Soebadio Sastrosatomo
1.
Lelaki
yang lahir pada 26 Mei 1919 sejak kecil
ditempa “pahit”-nya kehidupan pribadi. Ketika baru berusia 10 tahun,
Soebadio ditinggal ayahnya—seorang pegawai Jawatan Garam dan Candu Negara di
Sumatra Timur. Bersama ibunya, Soebadio, yang bersaudara delapan orang,
kemudian hijrah ke Jawa. Mereka menetap di Desa Ngupit, dekat Klaten, Jawa
Tengah.
Karena
kedua kakak laki-lakinya tidak hidup bersama mereka, otomatis Soebadiolah yang
laki-laki tertua di keluarga itu. Maka, dialah yang menggantikan peran ayahnya,
mengurus kepentingan keluarga, termasuk mencari tambahan penghasilan dengan
membuka warung kecil-kecilan. Tugas Soebadio membeli barang dagangan ke kota.
Selain itu, perekonomian keluarga ini juga disokong kedua kakaknya dan uang
pensiun.
Kendati
kehidupan mereka tak berlebihan, toh sang ibu berkeinginan melihat
putra-putrinya menjadi “orang”. Maka, ia mendorong mereka melanjutkan
pendidikan. Kalau mungkin, tak perlu terlibat dalam organisasi politik
rnahasiswa, yang kala itu tengah marak.
Setelah
menyelesaikan AMS, tahun 1939 hijrah dari Yogyakarta ke Batavia untuk
melanjutkan ke Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hogeschool). Sesuai
dengan pesan ibunya yang melarang Soebadio ikut berorganisasi politik, ia
bergabung hanya dengan perkumpulan pemuda yang bernama USI (Unitas
Studiosorum Indonesiensis), organisasi kebangsaan yang sama sekali tak
melibatkan politik. Tapi, bakat Soebadio, yang sejak kecil senang
berorganisasi, membuat pesan itu hanya bertahan selama dua tahun.
Selanjutnya,
Soebadio menjadi mahasiswa Recht Hogeschool, Sekolah Tinggi Hukum. Selain itu,
ia juga masuk Perkumpulan Indonesia Muda, yang lebih bisa meningkatkan
kesadaran berbangsa. Kemudian, ia juga ikut menjadi pengurus Jong Islamieten
Bond.
Sewaktu
menjadi Mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum, dia banyak membaca buku Karl Marx
sehingga tak heran dia kemudian menjadi sosialis . Sosialisme yang di anutnya
bukan ajaran yang di praktikan oleh Lenin, melainkan yang di jabarkan oleh Karl
Marx muda yang menekankan pada democratie en menselijke waardigheid (kerakyatan
dan martabat kemanusiaan).
Kehadiran
Jepang di Tanah Air tahun 1942, yang mengakibatkan semua bentuk sekolahan
ditutup. Setahun kemudian, Soebadio bekerja sebagai penerjemah dan anggota staf
Komisi Bahasa Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta. Sedangkan yang
menjalankan, Sutan Takdir Alisjahbana (STA), Sarmidi Mangunsarkoro, dan Mr.
Suwandi. Soebadio menjadi asisten STA.
Dari
situ, Soebadio banyak menggali pengetahuannya tentang keadaan dan kondisi
masyarakat. Sebab, mereka sering berbincang–bincang soal itu. “Dalam suasana
demikian, saya pertama kali mendengar nama Sjahrir,” katanya. Kedekatan
Soebadio dengan Sutan Sjahrir kemudian tak lain karena mereka memiliki
pandangan yang sama. Yaitu, tak mau orang asing, Jepang atau fasisme yang lain,
ikut campur tangan di Republik ini.
Di
tengah tekanan pemerintah Jepang itulah, Soebadio semakin banyak mengenal
pemimpin organisasi yang mengadakan kontak dengan penguasa Jepang. Bahkan,
tokoh-tokoh itu bisa rnendirikan pusat latihan pemuda. Ia sangat menyayangkan
kondisi tersebut. Maka, Soebadio tak pernah bersedia diajak bergabung dengan
mereka. Bahkan, justru melakukan manifesto demokrasi. Akibatnya, bersama
dengan STA, dia ditahan. Itu pun tak membuatnya jera. “Dari semula saya tak
tertarik fasisme dan militerisme,” ujarnya.
Masa-masa
itu juga, Soebadio menjadi anggota Badan Permufakatan Perhimpunan Pelajar.
Seperti Sjahrir, ia ikut aktif menjadi anggota gerakan bawah tanah melawan
fasis Jepang. Karena kegiatannya itu, lagi–lagi ia masuk bui. Begitu juga STA,
Dr. Soetomo, dan lainnya. Mereka baru bisa menghirup udara segar waktu Jepang
mengizinkan bangsa Indonesia membuat persiapan kemerdekaan. (Majalah FORUM No. 26/V, 7
April 1997, dengan judul asli “Saya Tidak Berambisi Menggantikan Soeharto”)
Soebadio adalah seorang pelaku sejarah,
bersama Chaerul Saleh yang mahasiswa dan Soekarni pemimpin Indonesia Muda, ia
punya hubungan erat dengan peristiwa kemerdekaan Indonesia. Ironisnya, saat proklamasi dibacakan, Soebadio tak
hadir. Memang, bukan hanya Soebadio yang tak hadir saat itu.
Sjahrir, Soekarni, dan Chaerul Saleh pun tidak datang pada hari yang bersejarah
tersebut. Padahal, seharusnya mereka datang karena aktif bekerja untuk
terciptanya Proklamasi. Apalagi, Sjahrirlah orang pertama yang
mengetahui bahwa Jepang dibom atom Sekutu, 10 Agustus 1945. Selanjutnya,
tanggal 15 Agustus 1945, Soebadio mengunjungi Sjahrir, memberi tahu kabar
penyerahan Jepang kepada Sekutu. Mereka pun sepakat, sudah selayaknya Indonesia
segera memproklamasikan kemerdekaannya.
Tapi, meyakinkan Soekarno tak semudah yang
diperkirakan. Soekarno tak percaya. Sedangkan Hatta merasa terikat dengan prosedur
PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Sebagai orang yang dekat dengan
Hata, Soebadio dan Soebianto membujuk Hatta. “Kami katakan ke Hatta, yang kami
butuhkan adalah Soekarno-Hatta sebagai pemimpin,” cerita Soebadio. Mengenal
ketidakhadiran keempat tokoh itu, baik Soebadio, Chaerul Saleh, maupun
Soekarni, tak lain disebabkan mereka menentang keras bunyi teks tersebut.
Soalnya, kata-kata yang tertuang di situ terlalu lunak.
Meskipun demikian, dalam dirinya ada satu
kekuatan yang tak dapat menolak integritas dan kejujuran Hatta. Begitu juga,
karisma dalam diri Soekarno. Atas kesadaran itu, ia bertekad membangun negara
dengan kekuatan dari bawah.
Mendirikan Politbiro PSI
Sebagai sosialis , Soebadio memperjuangkan
cita-cita keadilan sosial dan kedaulatan rakyat. Beserta Syahrir, Amir
Syarifuddin, Djohan Sjahroezah dan Sudarsono, dia mendirikan partai sosialis di
Cirebon dan ikut mendirikan Politbiro Partai Sosialis tahun 1945.
Dan menjadi tokoh penting PSI untuk selanjutnya, yang pada tahun 1948 pecah dua ,
satu faksi bergabung dengan sayap kiri, faksi lain berkumpul danlam partai
Sosialis Indonesia. Dia duduk dalam BP-KNIP , kemudian dalam parlemen hasil
pemilu 1955, sampai parlemen di bubarkan oleh Soekarno dan PSI dilarang bersama
Masyumi pada tahun 1963.
Pengetahuannya yang mendalam tentang Marxisme
dan Leninisme menjadikan Soebadio menjadi tempat bertanya bagi kawan-kawan. Di
samping itu, sebagai pemimpin teras partai, sampai 1960, berbagai jabatan pun
sempat disandangnya. Antara lain sebagai Ketua Fraksi Partai Sosialis
Indonesia, anggota Parlemen Republik Indonesia Serikat, dan Ketua Fraksi PSI
dalam parlemen. Keterlibatannya yang intens tersebut telah membawa Soebadio
berkesempatan berkenalan dengan tokoh-tokoh sosialis Eropa.
Tangan kanan Sjahrir
Soebadio adalah tangan kanan perdana Menteri Syahrir yang
menangani masalah Negara. Umpamanya saja , bersama Soepeno melaksanakan
pembentukan Badan Pekerja Komite nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), yang di
reformasi sebagai parlemen pada bulan Oktober 1945, merundingkan agar Sultan
Hamengkubuwono IX setuju akan kepindahan domisili Presiden Soekarno dan Wakil
Presiden Mo Hatta dari Jakarta ke Yogyakarta, dan melancarkan komunikasi antara
anggota delegasi RI yang di ketuai Syahrir dan Soekarno – Hatta sewaktu
perundingan Indonesia-Belanda di Linggarjati , November 1946.
Pengalamannya di hotel prodeo sudah di rasakan
Soebadio sejak masa penjajahan , ketika itu ia di tahan oleh jepang di tahun
1944, di jaman orde lama presiden Soekarno menjebloskan ke penjara madiun
bersama Syahrir , Mohammad Roem dan lain-lain.
Tahun 1963, PSI dibubarkan. Partai Komunis
mulai menebarkan pengaruhnya. Seiring dengan memanasnya situasi politik, fitnah
dan intrik politik merajalela. Soebadio tak luput dari sasaran fitnah. Tahun
1962, bersama dengan tokoh politik lainnya yang kritis terhadap pemerintahan
Soekarno dan anti-PKI, Soebadio dijebloskan ke panjara. Selama lima tahun menghuni
penjara Madiun, toh tak pernah terlintas dalam benak Soebadio untuk membenci
Soekarno.
Di zaman
orde baru, tepatnya setelah peristiwa malari 1974, Soebadio di tahan lagi oleh
Presiden Soeharto selama 888 hari tanpa pernah di adili dan semua itu hanya
karena sikap beroposisinya terhadap pemerintah (Prakoso Beni. 2016).
Menikah di
Penjara
Wanita yang dinikahi Soebadio adalah Maria Ulfah
Santoso. Saat itu Maria sudah ditinggal mati suaminya, Santoso, selama lima
belas tahun dan tenggelam dalam
kesibukan sebagai birokrat dan intelektual. Sebelum Santoso meninggal, Soebadio sudah
menjadi tetangga dekat keluarga Maria di Jalan Guntur, Jakarta Selatan, sejak
zaman pendudukan Jepang.
Berdasarkan wawancara Tempo (26/2/1977), niat menikah dengan Soebadio sebenarnya sudah muncul sejak 1959. Sepeninggal Santoso, hubungan antara Maria dengan pemuda lajang Soebadio memang semakin rapat. Bahkan Menteri Luar Negeri Soebandrio menyarankan mereka buru-buru menikah. Sayang, sebelum niat itu kesampaian, Soebadio dan petinggi PSI lainnya keburu dibui atas tuduhan mendorong gerakan separatisme PPRI/Permesta. Soebandrio sendiri yang kedapatan tugas dari Bung Karno untuk menciduk Soebadio di rumahnya pada 1962.
Sekitar 1963 Maria nekat membonceng Poppy Sjahrir, istri Sutan Sjahrir, yang hendak berangkat ke Madiun untuk menjenguk suaminya. Selain ingin bertemu Sjahrir, kawan lamanya, Maria sebenarnya juga hendak melepas rindu dengan Soebadio. Dalam momen kunjungan pertama Maria ke Madiun, Soebadio melamar Maria. Alasannya sederhana: Soebadio tidak tega melihat Maria bersusah payah hanya agar mendapat kesempatan menjenguk di penjara.
“Ya. Supaya Ietje [nama kecil Maria Ulfah] gampang dapat mengunjungi saya di penjara. Saya dapat izin keluar sebentar dari penjara untuk menikah di Jakarta. Dijaga memang oleh petugas-petugas istimewa. Tapi bagaimana juga, dikasih izin,” aku Soebadio kepada Rosihan Anwar dalam Soebadio Sastrosatomo: Pengemban Misi Politik (1995: 191).
Menikah dengan tahanan politik nyatanya tidak semudah itu. Maria kemudian mendatangi Soebandrio untuk menanyakan apakah seorang tahanan politik boleh menikah. Soebandrio tidak keberatan, begitu pula Kejaksaan Agung. “Lalu atas atas nasihat dr. Soebadrio, yang juga saya kenal, saya menulis surat kepada Bung Karno agar diizinkan menikah dengan Soebadio,” tutur Maria dalam wawancara Tempo.
Sukarno kemudian memberi izin cuti selama 10 hari kepada Soebadio. Pada 10 Januari 1964 dilangsungkan pernikahan keduanya di kediaman Maria Ulfah di Jalan Guntur No. 49. Maria dan Soebadio baru berkumpul kembali pada 1966, setelah Soeharto memerintahkan untuk melepaskan semua tahanan politik era Sukarno (tirto.id).
Berdasarkan wawancara Tempo (26/2/1977), niat menikah dengan Soebadio sebenarnya sudah muncul sejak 1959. Sepeninggal Santoso, hubungan antara Maria dengan pemuda lajang Soebadio memang semakin rapat. Bahkan Menteri Luar Negeri Soebandrio menyarankan mereka buru-buru menikah. Sayang, sebelum niat itu kesampaian, Soebadio dan petinggi PSI lainnya keburu dibui atas tuduhan mendorong gerakan separatisme PPRI/Permesta. Soebandrio sendiri yang kedapatan tugas dari Bung Karno untuk menciduk Soebadio di rumahnya pada 1962.
Sekitar 1963 Maria nekat membonceng Poppy Sjahrir, istri Sutan Sjahrir, yang hendak berangkat ke Madiun untuk menjenguk suaminya. Selain ingin bertemu Sjahrir, kawan lamanya, Maria sebenarnya juga hendak melepas rindu dengan Soebadio. Dalam momen kunjungan pertama Maria ke Madiun, Soebadio melamar Maria. Alasannya sederhana: Soebadio tidak tega melihat Maria bersusah payah hanya agar mendapat kesempatan menjenguk di penjara.
“Ya. Supaya Ietje [nama kecil Maria Ulfah] gampang dapat mengunjungi saya di penjara. Saya dapat izin keluar sebentar dari penjara untuk menikah di Jakarta. Dijaga memang oleh petugas-petugas istimewa. Tapi bagaimana juga, dikasih izin,” aku Soebadio kepada Rosihan Anwar dalam Soebadio Sastrosatomo: Pengemban Misi Politik (1995: 191).
Menikah dengan tahanan politik nyatanya tidak semudah itu. Maria kemudian mendatangi Soebandrio untuk menanyakan apakah seorang tahanan politik boleh menikah. Soebandrio tidak keberatan, begitu pula Kejaksaan Agung. “Lalu atas atas nasihat dr. Soebadrio, yang juga saya kenal, saya menulis surat kepada Bung Karno agar diizinkan menikah dengan Soebadio,” tutur Maria dalam wawancara Tempo.
Sukarno kemudian memberi izin cuti selama 10 hari kepada Soebadio. Pada 10 Januari 1964 dilangsungkan pernikahan keduanya di kediaman Maria Ulfah di Jalan Guntur No. 49. Maria dan Soebadio baru berkumpul kembali pada 1966, setelah Soeharto memerintahkan untuk melepaskan semua tahanan politik era Sukarno (tirto.id).
Orde Baru
Munculnya Orde Baru membawa angin segar
dalam kancah politik nasional. Soebadio kembali menikmati angin kebebasan.
Pada masa ini bisa dibilang periode tenang dan kehidupan Soebadio. Pada masa
ini pula ia sempat menunaikan ibadah haji bersama istrinya, Maria Ulfah atau
Itje, yang juga bekas menteri sosial pada zaman Orde Lama.
Namun, pembawaannya sebagai orang politik menyebabkan
Soebadio tak bisa tidak melibatkan diri dalam proses politik, yang dirasakannya
bertentangan dengan prinsipnya. Kali ini, kembali ia menerima akibatnya.
Peristiwa MaIari, 1974, kembali menyeret Soebadio ke pintu penjara. Soebadio
dituduh mendalangi demonstransi–demonstrasi mahasiswa. Hanya karena kegiatannya
aktif berceramah di depan aktivis mahasiswa di Universitas Padjadjaran, IKIP,
dan ITB.
Masih dalam tema demokrasi, keadilan, dan
kemanusiaan, saat itu Soebadio banyak melemparkan kritik tajam terhadap
pelaksanaan Pembangunan, yang menimbulkan jurang ketidak–adilan, serta proses
politik yang kurang demokratis. Buah pikiran Soebadio itulah yang dijadikan
alasan untuk menyeretnya ke tahanan militer. Itu terjadi setelah Peristiwa
Malari, 1074. Selama 808 hari dalam tahanan, kakak kandung pengusaha Soedarpo
ini akhirnya dibebaskan. Saat pemeriksaan itu, ia juga diminta
bertanggung jawab mengenai program nasional PSI. “Saya katakan, saya tak bisa
bertanggung jawab terhadap mayat. PSI sudah mati,” katanya.
PSI memang sudah mati, tapi Soebadio
menganggap pemikirannya tetap jalan. Dan tak pernah sedikit pun terlintas dalam
benaknya untuk membangkitkan partai tersebut. Di kediamannya, Jalan Guntur,
tokoh tua ini masih menjadi tempat bertanya anak-anak muda (Irawati, 1997).
Sumber :
1. Irawati,
Majalah FORUM No. 26/V, 7 April 1997, dengan judul asli “Saya Tidak Berambisi
Menggantikan Soeharto”
3. Rosihan
Anwar dalam Soebadio Sastrosatomo: Pengemban Misi Politik (1995: 191).
4. Tempo
(26/2/1977)
5. tirto.id
Komentar
Posting Komentar