Seni Rupa dan Revolusi
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, revolusi bersenjata melawan Belanda yang mencoba menguasai Indonesia kembali dimulai. Banyak seniman bergabung dalam gerilya serta menjadi wartawan. Mereka menjadi seniman dan propagandis bawah tanah. Walaupun masa ini merupakan masa berbahaya, kelaparan dan peningkatan kekerasan dan tekanan Belanda, ada perkembangan secara serempak organisasi-organisasi seni yang usianya tidak lama , hanya satu atau dua tahun saja. Menjelang akhir tahun 1940, ada orang-orang yang merasakan kebutuhan untuk menjauhkan seni dan politik.
Menurut Astri Wright dari Department of History in Art, University of Victoria, B.C., seni modern Indonesia pada tahun 1940-an merupakan suatu profesi yang sedang dibangun. Gejolak politik dan sosial masa itu menambahkan suatu intensitas kepada proses pencarian jati diri seniman sebagai kelompok sosial dan profesional baru dalam hubungannya dengan masalah-masalah mendesak saat itu. Tuntutan situasi politik selama perjuangan kemerdekaan dan kedekatan bekerja sama dengan pemimpin-pemimpin nasional, memaksa sebagian seniman utntuk menyesuaikan diri menurut garis-garis ideologi para pemimpin, sehingga menambah intensitas dan tujuan pada program organisasi dan karya seni para seniman.
Diskusi-diskusi yang mengarah pada proses pembentukan seni memberikan para seniman pengalaman pertama yang sangat perlu dengan peralatan administratif modern dan dengan suatu forum sosial, di mana batasan-batasan kelas, daerah dan suku bangsa telah runtuh. Hal ini membawa ke perdebatan hangat mengenai jatidiri nasional yang berlawanan dengan kesetiaan sebelumnya yang rata-rata berwawasan daerah atau penuh kolaborasi.
Kini seni modern Indonesia menawarkan kepada sejarah seni dunia lintasan perkembangan dan karya-karya yang secara keseluruhan tidak ditemukan di negara lain. Tahun 1940-an menyediakan wawasan mendasar ke dalam seni dan politik seni selama suatu periode revolusioner. Seni dan politik seni kemudian menjadi dasar bagi segala sesuatu yang mengikuti dan berhubungan dengan kemajuan seni Indonesia (2002 : 56-57).
Wright selanjutnya menggambarkan kronologi perkembangan seni dan organisasinya. Tahun 1922 muncul pendirian Taman Siswa yang menekankan pendidikan seninya dalam silabus. Tahun 1938, Persagi didirikan oleh seniman Sudjojono dan Agus Djaja sebagai reaksi atas Mooi Indie. Tahun 1942, ada Poetera yang dipimpin oleh empat serangkai (Sukarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan K.H. Mas Mansyoer). Bagian seni dari Poetera dipimpin Sudjojono, Affandi, Hendra Gunawan, Henk Ngantung. Tahun 1943, pemerintah Jepang mendirikan Keimin Bunka Shidoso. Pusat budaya ini dimaksudkan untuk mewujudkan impian Asia untuk orang Asia dan janji kemerdekaan Indonesia. Bagian propaganda dipimpin oleh Agus Djaja. Tahun 1945, muncul Pelukis Front yang didirikan Sudjana Kerton, Affandi dan Hendra Gunawan yang melukis suasana pertempuran di sekitar Bandung. Tahun 1946, muncul organisasi Gelanggang, yang dipimpin oleh Mochtar Apin, Baharuddin M.S. dan Henk Ngantung bersama penyair Chairil Anwar dan Asrul Sani. Ada pula Seniman Indonesia Muda (SIM) yang dipimpin Hendra Gunawan. Tahun 1947, muncul Pelukis Rakyat di Yogyakarta sebagai pecahan SIM. Di dalamnya ada Affandi, Gunawan, Kusnadi, Sudarso, Sasongko, Setijoso dan Kerton. Tahun 1948, Gabungan Pelukis Indonesia (GPI) didirikan di Jakarta oleh Affandi. Tahun 1950, Kusnadi, Sumitro dan Sasongko dari Pelukis Rakyat membentuk Pelukis Indonesia diikuti oleh Solihin dan Bagong Kussudiardjo.
Komentar
Posting Komentar