Chairil Anwar
“Angkatan ‘45 harus berdiri sendiri, menjalankan dengan tabah dan berani. Nasibnya sendiri menjadi pernyataan revolusi” (Manifesto Angkatan ’45).
Chairil Anwar lahir di Medan pada tahun 1922 dan pergi ke Batavia saat remaja. Pada tahun 1943 ia menawarkan puisi pertamanya namun ditolak oleh majalah sastra satu satunya karena individualisme yang kasar, sementara oleh badan sensor Jepang dianggap kebarat-baratan yang merusak. McGlynn menyebut Chairil sebagai “orang liar dalam puisi Indonesia, yang hidupnya terlalu singkat, telah mengubah puisi Indonesia.” (2002 : 106). Dalam kehidupan yang bergejolak, ia menunjukkan semangat hidup yang dianut dalam seninya, pada saat yang sama menunjukkan, kematiannya karena tipus di usia ke-27, “kesementaraan segalanya yang menutup semuanya” (Kepada Pelukis Affandi). Namun kata-kata, “Sekali berarti sudah itu mati” (Diponegoro), memuliakan pemberontakan Indonesia abad ke-19, seolah meramalkan malapetaka pemberontakannya sendiri.
Menurut Teeuw (2002 :108), keseluruhan puisi Chairil bergantung pada pertempuran antara nafsu untuk hidup dan malapetaka kematian , pada paradoks antara apa yang merupakan ucapannya “aku ingin hidup seribu tahun lagi” (Aku) dan pengakuannya “hidup hanya menunda kekalahan” (Derai-derai Cemara). Ironi dari keadaan eksistensial terlihat dari Sajak Putih. “Hidup dari hidupku, pintu terbuka/Selama matamu bagiku mengadah//Selama kau darah mengalir dari luka/Antara Kita Mati datang tidak membelah ...” Dalam Kerawang-Bekasi, pahlawan akhirnya kalah atau mati. “Kami sekarang mayat. / Berilah kami arti. / Berjagalah terus di garis pernyataan dan impian.” Di dalam Di Mesjid, konfrontasi dengan Tuhan berakhir dengan perselisihan. “Ini ruang/ Gelanggang kami berperang / Binasa membinasa / Satu menista lain gila.” Dalam Isa, pemandangan putra Tuhan berdarah hingga mati. “Itu tubuh / Mengucur darah / Mengucur darah.”
Masih menurut Teeuw, Chairil bukan menara gading romantisme Barat. Dengan cara yang bertanggungjawab ia menciptakan puisi yang mengena dan menusuk yang merupakan sumbangan bagi revolusi. Chairil menyumbangkan sekitar 70 puisi dan memberi makna pada gagasan agung tentang satu bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi yang menyeluruh untuk satu negara Indonesia (2002 : 109).
Komentar
Posting Komentar