Pengerek Bendera
Abdul Latief
Hendraningrat (1911-1983).
Abdul Latief Hendraningrat dilahirkan
diJakarta , 15 Februari 1911 dan
meninggal di Jakarta , 14 Maret 1983 pada umur 72 tahun. Nama lengkapnya Raden Mas Abdul Latief
Hendraningrat. Ia berdarah ningrat Jawa dari pasangan Raden Mas Mochamad Said
Hendraningrat dan Raden Ajeng Haerani. Ayah Latief adalah seorang demang atau
wedana di wilayah Jatinegara. Sang ibunda wafat ketika Latief baru berumur satu
tahun. Ayahnya menikah lagi dengan perempuan asal Garut. Latief kemudian punya
tiga adik tiri, yaitu Rukmini, Rukmito Hendraningrat, dan Siti Salamah. Latief
masih berkerabat dengan Ishak Tjokrohadisurjo, tokoh pergerakan yang turut
mendirikan PNI bersama Sukarno. Ia merupakan cucu dari Djojo Dirono ,
bupati Lamongan yang memerintah pada tahun 1885-1937. Sebuah sumber mengatakan
bahwa ia juga memiliki darah dari Ken Arok , Jaka Tingkir dan Mangkunegara I .Masa Muda
Sejak muda, Abdul Latief
Hendraningrat sudah turut dalam pergerakan nasional. Ia adalah anggota
Perkumpulan Indonesia Moeda dan Soerjawirawan, laskar kepanduan organ Partai
Indonesia Raya (Parindra) yang dirintis Dr. Soetomo-salah seorang pendiri Boedi
Oetomo-pada 1930.
Abdul Latief
Hendraningrat mengenyam pendidikan di sekolah tinggi hukum. Saat menjadi
mahasiswa itu ia sekaligus mengajar bahasa Inggris di beberapa sekolah menengah
swasta seperti yang dikelola Muhammadiyah dan Perguruan Rakyat. Ia pernah
dikirim pemerintah Hindia Belanda ke Pameran Dunia (world fair) di New York,
sebagai ketua rombongan tari.
Dalam masa
pendudukan Jepang ia giat dalam Pusat Latihan Pemuda (Seinen Kunrenshoo),
kemudian ,menjadi anggota pasukan Pembela Tanah Air (Peta). Pasukan PETA
Latief bermarkas di bekas markas pasukan kavaleri Belanda di Kampung Jaga
Monyet, yang kini bernama jalan Suryopranoto di depan Harmoni.
Pada saat
proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, Latif menjadi pengibar
bendera Merah Putih sekaligus sebagai penanggungjawab keamanan upacara sebab ia
pernah menjadi Chucacho Peta di Jakarta.
Pada tanggal 17-8-1945, pukul 10.00 di kediaman Sukarno,
Jl. Pegangsaan Timur No. 56. Tanpa protokol, Latief Hendraningrat, salah
seorang anggota PETA, segera memberi aba aba kepada seluruh barisan pemuda yang
telah menunggu sejak pagi untuk berdiri. Serentak semua berdiri tegak dengan sikap
sempurna. Latief kemudian mempersilahkan Soekarno dan Mohammad Hatta maju
beberapa langkah mendekati mikrofon. Dengan suara mantap dan jelas, Soekarno
mengucapkan pidato pendahuluan singkat sebelum membacakan teks proklamasi.
Karir
Militer
Dalam masa
setelah proklamasi kemerdekaan, Latif terlibat dalam berbagai pertempuran. Ia
menjabat sebagai komandan Komando Kota ketika Belanda menyerbu Yogyakarta pada
tahun 1948. Setelah berhasil keluar dari Yogya yang sudah terkepung, ia
melakukan gerilya.
Setelah
penyerahan kedaulatan, Latif ditugaskan di Markas Besar Angkatan Darat,
kemudian ditunjuk sebagai Atase Militer RI untuk Filipina pada tahun 1952, lalu
dipindahkan ke Washington hingga tahun 1956. Sekembalinya di Indonesia ia
ditugaskan memimpin Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) yang kini
menjadi Seskoad (Bandung). Jabatannya setelah itu antara lain sebagai Rektor
IKIP Negeri Jakarta pada tahun 1965. Pada tahun 1967, Latif memasuki usia
pensiun dengan pangkat Brigadir Jenderal. Karir militernya dihabisi seiring
surutnya peran Sukarno. Sejak saat itu ia mencurahkan segala perhatian dan
tenaganya bagi Yayasan Perguruan Rakyat dan organisasi Indonesia Muda . Ia meninggal
di Jakarta , 14 Maret 1983 pada umur 72 tahun (Soebagijo I.N., 2004 : 394, tirto.id, 2009, dll.).
Komentar
Posting Komentar