Pembantaian Kelompok Pemuda Pimpinan Robert Wolter Monginsidi dan Rakyat Sulawesi Selatan.

 

Pada bulan November 1946, kedudukan Belanda di Sulawesi Selatan terancam oleh pada pemuda Republik yang kembali dari Jawa yang sudah telah mendapat latihan militer. Pada bulan Desember, pihak Belanda menanggapi hal ini dengan melepas seorang tokoh yang paling keji bagi Revolusi, Kapten Raymond “Turk” Westerling. Metode-metodenya menggunakan teror yang sewenang-wenang segera diikuti oleh pihak-pihak yang anti Republik lainnya di Sulawesi Selatan (Ricklefs, 2004 : 451).

Divisi 7 Desember bentukan Westerling mengadakan aksi yang seram terhadap rakyat  Indonesia. Diduga rakyat yang tewas oleh aksi tersebut berjumlah 40.000 orang, antara tanggal 7 Desember 1946 sampai 25 Januari 1947 (Supeni, 2001 : 255). Di antara mereka adalah Datu dari Supa yang pro Republik, yang dibunuh oleh pasukan-pasukan Westerling pada bulan Februari 1947. Kelompok-kelompok pemuda pimpinan Wolter Monginsidi dibinasakan (Ricklefs, 2004 : 451).

Robert Wolter Monginsidi.

 


Robert, yang akrab dengan panggilan Bote, dilahirkan di desa Malalayang, Sulawesi Utara. Ia anak ketiga. Ayahnya seorang petani kelapa. Robert tidak sempat menamatkan pendidikannya di MULO karena pecan Perang Pasifik pada tahun 1942. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Guru di Ujungpandang pada saat Jepang berkuasa. Ia kemudian masuk ke Sekolah Nasional yang didirikan oleh Dr. Sam Ratulangi dan Lanto Daeng Pasewang setelah Indonesia merdeka.

Sewaktu pasukan pendudukan Australia mendarat di Sulawesi dengan diboncengi pasukan Belanda (NICA), Robert segera bangkit memimpin teman-temannya menentang Belanda. Pada akhir Oktober 1945 Robert memimpin serangan umum untuk merebut kekuasaan. Serangan umum itu dapat digagalkan dan Robert ditangkap Belanda. Dua bulan kemudian ia dilepaskan.

Robert kemudian mendirikan Lapris (Laskar Pemberonak Rakyat Indonesia Sulawesi), gabungan laskar-laskar bersenjata di  Sulawesi Selatan. Belanda pun membuat sayembara dengan imbalan uang bagi siapa pun yang dapat menunjukkan tempat persembunyian Robert.

Pasukan Belanda di bawah Kapten Westerling yang terkenal kejam, mengadakan pembersihan besar-besaran dan menelan korban puluhan ribu jiwa. Robert tertangkap pada akhir Februari 1947.

Setelah delapan bulan dalam penjara Robert meloloskan diri namun tertangkap sembilan hari kemudian. Robert akhirnya dijatuhi hukuman mati. Pada 5 September 1949 Robert dihukum tembak. Ia dibaringkan dengan Alkitab sebagai alas kepalanya. Pada hari Pahlawan 10 November 1950 jenazahnya dipindahkan dari pemakaman Kristen Pampang ke Taman Makam Pahlawan Ujungpandang atau Makassar (Soebagijo I.N., 2004 :358).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan