A.M. Hanafi


Ada beberapa  pemuda revolusioner di sekitar proklamasi kemerdekaan Indonesia, mereka itu adalah :  Wikana, Darwis, Sukarni, Singgih, Jusuf Kunto, BM Diah, Adam Malik, Chaerul Saleh,  dr. Muwardi, Jusuf Kunto, Singgih dan dr. Sutjipto, A.M. Hanafi, Pardjono, Pandu Kartawiguna, Djohar Noer, S.K. Wijoto dan Ridwan Bazar, Aidit, S.K. Trimurti, Surahman dan Latif Hendraningrat  (Anderson, 1988 : 96, Hanafi,  dll).  Beberapa sudah saya sampaikan. Kini saya sampaikan profil singkat A.M. Hanafi.

1.      A.M. Hanafi

Hanafi lahir di Bengkulu pada tahun 1918 dan wafat di Paris tahun 2004.

Berjas perlente dan sama perlente nya dengan Bung Karno, itulah gaya AM Hanafi muda. Hanafi menemani Sukarno  sejak saat pembuangan di Bengkulu. Ia anak politik Sukarno karena itu nama depan AM ia dapatkan dari Sukarno yang berarti Anak Marhaen.

Bung Karno dibuang Belanda ke Bengkulu tahun 1938- 1942. Ada banyak teman Sukarno selama pengasingan. Hasan Din, ayah Fatmawati, adalah teman berdiskusi Sukarno soal agama. Bahkan Hasan Din pernah meminta Sukarno mengajar di sekolah Muhammadiyah di Sukamerindu Bengkulu. Ada Abdul Manaf, ini teman seni  Sukarno. Bersama Manaf, Sukarno mendirikan kelompok sandiwara Tonil Monte Carlo. Dan ada anak muda yang terpaut jauh umur dengan Sukarno  yaitu AM Hanafi. Ia selalu “ngintil” setiap Sukarno bicara politik.
(Bengkuku Interaktif).

Ketika Jepang menduduki Indonesia, Anak Marhaen Hanafi adalah salah satu pemuda yang tergabung dalam Kelompok Sukarni yang bermarkas di gedung asrama Jalan Menteng Raya 31, Jakarta. Pada masa yang sama ia juga menjadi anggota Barisan Pelopor Istimewa, yakni bagian dari Jawa Hokokai yang didirikan oleh Sukarno.

Hanafi termasuk salah satu aktivis yang melahirkan Angkatan Pemuda Indonesia (API), suatu kelompok yang dimaksudkan untuk melebur semua kelompok pemuda yang ada ketika itu. Salah satu keputusan penting API adalah rencana mengadakan rapat umum di Lapangan Ikada, yang akhirnya berlangsung pada tanggal 19 September 1945. API juga mengudarakan siaran Soeara Indonesia Merdeka, antara lain dengan menggudarakan siaran Soeara Indonesia Merdeka, antara lain dengan menggunakan studio darurat di rumah dr. Oetomo di Jalan Salemba No. 62 Jakarta.

Hanafi menjadi Menteri Urusan Pengerahan Tenaga Rakyat untuk Pembangunan dalam Kabinet Djuanda (Kabinet Karya) 9 April 1957 hingga 10 Juli 1959. Karena jabatan itu kemudian dihapus, ia diangkat menjadi Menteri Negara bersama Mohammad Yamin (Biono, 2004: 326).

Menjadi Duta Besar Untuk Kuba

Bebnerapa  tahun sebelum Gestok, tepatnya tahun 1963,   AM Hanafi diminta Sukarno menjadi Dubes di Kuba. Kuba adalah negara sukutu penting Sukarno ketika pemerintahannya condong ke kiri di era itu. Ia hanya ingin Hanafi yang jadi dubes, setelah Marsekal Suryadharma ditolak oleh Fidel Castro. Hanafi sempat menolak ditempatkan di Kuba, karena alasan keluarga. Sukarno sampai memanggil istri Hanafi dan membujuknya, Sukarno  tahu Hanafi lemah oleh bujukan istrinya. “Setahun saya tak mau ketemu Bung Karno, supaya tak ditugaskan ke Kuba,” kata Hanafi kepada Majalah Tempo.

Rayuan sang istri meluluhkan hati Hanafi. Hanafi menghadap Sukarno di Istana Bogor. Terlihat betapa sumringahnya wajah Sukarno  ketika tahu Hanafi mau ditempatkan di Kuba. Sukarno berkata bahwa Fidel Castro akan sangat senang jika Hanafi menjadi Dubes RI di Kuba (bengkuluinteraktif).

Tempo  dalam sebuah artikelnya menulis bahwa  sehelai surat bertanggal 26 Januari 1966 tiba di tangan Perdana Menteri Kuba, Fidel Castro. “…Kawanku Fidel yang baik. Sebenarnya Duta Besar Hanafi masih saya butuhkan di Indonesia, tetapi saya berpendapat bahwa persahabatan yang rapat antara Indonesia dan Kuba adalah amat penting pula untuk bersama-sama menghadapi musuh, yaitu Nekolim. Sekian dahulu, kawanku Fidel. Salam hangat dari rakyat Indonesia kepada rakyat Kuba….” Duta Besar RI untuk Kuba, A.M. Hanafi (1963-1966), menyampaikan sendiri surat yang ditulis tangan oleh Bung Karno itu kepada sang Perdana Menteri.

Empat bulan setelah surat Bung Karno itu diserahkan, Mei 1966, Hanafi  dilengserkan dari semua jabatannya oleh pemerintah Orde Baru. Hal ini hanya satu dari sejumlah besar “pembersihan” yang dilakukan Presiden Soeharto-setelah kejatuhan Bung Karno dan pemberantasan G30S/PKI. Inilah awal titik balik yang menyedihkan dalam kehidupan bekas diplomat itu. Pemerintah Orde Baru juga memutuskan agar paspor Hanafi dan keluarganya tidak lagi diperpanjang, sejak 1966 (Setyardi, “A.M. Hanafi Jadi Buangan Politik Seperti Penderita Lepra”, Tempo)


Fidel Castro memang menyambut hangat Hanafi. Hanafi dibuat macam duta besar yang amat penting di sana. “Saya pernah kaget, ketika garda nasional Kuba masuk ke KBRI di Havana dengan mematikan lampu,” cerita Hanafi. “Saya marah mengapa lampu dimatikan tapi sang pengawal bilang, Mr Ambasador, El Comandante mau berjumpa,”. Begitulah, Castro bercerita ia tak ingin perbincangan dengan Hanafi diketahui banyak orang.

Peristiwa Gestok meletus, pemerintahan Sukarno berganti ke Jenderal Soeharto. Hanafi diminta pulang, tapi ia menolak karena menganggap pemerintahan Soeharto tidak sah. Soeharto membalas dengan mancabut paspor Hanafi. Jadilah Hanafi stateless, tak punya kewarganegaraan. Beruntung Fidel Castro tetap baik dan tetap memberlakukan status diplomat kepada Hanafi.  Lima tahun Hanafi dan keluarga dibiayai oleh Castro.

Rasa tak enak hati dibiayai oleh Castro membuat Hanafi dengan tabungan tersisa menjadi pelarian politik di Paris. Pemerintahan sosialis Perancis memang banyak menampung exile Indonesia ketika itu. Untuk menghidupi keluarganya Hanafi mendirikan restoran Indonesia “Djakarta - Bali”. Tapi usaha ini tak maju sebab KBRI melarang orang orang Indonesia makan di restorannya. “Mereka bisa dicap komunis, kalau makan di restoran saya,” kata Hanafi. Ia kemudian menjadi pengajar bahasa Indonesia di sekolah dan kampus.

2 Maret 2004, AM Hanafi meninggal dunia di Paris. Seperti wasiatnya ia minta dimakamkan di Indonesia. Jenazah Hanafi tiba di Indonesia 10 Maret dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir. Kisah sebagai pendiri republik tapi mati sebagai pelarian politik adalah fragmen kehidupan si Anak Marhaen (Bengkulu Interaktif).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan