Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2020

Seni Rupa dan Revolusi

Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, revolusi bersenjata melawan Belanda yang mencoba menguasai Indonesia kembali dimulai. Banyak seniman bergabung dalam gerilya serta menjadi wartawan. Mereka menjadi seniman dan propagandis bawah tanah. Walaupun masa ini merupakan masa berbahaya, kelaparan dan peningkatan kekerasan dan tekanan Belanda, ada perkembangan secara serempak organisasi-organisasi seni yang usianya tidak lama , hanya satu atau dua tahun saja. Menjelang akhir tahun 1940, ada orang-orang yang merasakan kebutuhan untuk menjauhkan seni dan politik. Menurut Astri Wright dari Department of History in Art, University of Victoria, B.C., seni modern Indonesia pada tahun 1940-an merupakan suatu profesi yang sedang dibangun. Gejolak politik dan sosial masa itu menambahkan suatu intensitas kepada proses pencarian jati diri seniman sebagai kelompok sosial dan profesional baru dalam hubungannya dengan masalah-masalah mendesak saat itu. Tuntutan situasi politik selama perjuanga...

Pramoedya Ananta Toer (1925-2006)

Gambar
“Ketika kedaulatan telah dikembalikan ke negara kita dan Belanda telah pergi, orang-orang kelelahan akibat pengalaman masa perang, kelelahan oleh granat-granat, yang meledak dan ledakan-ledakan yang menggetarkan hari mereka. Untuk sementara mereka yang berusaha mendapatkan medali dan kedudukan-kedudukan tinggi berteriak kepada orang-orang agar bersemangat, tapi tak lama. Tak lama semua akan kembali seperti semula. Semua ditinggalkan untuk bertarung dengan dirinya sendiri dan bertarung sendirian melawan dunia sedapat-dapatnya.” (Petikan dari “Dia yang Menyerah,” 1950).  Pramoedya Ananta Toer terkenal dengan empat nover bersejarahnya (tetralogi) yang diberi latar Jawa pada masa awal modernisasi kolonial (1890-1925) yang telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa dan telah memberinya pengakuan internasional sebagai pendongeng cerita yang kaya, jalan ceritanya memikat, penuh dengan rincian dan warna, direnda dengan tema-tema rumit tentang daya tarik sosial yang bersejarah maupun yang ...

Idrus (1921-1979)

Gambar
Idrus Prosais dan Kandidat Doktor dari Universitas Monash Australia. Idrus lahir di Padang, Sumatera Barat, pada tahun 1921. Pada zaman ia diangkat sebagai redaktur di badan penerbit pemerintah, Balai Pustaka. Mula-mula ia menulis drama tradisional, namun di awal Revolusi (1945-1947), ia mengeluarkan beberapa cerita pendek yang revolusioner, yang kemudian diterbitkan dalam sebuah antologi berjudul Tjorat-tjoret di Bawah Tanah pada tahun 1948. Tjorat-tjoret ditulis selama pendudukan Jepang dan berlatar belakang Jakarta dalam bentuk cerita pendek (cerpen) sebagai genre sastra yang sedang musim. Sebelumnya novel merupakan jenis prosa modern pertama di Indonesia. Cerpen tidak hanya diterima sebagai, tetapi kadang-kadang bahkan menguasai kesusasteraan modern.  Kesederhanaan Baru.  Pengakuan yang meningkat terhadap cerpen ini berkat mutu inovatif karya Idrus karena caranya menggunakan bahasa Indonesia. Pengungkapan sastranya berbeda dengan yang digunakan para novelis berlatarbela...

Persetujuan Dengan Bung Karno

Persetujuan dengan Bung Karno (Chairil Anwar)   Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji  Aku sudah cukup lama dengan bicaramu dipanggang diatas apimu, digarami lautmu    Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945   Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu  Aku sekarang api aku sekarang laut    Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat. Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar  Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

Chairil Anwar

Gambar
“Angkatan ‘45 harus berdiri sendiri, menjalankan dengan tabah dan berani. Nasibnya sendiri menjadi pernyataan revolusi” (Manifesto Angkatan ’45).  Chairil Anwar lahir di Medan pada tahun 1922 dan pergi ke Batavia saat remaja. Pada tahun 1943 ia menawarkan puisi pertamanya namun ditolak oleh majalah sastra satu satunya karena individualisme yang kasar, sementara oleh badan sensor Jepang dianggap kebarat-baratan yang merusak. McGlynn menyebut Chairil sebagai “orang liar dalam puisi Indonesia, yang hidupnya terlalu singkat, telah mengubah puisi Indonesia.” (2002 : 106). Dalam kehidupan yang bergejolak, ia menunjukkan semangat hidup yang dianut dalam seninya, pada saat yang sama menunjukkan, kematiannya karena tipus di usia ke-27, “kesementaraan segalanya yang menutup semuanya” (Kepada Pelukis Affandi). Namun kata-kata, “Sekali berarti sudah itu mati” (Diponegoro), memuliakan pemberontakan Indonesia abad ke-19, seolah meramalkan malapetaka pemberontakannya sendiri.  Menurut Teeu...

Sastra dan Seni Rupa Revolusi

Gambar
Revolusi Indonesia membawa perubahan di banyak bidang, tidak hanya pada bidang politik tetapi juga di bidang bahasa, sastra dan seni. Pergantian kekuasaan dari Belanda ke Indonesia menjadi benih tumbuhnya kepercayaan diri, kesadaran nasional dan pribadi. Dengan dihapuskannya bahasa Belanda oleh Jepang dan diambilnya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, mengagetkan banyak penulis Indonesia yang menemukan dirinya tak mampu mengatasi perubahan keadaan yang tiba-tiba secara kreatif (McGlynn, 2002: 105).   Suatu generasi sastrawan dinamakan Angkatan 45, orang-orang yang daya kreatifnya memuncak pada zaman revolusi. Mereka merasa yakin bahwa seni mereka menjadi bagian dari perkembangan Revolusi (Ricklefs, 2004 : 433). Di antara mereka adalah Chairil Anwar, Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Loebis.  Lukisan modern juga mulai menjadi matang dalam Revolusi ketika seniman-seniman seperti Affandi dan Soedjojono tidak hanya menuangkan semangat revolusi dalam lukisan-lukisan...