Idrus (1921-1979)
Idrus Prosais dan Kandidat Doktor dari Universitas Monash Australia. Idrus lahir di Padang, Sumatera Barat, pada tahun 1921. Pada zaman ia diangkat sebagai redaktur di badan penerbit pemerintah, Balai Pustaka. Mula-mula ia menulis drama tradisional, namun di awal Revolusi (1945-1947), ia mengeluarkan beberapa cerita pendek yang revolusioner, yang kemudian diterbitkan dalam sebuah antologi berjudul Tjorat-tjoret di Bawah Tanah pada tahun 1948. Tjorat-tjoret ditulis selama pendudukan Jepang dan berlatar belakang Jakarta dalam bentuk cerita pendek (cerpen) sebagai genre sastra yang sedang musim. Sebelumnya novel merupakan jenis prosa modern pertama di Indonesia. Cerpen tidak hanya diterima sebagai, tetapi kadang-kadang bahkan menguasai kesusasteraan modern.
Kesederhanaan Baru.
Pengakuan yang meningkat terhadap cerpen ini berkat mutu inovatif karya Idrus karena caranya menggunakan bahasa Indonesia. Pengungkapan sastranya berbeda dengan yang digunakan para novelis berlatarbelakang Minangkabau sebelumnya. Cerpen Idrus berlatar belakang Jakarta dengan bahasa rasa Jakarta dalam kosa kata dan rasa bahasanya. Menurut Teeuw, sintaksis yang digunakan Idrus menyimpang dari kalimat bertele-tele yang halus. Idrus memperkenalkan apa yang disebutnya “Kesederhanaan Baru” terjemahan dari “Neue Sachlickeit”, nama gerakan dalam seni modern yang mapan pada abad 20-an. Ilham yang diterapkan oleh Idrus sendiri pada gaya sastranya ini berasal dari karya novelis Belanda, Willem Elsschot, yang dianggap wakil khas Balanda dari gerakan ini. Idrus menerjemahkan salah satu buku terkenal Elsschot, Kaas (Keju) pada tahun 1948. Alinea pertama dari cerita, “Kota Harmoni”, tentang perjalanan naik trem di Jakarta, memberi contoh sangat baik mengenai gaya dramatis yang sangat sederhana ini. “Trem penuh sesak dengan orang, keranjang, tong-tong berisi maupun kosong , kambing dan ayam. Hari panas dan orang maupun hewan berkeringat. Trem berbau keringat dan terasi. Daun-daun jendela tebal dengan ludah dan ludah sugi sirih, merah seperti tomat.” (Dari “Kota Harmoni”).
Humor Sinis.
Ciri khas lain dari cerpen Idrus adalah humor sinis. Ini adalah tentang satu-satunya cara yang tertinggal untuk mengatasi kelaparan dan kemiskinan serta penderitaan akibat penindasan Jepang. Ini membawa kita pada ciri yang ketiga dari cerita-cerita Idrus : ia memilih tokoh utamanya dari rakyat biasa di Jakarta. Pengarang jelas berpihak pada korban-korban tersebut. Cerita-cerita Idrus terfokus pada masalah keberadaan yang dihadapi oleh semua orang malang tentang bagaimana bertahan dalam kesengsaraan hidup sehari-hari. Pada saat yang sama, ia membicarakannya melalui humor dan satir (Teeuw, 2002 : 110-111). Dalam karangan yang lebih panjang, Surabaya, yang dilatarbelakangai Pertempuran Surabaya, dengan sarkasme yang nyata, ia menyajikan sisi lain dari pertempuran hebat ini. “Film koboi baru sedang ditayangkan. Di balik jeruji besi tampak wajah-wajah kuning. Di jalan, di mana-mana, koboi. Di pinggul mereka, pistol dan golok. Pistol untuk menembak pencuri sapi dan golok...untuk hiasan. Gadis-gadis tak lagi mencari gelar mempesona atau wajah ganteng. Mereka sekarang hanya melihat pistol dan golok dengan rasa cinta, dan mereka menyerah pada benda-benda pembunuh ini. Orang berjalan dengan dada membusung. Pencurian sapi tak pernah terjadi, tetapi tembakan pistol terdengar setiap hari. Mula-mula orang kaget ketika mendengar tembakan. Tapi kini, setelah tahu bahwa tembakan itu diarahkan ke udara, ke tempat Tuhan berada, mereka bersorak penuh semangat tiap kali mendengar tembakan” (Surabaya, 1948).
Penggunaan ironi yang dramatis ini menimbulkan kemarahan di Indonesia. Idrus dituduh menghina mereka yang mempertaruhkan nyawa bagi kemerdekaan negara dan melecehkan semangat peperangan bangsanya. Kesinisannya tak dihargai setelah masa revolusinoner. Namun berkat karyanya yang sedikit membuka zaman baru, Idrus memiliki kebanggaan dalam sejarah sastra Indonesia. Idrus secara radikal mengubah wujud wacana prosa Indonesia dalam tiga cara. Ia memberi tempat bagi cerita pendek dalam daftar kesusastraan, mengganti estetisme sastra pendahulunya dengan Realisme Baru gubahannya. Ia menemukan pendukungnya di antara kaum tertindas dan korban ketidakadilan sosial. Di tengah Revolusi Indonesia, ia mempersembahkan ironi kepahlawanan (Teeuws, Kenyataan Baru: Idrus dan Cerita Pendek, 2002: 110-111).
Komentar
Posting Komentar