Pramoedya Ananta Toer (1925-2006)


“Ketika kedaulatan telah dikembalikan ke negara kita dan Belanda telah pergi, orang-orang kelelahan akibat pengalaman masa perang, kelelahan oleh granat-granat, yang meledak dan ledakan-ledakan yang menggetarkan hari mereka. Untuk sementara mereka yang berusaha mendapatkan medali dan kedudukan-kedudukan tinggi berteriak kepada orang-orang agar bersemangat, tapi tak lama. Tak lama semua akan kembali seperti semula. Semua ditinggalkan untuk bertarung dengan dirinya sendiri dan bertarung sendirian melawan dunia sedapat-dapatnya.” (Petikan dari “Dia yang Menyerah,” 1950). 

Pramoedya Ananta Toer terkenal dengan empat nover bersejarahnya (tetralogi) yang diberi latar Jawa pada masa awal modernisasi kolonial (1890-1925) yang telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa dan telah memberinya pengakuan internasional sebagai pendongeng cerita yang kaya, jalan ceritanya memikat, penuh dengan rincian dan warna, direnda dengan tema-tema rumit tentang daya tarik sosial yang bersejarah maupun yang kontemporer seperti misalnya : peran perempuan yang tegar, kebangkitan nasionalisme, sifat negara kepolisian, dan perjuangan kebudayaan yang diperlukan oleh modernisasi. 

Beberapa karya Pramoedya yang paling memikat dan penting tidak banyak diterjemahkan di luar negeri dan kurang dikenal di Indonesia kini. Ini adalah karya – lebih dari dua lusin cerita pendek dan beberapa novella, novel, dan bagian dari novel – mengenai Revolusi Indonesia (1945-1949) ditulis antara akhir tahun 1946 dan awal 1950. Pengalaman tangan pertama Pramoedya dalam Revolusi itu terdiri dari setahun di angkatan bersenjata Indonesia yang baru lahir, Departemen Penerangan, dan lebih dua tahun di penjara. Ia ditangkap oleh serdadu Belanda pertengahan tahun 1947, dipenjara hingga beberapa minggu sebelum Revolusi berakhir ketika Belanda mengakui kedaulatan Republik di akhir bulan Desember 1949. Salah satu ciri tulisan Pramoedya adalah penolakannya mematuhi kekolotan atau sudut pandang tertentu. Novel Keluarga Gerilya, misalnya, terlalu sentimental, tidak matang, membosankan , namun dipuji karena kandungan nasionalisme dan humanismenya hingga pada tahun 1965 dianjurkan untuk diajarkan di sekolah. Pramodya nampaknya dipengaruhi oleh Steinback dan Saroyan, dan menyelaraskan gaya prosa mereka dengan kosakata dan irama bahasa Indonesia modern yang sedang berubah cepat. Meskipun tidak dianggap berhasil, Pramoedya menunjukkan kecakapan yang luar biasa dalam berbagai hal dan keberanian sastra. Pramoedya memandang aspek masa revolusi dari sudut pandang yang berbeda. Di satu pihak ia menggunakan kata saya (orang pertama); di pihak lain ia sering menulis dari sudut pandang perempuan demi menjelajahi hubungan pribadi, keluarga dan masyarakat sampai tingkat yang tidak dilakukan oleh penulis sezamannya. Di pihak lain ia tidak ragu tetap berpihak pada yang lemah, kaum miskin, bernasib buruk, diperlakukan tidak adil, tertindas, terjebak. Para kritikus terpecah dalam memandang Pramoedya, apakah ia tergolong dalam Angkatan 45 ataukah ia seorang humanis semesta. Dari semua tulisannya tentang revolusi, yang paling menonjol adalah dakwaan yang menusuk, kesadaran ada sesuatu yang salah dan keyakinan tidak ada keadilan sosial. 

Dalam Percikan Revolusi, Kenang-kenangan Kepada Kawan (1947) dan Jongos + Babu (1949), Dia yang Menyerah (1950) dengan sarkasme serta desakan anti ontoriter yang lucu dan aneh, kemunafikan dan kekejaman semua yang terlibat dalam perjuangan revolusi, dipaparkan tanpa rasa kasihan melalui kenyataan yang keras. Pramoedya juga mengungkapkan nada anti tradisi (anti feodal, bahkan anti Jawa) dalam pemikirannya. Belakangan ia menunjukkan serangan radikal, yaitu menantang pemerintah yang berkuasa dan menerima kebijaksanaan dalam masalah sosial dan budaya. Meskipun karya Pramoedya memuji nilai-nilai dan romantika nasionalisme militan, ia menilai Revolusi Indonesia telah gagal membawa dan mendukung keadilan sosial karena tidak ada revolusi sosial. Yang terinjak tetap terinjak, kaum elit tetap menindas dengan cara lamanya. Mereka diikuti oleh beragam kelas baru yang terdiri dari tuan-tuan bahkan lebih menyakitkan daripada sebelumnya. Kekecewaan Pramoedya dapat ditelusuri pada pembicaraan Pramoedya dengan ahli sosiologi dan pemikir sosialis Belanda, Willem F. Wertheim, tahun 1953, atau pada kunjungannya yang pertama ke Tiongkok tiga tahun kemudian. 

Bentuk kekecewaan yang mungkin juga dipolitisasi ini berasal dari pengalaman Pramoedya di kemiliteran tahun 1946. Cara Pramoedya mengungkapkan kekecewaan dalam bentuk sastra yang kuat menarik perhatian. Ia merekam dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Cerita pendek Surabaya karya Idrus (1948), tampak seperti karikatur tajam tetapi canggung bila dibandingkan dengan tulisan terbaik Pramoedya tentang Revolusi. (Sumber : William Frederick, Department of History, Ohio University, Renungan Tentang Pemberontakan : Pramoedya Ananta Toer, dalam Indonesian Heritage, 2002:112-113).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan