Eri Sudewo


1.      Eri Sudewo

Dalam buku berjudul "Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun," karya Panitia Peringatan 75 Tahun Mr. Kasman Singodimedjo, disebutkan bahwa yang dimaksud pemuda-pemuda revolusioner adalah pemuda, mahasiswa dan pelajar di Jakarta yang waktu itu bergabung dalam kelompok-kelompok dengan tokoh-tokohnya masing-masing.

Sementara itu, Adam Malik, pemuda dari kalangan pers kantor berita pengikut aliran Murba (Musyawarah Rakyat Banyak) pimpinan Tan Malaka  menamakan kelompok-kelompok pemuda itu sebagai gerombolan.

Dalam buku "Riwayat dan Perjuangan Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945" karya Adam Malik, disebutkan bahwa Gerombolan Sukarni aktif menyebarkan berita-berita yang membuka kebohongan-kebohongan Jepang. Gerombolan Sukarni juga berusaha untuk memasukkan tenaga revolusioner di berbagai lapangan serta mendirikan organisasi buruh dan tani. Sukarni sendiri bekerja sebagai pegawai di kantor "Sendenbu" (Barisan Propaganda) pemerintahan pendudukan Jepang.

Kelompok lainnya adalah Gerombolan Syahrir yang bekerja sama erat dengan Gerombolan Sukarni dan bekerja di bidang yang sama dengannya. Namun, usaha gerombolan Syahrir tidak terlihat nyata dan hanya menyokong aksi-aksi terbuka dari Gerombolan Sukarni. Gerombolan Syahrir juga pernah bekerja sama erat dengan Soekarno-Hatta.

Adapun kelompok lainnya adalah Gerombolan pelajar-pelajar yang terhimpun dalam asrama "Ika Daigaku" (Sekolah Kedokteran Tinggi), pusatnya di Prapatan 10, dan satu kelompok lainnya berkumpul di asrama Cikini 72 Jakarta. Dari gerombolan pelajar-pelajar itu, tokohnya antara lain Khairul Saleh, Djohar Nur, Darwis, Subadio Sastrosatomo dan Eri Sudewo (Republika).

Menurut Hendrajit dalam The Global Review, peran penting para pemuda-mahasiswa Prapatan 10 dalam masa peralihan menyusul Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan masa-masa konsolidasi nasional beberapa hari sesudahnya, mereka ikut serta dalam :
  • Penyusunan dan pembinaan kelompok-kelompok pemuda rakyat seluruh kota Jakarta
  • Pengambil-alihan gedung-gedung penting beserta peralatannya dan alat angkutan
  • Aksi tulisan/corat-coret slogan-slogan di jalanan, tembok-tembok, angkutan umum dan lain sebagainya.
  • Penyusunan Aparatur Negara, seperti Komite Nasional Indonesia Pusat dan Badan Keamanan Negara (cikal bakal dari Tentara Nasional Indonesia, TNI). Pemerintahan di Ibukota Jakarta
  • Pengiriman kelompok-kelompok kecil ke berbagai penjuru Tanah Air baik di Jawa maupun Luar Jawa.
  • Penyusunan organisasi pos-pos Palang Merah Indonesia di dalam maupun luar kota Jakarta, dan usaha-usaha lainnya.
Siapakah Eri Sudewo

Eri mengalami masa remaja yang berat. Ayahnya meninggal waktu Eri masih berumur 14 tahun. Ibunya harus membesarkannya bersama empat putra lainnya dengan uang pensiun janda. Menurut memoar yang dibuat istrinya, Mang, kehidupan Eri di masa kecil sangat susah sehingga terbawa hingga mereka berumah tangga. Jika makan roti bersalut mentega dan diberi telur ceplok (mata sapi), mata Eri selalu berbinar, karena dulu satu telur harus dibagi dengan saudara-saudaranya. 

Eri menikah dengan Mang di Yogyakarta, 16 Mei 1946 dan memiliki empat anak. Anak pertamanya, Nisye, seorang dokter THT (Mang Eri Sudewo, Hidupku Bersama Erisan Pejuang Kemerdekaan, 2008). 

Dalam masa-masa genting ketika Indonesia dijajah Jepang, dalam susunan Pengurus Asrama Prapatan 10, Eri Sudewo memegang ketua biro kemahasiswaan. Posisi ini sangat strategis karena melalui Eri Sudewo inilah dalam memberikan arahan politik dan aksi perjuangan kemerdekaan tanah air. Apalagi pada kenyataannya, para pimpinan asrama selain merupakan korps yang punya tugas mengelola hal ihwal asrama, pada perkembangannya kemudian jadi inti gerakan bawah tanah dalam menghadapi fasisme Jepang. Hal ini terbukti munculnya gerakan-gerakan yang terkoordinir di kalangan mahasiswa dalam gerakan melawan Jepang, meskipun para mahasiswa kedokteran bertempat tinggal terpencar di beberapa asrama seperti Cikini 71, di asrama puteri dan yang di luar asrama.

Penggemblengan di asrama Daigaku dan Yakugaku adalah yang paling ketat, meskipun yang mengelola dan memimpin adalah para mahasiswa itu sendiri dan tidak ada pengawasan ataupun pembinaan dari pihak Jepang. Karena Jepang hanya melihat dari luar saja, mereka tidak menduga bahwa para mahasiswa betul-betul menaati ketentuan-ketentuan yang mereka buat, sebab para mahasiswa kelihatannya berdisiplin. Pihak Jepang tidak menduga mahasiswa di dalam asrama digembleng untuk kepentingan perjuangan kemerdekaan nasional, yang kelak terbukti para eksponen Prapatan 10 menduduki posisi-posisi dan peran-peran strategis pasca proklamasi 17 Agustus 1945.

Nampaknya, para mahasiswa kedokteran Ika Daigaku Prapatan 10 dan Cikini 71, merupakan kelompok mahasiswa yang paling radikal dalam melawan sepak-terjang fasisme kolonial Jepang. Terbukti beberapa mahasiswa yang kemudian ditangkap oleh Polisi Militer Jepang (Kempetai) sebagian besar merupakan mahasiswa kedokteran seperti: Sujatmoko, Sujono, Didi Jayadiningrat, Kurniawan, Wibowo, Mukiman, Sanyoto, Utaryo, Daan Yahya, Suwadi, Petit Muharto, Eri Sudewo, Purwoko, Tajuludin, Sayoko Sastrokarono, Karimudin, dan Suwito.

Penangkapan tersebut bukan saja akibat pembangkangan mahasiswa dalam latihan kemiliteran di lapangan Boxlaan (sekarang jalan Prambanan), tetapi juga adanya berita radio Australia yang ditangkap oleh penguasa Jepang, mengatakan para mahasiswa Indonesia akan mengadakan pemogokan lagi sebagai protes terhadap tindakan kejam penguasa Jepang.
Para mahasiswa Iga Daigaku inilah yang paling merasakan kekejaman tentara Jepang yang diterapkan di kampus mereka. Selain mengalami siksaan fisik, beberapa di antaranya setelah ditahan selama 20 hari, kemudian ada yang dipecat dan tidak boleh ikut kuliah lagi di Sekolah Tinggi Kedokteran. Seperti Sudarpo, Suroto, Subianto, Margono, Sujatmoko dan beberapa mahasiswa lainnya. Sedangkan Eri Sudewo, salah seorang pimpinan mahasiswa yang cukup menonjol serta beberapa mahasiswa lainnya di kalangan Prapatan-10, diskors selama satu tahun tidak boleh kuliah (The Global Review).

Menurut Mang, Eri mengorganisir Pasukan Mahasiswa Kedokteran dimaksudkan untuk memberi wadah yang bercorak nasional kepada mahasiswa kedokteran. Ia tahun ada usaha pihak Murba dan PKI yang dipelopori Chairul Saleh dan Aidit untuk menarik mahasiswa itu ke pihak mereka (2008:30).

Mengingat kenyataan bahwa kala itu tenaga dokter sangat dibutuhkan karena masih langka, maka Eri Sudewo dan sektiar 30 orang mahasiswa lainnya, dibolehkan menyandag gelar dokter tanpa ujian. Karena mereka ketika dikenakan skors oleh pihak Jepang, sudah menduduki tingkat akhir fakultas kedokteran. Alhasil, Eri Sudewo dan 30 rekannya itu tercatat sebagai lulusan pertama Jakarta Iga Daigaku, yang kelak setelah Indonesia merdeka diambil-alih oleh pihak republik.Yang sekarang lebih kita kenal sebagai Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, di Salemba, Jakarta Pusat. 

Para eksponen Prapatan-10 pada perkembangannya menaruh antipati yang besar kepada fasisme Jepang, sehingga secara garis politik lebih sehaluan dengan Sutan Sjahrir, yang kelak merupakan Perdana Menteri Indonesia Pertama, dibandingkan dengan Sukarno-Hatta yang cenderung lebih kooperatif menghadapi pemerintahan fasisme Jepang ketika itu.

Perjuangan Bersenjata
Setelah proklamasi kemerdekaan, Eri Sudewo bergabung dengan para pejuang bersenjata dan kemudian menjadi tentara. Pangkatnya naik menjadi Mayor, lalu Kepala Staf Brigade ke-3 TNI. Ia juga ikut berpartisipasi dalam gerilya yang terjadi di hutan Jawa Barat saat Agresi Militer Belanda yang pertama. Saat menjadi Komandan Brigade ke-15, Letnan Kolonel dr. Eri Sudewo berhasil menggabungkan semua tentara gerilya Banten untuk mengantisipasi serangan Belanda dari Bogor dan Jakarta. 

Kembali Menjadi Dokter
Setelah menjadi Kepala Staff Divisi Siliwangi, dr. Eri Sudewo memutuskan untuk kembali menjadi dokter dan mulai bekerja di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto. Sesudah menjadi dokter bedah, ia diangkat menjadi Kepala Bidang Ahli Bedah RSPAD dan mendapat promosi menjadi Brigadir Jenderal.

Selain sebagai dokter bedah Eri juga ditugagaskan memulihkan perguruan tinggi di Jawa Timur. Ia  diangkat menjadi Ketua Presidium Universitas Brawijaya, kordinator PTN se-jawa Timur, Pejabat Rektor Unair, Ketua Presidium IKIP Malang dan Ketua Presidium IKIP Surabaya. Saat dilantik menjadi Rektor Universitas Airlangga (1966-1974), ia menjadi Profesor Ahli Bedah dan dinaikkan pangkatnya menjadi Mayor Jenderal.

Duta Besar 

Eri juga pernah menjadi Duta Besar RI untuk  Swedia. Pada 29 November 1975 Presiden Suharto melantik Eri bersama beberapa duta besar lainnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan