Asia Relation Conference

 




Pada tanggal 27 Desember 1948, Presiden Sukarno, St. Syahrir dan H. Agus Salim diasingkan ke Brastagi, sedang Wakil Presiden Moh. Hatta, Mr. Moh. Rum, Mr. Ali Sastroamidjojo , Mr. Asaat diasingkan ke Bangka. Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi sebagai berikut :

(1)    Permusuhan harus segera dihentikan;

(2)    Presiden serta pemimpin-pemimpin Republik Indonesia yang ditangkap pada tanggal 19 Desember 1948 harus dibebaskan;

(3)    Komisi Tiga Negara diminta memberikan laporan lengkap mengenai situasi di Indonesia sejak tanggal 19 Desember 1948 (Masyhuri, 2024 : 167).

Konferensi Asia untuk Indonesia

Asia Relations Conference di New Delhi menghasilkan resolusi New Delhi pada tanggal 28 Januari 1949 yang menuntut Belanda menarik diri dari Karesidenan Yogyakarta, yang kemudian disepakati oleh pemerintah India, Australia, Cina, Kuba, Norwegia dan AS.

Asia Relations Conferense yang lebih dikenal sebagai Konferensi Asia untuk Indonesia ini bermula dari dukungan moral yang diberikan oleh India, Sri Lanka, Myanmar (Burma) , dan Pakistan pada tanggal 21 Desember 1948 yang menghasilkan pemboikotan pelayanan kapal-kapal terbang Belanda yang singgah di bandara-bandara Sri Lanka, Pakistan dan India. Konferensi  ini juga membantu usaha Dr. H.M. Rasyidi di Kairo untuk menggalang pendapat Liga Arab agar agresi Belanda dihentikan (Purwoko, 2024 : 338).

Tekanan AS terhadap Belanda

Menurut Saputra dalam tesisnya mengatakan bahwa melalui Konferensi Asia untuk Indonesia di New Delhi yang diprakarsai India, yang diikuti oleh Menteri Luar Negeri PDRI beserta perwakilan-perwakilan RI di berbagai negara, berhasil disampaikan resolusi kepada Dewan Keamanan PBB untuk segera menyelesaikan persoalan Indonesia-Belanda. Dewan Kemanan PBB lalu mengeluarkan resolusi yang sesuai dengan tuntutan Konferensi Asia untuk Indonesia. Belanda yang tidak langsung mematuhi resolusi Dewan Keamanan PBB, akhirnya karena tekanan Amerika di satu pihak, dan karena telah merasa kewalahan menghadapi serangan balik Republik di pihak lain, memprakarsai perundingan.

Dalam perundingan itu Belanda mengajukan syarat hanya mau berunding dengan pemimpin Republik yang ditawan di Bangka, bukan dengan PDRI. Di sinilah muncul dilema di kalangan pemimpin-Republik, dalam memutuskan yang berhak mewakili Indonesia dalam perundingan: pemerintah yang sah (PDRI) atau pemimpin yang ditawan? Karena pertimbangan dukungan dari Sekutu Barat. terutama Amerika, pemimpin yang ditawan di Bangka lalu melaksanakan perundingan, walapun ada keberatan dari pihak PDRI dan TNI, karena alasan legalitas di satu pihak dan karena pertimbangan strategi gerilya yang hampir mencapai kemenangan di pihak lain. Perundingan itu menghasilkan Pernyataan Roem Royen berhasil mengembalikan pemimpin yang ditawan ke Yogyakarta serta disepakatinya rencana Konferensi Meja Bundar (KMB).

Selanjutnya, dalam sidang kabinet luar biasa, mandat PDRI dikembalikan, dan Kabinet Hatta II terbentuk. Tidak lama kemudian melalui KMB di Den Haag, kedaulatan RI dipulihkan tanggal 22 Desember 1949.

Dari kajian ini dapat disimpulkan, bahwa pemerintahan dan perjuangan PDRI yang berlangsung sekitar tujuh bulan, dan mendapat dukung dari TNI, birokrasi pemerintahan, serta partisipasi rakyat, dan luar negeri (negara-negara Asia) berperan penting dalam mempertahankan eksistensi negara RI di satu pihak, dan menghantarkan negara RI ke pintu gerbang pemulihan kedaulatan [Saputra, Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dalam mempertahankan kedaulatan RI 1945-1949, Tesis, 1997, https://lib.ui.ac.id/detail.jsp?id=80171].

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan