Gerungan Sam Samuel Jacob Ratulangie Gubernur Pertama Sulawesi


"Si tou timou tumou tou" (Manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia).

Ratulangie lahir di Tondano, Sulawesi Utara, 5 November 1890 – putra dari Jozias Ratulangi dan Augustina Gerungan.  Jozias adalah seorang guru di Hoofden School (sekolah menengah untuk anak-anak- anak dari kepala desa di Tondano).  Ia menerima pelatihan guru di Haarlem, Belanda sekitar tahun 1880. Augustina adalah putri dari Jacob Gerungan, Kepala Distrik (Mayoor ) Tondano-Touliang.
Setamatnya dari Sekolah Teknik Koningin Wilhelmina School (KWS) jurusan mesin di Jakarta, Ratulangie  bekerja pada pembangunan kereta api di Priangan Selatan. Perlakuan tidak adil pihak perusahaan terhadap dirinya karena statusnya sebagai karyawan bumiputra sangat menyinggung perasaannya. Ia kemudian keluar dari perusahaan  itu dan melanjutkan pendidikan dengan maksud melebihi kemampuan oran gBelanda  dalam penguasaan ilmu pengetahuan.

Awal tahun 1912 ia berhasil memperoleh Middlebare Acte Wiskunde en Pedagogiek (ijazah untuk mengajar Ilmu Pasti dan pendidikan sekolah menengah) di Amsterdam. Setelah itu ia belajar Ilmu Pasti pada Vrije Universiteit.  Keanggotaan dalam Indische Vereniging (perhimpunan mahasiswa Indonesia kelak menjadi Perhimpunan Indonesia) digunakannya untuk memperjuangakan kemerdekaan Indonesia. Antara tahun 1915 dan 1919 Ratulangi melanjutkan pendidikan di Zurich. Ia pun terpilih sebagai Ketua Gabungan Mahasiswa Negara-negara Asia.

Sekembalinya ke Indonesia tahun 1919, Ratulangie mengajar di Sekolah Teknik Prinses Juliana School Yogyakarta, lalu pindah ke Bandung mendirikan sebuah perusahaan asuransi yang bernama Levensverzekering Maatschappij Indonesia. Ini menjadi perusahaan pertama yang membawa nama Indonesia di dalamnya. Di kota ini ia bersama Ir Cramer, Dr. Douwes Dekker dan Suwandi Suryaningrat pada tahun 1922,  Ratulangie mengadakan rapat besar di Bandung. Dalam rapat inilah istilah ‘Indonesia’ mulai diperkenalkan untuk membangkitkan semangat perjuangan menggapai kemerdekaan.Dalam rapat itu ia menegaskan perlunya zelf gouverment atau pemerintahan sendiri bagi Indonesia.

Ratulangie selama hidupnya dikenal banyak mendirikan organisasi-organisasi sosial untuk membantu sesama. Selain itu ia berkampanye untuk memperkenalkan kata Indonesia yang dapat mempersatukan orang di seluruh wilayah Nusantara. Menurutnya, Indonesia bukanlah hanya sebagai satuan kewilayahan, melainkan juga kesatuan politik yang terdiri dari berbagai pulau. Jadi jauh sebelum kemerdekaan, sosok Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi atau yang lebih dikenal dengan nama Sam Ratulangi berperan besar dalam kampanyenya membawa nama ‘Indonesia’ ke seluruh wilayah Tanah Air.

Sekembalinya di tanah asalnya, Minahasa pada 1924, ia menghapuskan sistem kerja paksa (rodi) pada rakyat Minahasa dan membuka transmigrasi lokal ke Minahasa Selatan saat menjabat sebagai sekretaris Dewan Minahasa (Minahasa Raad) pada tahun1924 hingga 1927.
Ratulangie sangat berbelas kasih kepada masyarakat. Sehingga rakyat Sulawesi ketika itu memberinya gelar ‘Tonaas’ atas keberanian, kepemimpinan serta perjuangannya dalam melindungi hak-hak rakyat Sulawesi.

Keanggotaan dalam Volksraad (1927-1937) sering dimanfaatkan Ratulangie untuk mengritik pemerintahan kolonial Belanda yang merugikan rakyat.  Ia berpidato keras mengenai ketidakadilan yang dilakukan oleh Belanda kepada Indonesia :
“…Hapuskan perbedaan antara bangsa Belanda dengan bangsa Indonesia. Sungguh amat banyak hal-hal yang tidak adil dirasakan oleh bangsa Indonesia, baik di bidang politik, ekonomi, pendidikan maupun dalam kegidupan sehari-hari. Perbedaan-perbedaan itu harus segera ditiadakan.”
Pada tahun 1932 ia mempelopori berdirinya Vereniging van Indonesische Academici (Persatuan Kaum Sarjana Indonesia), tempat berhimpunnya para sarjana dalam kegiatan mencerdaskan rakyat.

Antara tahun 1938 dan 1942, Ratulangie menerbitkan dan memimpin sebuah majalah mingguan politik Nationale Comentaren. Perjuangan merebut kemerdekaan menjadi titik sentral tulisan-tulisan dalam majalah ini.
Pada zaman pendudukan Jepang, Ratulangie mendirikan organisasi Sumber Darah Rakayat (Sudara). Lewat organisasi ini, ia menyadarkan rakyat tentang kedudukan Jepang yang makin terjepit dan memberikan jaminan bahwa Indonesia dapat merebut kemerdekaan dari Jepang.
Menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).  Bersama Andi Sultan dan wakil dari Sulawesi lainnya ikut ke Jakarta untuk mempersiapkan segala kebutuhan perebutan kemerdekaan.

Gubernur Pertama Sulawesi.
Pasca diproklamirkannya kemerdekaan oleh Sukarno di Jakarta pada 17 Agustus 1945, Ratulangie diangkat sebagai gubernur Sulawesi yang berkantor di Ujung Pandang. Sewaktu Belanda gencar memecah belah persatuan Indonesia, Ratulangie memperjuangkan agar Sulawesi tidak dipisahkan dari Republik Indonesia. Karena aktivitasnya itu ia ditangkap Belanda pada 5 April 1946, dipenjara di Ujung Pandang dan dibuang ke Serui, Irian Jaya. Ia kemudian mendirikan ‘Pusat Keselamatan Rakyat’ sebagai bentuk perlawanan bersama rakyat.Bulan Januari 1948, sebagai hasil perundingan Renville, ia dibebaskan.

Bersama Mr. I Gusti Ketut Pudja, Ir. Pangeran Muhammad Noor, dr. T.S.T. Diaspari, W.S.T. Pondang dan Soekardjo Wirjopranoto, pada tanggal 10 November 1948, ia mengeluarkan pernyataan ‘Manifes Ratulangie’ yang disiarkan juga oleh RRI. Ia mengeluarkan pernyataan keras  menentang Negara  Indonesia bagian Timur memisahkan diri dari Republik Indonesia.

Pada tahun 1948   berangkat ke Filipina untuk sebuah misi persahabatan. Namun, keberangkatan itu membuat dirinya ditangkap dan diasingkan oleh Belanda yang sedang melakukan agresi militer.

Pada tanggal 12 Januari 1949 Ratulangie kembali ditangkap Belanda. Ia diasingkan ke pulau Bangka disaat kondisi kesehatannya memburuk karena telah dimakan usia. Pada tanggal 30 Januari 1949,  Ratulangie menghembuskan nafas terakhirnya dalam usia 58 tahun. Pada tanggal 23 Juli 1949, jenazahnya diangkut ke Manado dengan kapal KPM Swartenhondt. Kapal itu sampai di Manado pada tanggal 1 Agustus 1949. Pada hari berikutnya, jenazah Ratulangi dibawa dan dimakamkan di kampung halamannya di Tondano.

Ia juga menerima secara anumerta Bintang Gerilya pada tahun 1958, Bintang Mahaputra Adipradana pada tahun 1960, dan Bintang Satyalancana pada tahun 1961. Ia dianugrahi pemerintah gelar Pahlawan Kemerdekaan Indonesia melalui SK Presiden No. 590 Tahun 1961 Tanggal 9 November 1961 (Widiatmoko, ENI. V ol.  14, 2004: 108-109; Bagas dalam Virgiawan, minews.id, 9 Maret 2020).

Ratulangie sangat terkenal di Minahasa. Jalan-jalan besar atau utama di semua kota di Minahasa (Bitung, Manado, Tomohon, dan Tondano) diberi nama Jalan Sam Ratulangi. Namanya juga dipakai untuk bandar udara internasional Manado seperti halnya universita negeri di Manado. Patung-patung tentang Ratulangi terdapat di persimpangan antara Jalan Sam Ratulangi dan Jalan Bethesda di Manado, di kampus Universitas Sam Ratulangi, di samping makam Ratulangi di Tondano, di Jakarta dan Serui, dan bahkan di sebuah taman kota di Davao (Filipina) yang terletak di utara pulau Sulawesi. Pada tahun 2016, Kementerian Keuangan  mengeluarkan uang baru seri 2016 di mana pecahan Rp. 20.000 menggambarkan Ratulangi di bagian depan (wikipedia).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan