Perjanjian Linggajati
Pemerintah Belanda mengeluarkan statemen kepada Staaten Generaal, di mana ditegaskan bahwa Pemerintah Republik dengan Sukarno sebagai Presiden sudah merupakan satu kenyataan. Mempertahankan perbedaan antara Sukarno dan Sjahrir tidaklah akan membawa buah dalam perundingan-perundingan yang sedang dilakukan.
Pada tanggal 10 November , Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta berkunjung ke Linggajati, untuk menghadiri perundingan Indonesia-Belanda dan Perayaan Hari Raya pertama di seluruh Indonesia. Keesokan harinya diadakan jamuan makan siang di Linggajati yang diadakan oleh delegasi Indonesia, di mana hadir Presiden Sukarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, Komisi Jendral (sebagai delegasi Belanda) dengan Lord Killearn.
Pada tanggal 15 November 1946 Naskah Perjanjian Linggajati antara Indonesia-Belanda diparaf oleh kedua belah pihak. Perjanjian itu terdiri atas 17 pasal antara lain berisi :
1. Belanda mengakui Republik Indonesia de facto di seluruh Jawa, Madura dan Sumatra;
2. Akan didirikan suatu negara Indonesia Serikat , yang meliputi seluruh Indonesia, yang terdiri atas Republik Indonesia, Indonesia Timur dan Borneo. Kedaulatan dan kemerdekaan negara Indonesia Serikat itu selambat-lambatnya harus sudah dicapai pada tanggal 1 Januari 1949;
3. Negara Indonesia Serikat dan Nederland akan menjadi anggota Uni Indonesia Nederland dengan (putri ) mahkota Belanda sebagai Kepala.
Pada tanggal 24 November 2021, Komisi Jendral kembali ke Nederland dan tanggal 30 November tentara Inggris yang terakhir meninggalkan Indonesia. Pada tanggal 14 Desember, C.H. Campbell diangkat menjadi Trade Commissioner Republik Indonesia di Australia. Pada tanggal 16 Tweede Kamer mulai bersidang untuk membicarakan persetujuan Linggajati.
Benteng Republik Indonesia
Setelah naskah
Persetujuan Linggajati ditandatangani, muncul reaksi pro dan kontra, baik di
lingkungan bangsa Indonesia maupun Belanda. Di kalangan bangsa Indonesia, beberapa
partai menyatakan menentang, yakni Masyumi, PNI, Barisan Pemberontak Rakyat
Indonesia, Barisan Benteng, KRIS, Partai Wanita, Angkatan Komunis Muda (Acoma),
Partai Rakyat Indonesia, Laskar Rakyat Jawa Barat, Partai Rakyat Jelata. Pada
tanggal 12 Desember 1946, mereka membentuk badan oposisi bernama Benteng
Republik Indonesia.
Partai-partai yang mendukung adalah PKI, Pesindo, BTI, Laskar Rakyat, Partai Buruh Indonesia, Barisan Tani Indonesia, SOBSI, Partai Rakyat Pasundan (PRP), Parkindo, dan Partai Katolik. Pertentangan pendapat mengenai Persetujuan Linggajati ini berjalan terus, dan karena itu banyak hambatan dalam pelaksanaannya. PRP yang dipimpin olej Suria Kartalegawa, menginginkan berdirinya Negara Pasundan yang merdeka (Supeni, 2001 : 253-256).
Ratifikasi
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, yang bertujuan untuk meredakan sikap pro dan kontra ini melalui penyempurnaan susunan KNIP guna memperolah dukungan untuk meratifikasi. Parlemen Belanda memberikan persetujuan pada tanggal 20 Desember 1946. Pada tanggal 27 Maret 1947, naskah Persetujuan Linggajati yang ditandatangani oleh kedua delegasi yang mewakili pemerintah masing-masing (Masyhuri, 2004 : 394-395).
Pengakuan Luar Negeri dan Dukungan Dalam Negeri
Upaya upaya melalui jalur diplomasi nampaknya mulai mendatangkan hasil. Di dunia internasional, pada tanggal 18 November 1946 Arab League dalam sidangnya menganjurkan kepada Mesir, Syria, Irak, Libanon, Saudi Arabia, Transyordania dan Yaman supaya mengakui Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
Sementara itu di dalam negeri pun mulai menuai dukungan. Pada tanggal 29 November di Serui, Papua, didirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) diketuai S. Papare yang memperjuangkan kemerdekaan Irian selaku daerah Republik (Supeni, 2001 : 255).
Komentar
Posting Komentar