Juru Ketik Proklamasi



Saat perumusan naskah proklamasi, manuskrip ditulis oleh Sukarno kemudian diketik oleh Sayuti Melik. Naskah tulisan Sukarno diremas-remas dan dilempar ke keranjang sampah dan kemudian diambil B.M. Diah dan disimpannya dalam note book.

Mohammad Ibnu Sayuti Melik (1908-1988).
Melik lahir dilahirkan di Sleman 22 November 1908. Orang tuanya bernama Abdul Mu'in alias Partoprawito dan Sumilah. Dalam Biografi Sayuti Melik disebutkan pendidikan beliau di mulai dari Sekolah Ongko Loro (SD) di Srowolan Solo hanya sampai kelas 4 dan kemudian dilanjutkan di Yogyakarta (tirto.id). Sumber lain mengatakan ia menempuh pendidikan di Mambaul Ulum, selanjutnya ke sekolah guru (normal school) di Solo. Sejak itulah ia mulai tertarik pada pergerakan kemerdekaan. Ia melampiaskan antipatinya pada penjajahan melalui berbagai karangan yang ia kirimkan ke berbagai surat kabar dan majalah, dengan nama Si Kecil. Akibatnya ia dikeluarkan dari sekolahnya pada tahun 1924. Melik kemudian pindah ke Semarang dan bekerja pada surat kabar Api yang dikelola oleh Sarekat Rakyat. Di Semarang ia mempelajari Marxisme dari beberapa rekannya yang lebih tua, seperti Tan Malaka, Darsono dan Ali Ircham. Meskipun bukan penganut komunisme, ia ikut ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai buntut pemberontakan kaum komunis tahun 1926. Ia dibuang ke Boven Digul dan baru dikembalikan ke Jawa pada tahun 1933, dengan syarat tidak boleh berpolitik.

Selanjutnya, Melik bekerja sebagai kuli kapal dan berkesempatan berkeliling Asia. Ia singgah di Singapura pada tahun 1934 dan bertemu dengan sejumlah teman seperjuangan. Di negara itu mereka mendirikan Liga Anti Imperialisme Asia Tenggara yang beranggotakan orang Malaya (Malaysia), Cina, Vietnam dan Filipina. Melik terpilih sebagai ketuanya.

pada tahun 1936, Melik ditangkap polisi Inggris dan diharuskan keluar dari wilayah kekuasaan Inggris. Begitu naik kapal ia langsung ditangkap polisi Belanda dan diangkut ke Jakarta. Pada tahun 1938 ia dibebaskan, dan langsung menuju wilayah Jawa Tengah. Di tempat yang baru ia berdagang kain dan mengirimkan tulisannya ke surat kabar Sinar Selatan yang mendapat modal dari Jepang. Hubungannya dengan seorang redaksi surat kabar tersebut, Trimurti berlanjut hingga jenjang perkawinan. Mereka berdua kemudian menerbitkan majalah Pesat. Majalah ini terkena delik pers. Melik sebagai penanggungjawab dihukum penjara di Sukamiskin (Bandung) hingga tahun 1941.

Pada masa pendudukan Jepang, Melik menjadi pemimpin redaksi Sinar Baru, surat kabar yang dibenarkan terbit oleh penguasa Jepang di Semarang. Salah satu tulisannya menyebabkan ia digantikan orang lain dan dituduh melakukan gerakan bawah tanah. Ia pun dipenjara di Ambarawa oleh penguasa Jepang. Sebagai tahanan ia mengikuti sayembara penulisan karangan yang diselenggarakan Jawa Hookookai. Tulisannya, dengan meminjam nama kepala penjara sebagai penulisnya, menang. Tulisan itu dibaca pula oleh Sukarno. Dengan bantuan Sukarno ia dibebaskan dan langsung dipanggil ke Jakarta. Di kota itu ia mendapat tugas menjabat Sekretaris Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Ia pula yang mengetik naskah proklamasi. Ia pun menjadi anggota KNIP.

Dalam peristiwa 3 Juli 1946 yang ingin menggulingkan kabinet Sjahrir, Melik terlibat, dan ia ditangkap. Ketika Belanda menyerbu Yogyakartaia kembali ditangkap dan dipenjara di Wirogunan. Setelah bebas ia mendirikan mingguan Waspada, lalu menjadi redaktur Suluh Indonesia, pembawa suara PNI. Tulisannya yang berjudul Belajar Memahami Sukarnoisme mengupas praktik palsu penganut Marxisme. Dalam tulisan itu Melik memakai nama samaran Mbah Sodrono atau Yuti atau Saya. Namun kemudian semua surat kabar yang memuat tulisannya diberangus dan dianggap kontrarevolusioner, dosa besar dalam masa Demokrasi Terpimpin.

Ketika penglihatannya menjadi kabur, Melik berhenti menulis. Namun ia tetap menjadi anggota anggota DPR dari Fraksi Karya Pembangunan, hingga akhir hayat (Soebagijo I.N., 2004 : 238-239).
Sedangkan pada masa orde baru karier politik Sayuti Melik berkembang menjadi DPR pada tahun 1971 hingga 1977. Beliau meninggal pada 27 Februari 1989. Penghargaan yang beliau dapat adalah Bintang Mahaputra Tingkat V (1961) dari Presiden Sukarno dan Bintang Mahaputra Adiprana II  pada tahun 1973 dari Presiden Suharto (tirto)

Sayuti Melik meninggal pada tanggal 27 Februari 1989 setelah setahun sakit, dan dimakamkan di TMP Kalibata.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan