otonom provinsi. Sekalipun ia adalah Gubernur Jawa Barat, namun ia tidak berkantor di Bandung, melainkan di Jakarta.
Soetardjo merupakan tokoh nasional yaitu anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Selain itu ia pernah menjabat juga sebagai Ketua DPA. Wakil Ketua Dewan Kurator Universitas Gadjah Mada (1948-1967), Dosen luar biasa Universitas Padjadjaran (1956-1959), Dosen luar biasa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung (1964-1967), Ketua Palang Merah Indonesia kedua (1946-1948), Ketua Dewan Presidium Persatuan Pensiun Republik Indonesia (1961-1965) dan Wakil Ketua Pimpinan Pusat Partai Persatuan Indonesia Raya (1950-1956). (Somya Samita,m.merdeka.com; tirto.id; dll.).
Mas Soetardjo Kartohadikoesoemo wafat di Jakarta pada tanggal 20 Desember 1976 (Sumber : Harimurti Soetardjo).
Komentar
Posting Komentar