Postingan

Keterangan Pemerintah Mengenai Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin

Pada tanggal 2 Maret 1959 pukul 19.30 dalam Rapat Pleno DPR Perdana Menteri Djuanda menyampaikan pidato mengenai pelaksanaan Demokrasi Terpimpin. Dalam pengantar pidatonya Djuanda menyampaikan bahwa sejak tahun 1949 negara menghadapi kesulitan-kesulitan di bidang politik, ekonomi, militer dan kemasyarakatan. Kelemahan terjadi antara lain karena banyaknya partai-partai dan fraksi-fraksi dalam DPR, tidak adanya stabilitas pemerintahan, dan penyelewengan-penyelewengan di bidang sosial ekonomi sehingga pemerintah harus meninggalkan sistem yang lama dan menempuh jalan baru (Supeni, 2001 : 353-354).  Prinsip Demokrasi Terpimpin Pembentukan masyarakat adil dan makmur tidak bisa dilakukan dengan demokrasi liberal. Demokrasi liberal tidak cocok dengan kepribadian rakyat Indonesia dan dasar hidup bangsa Indonesia. Demokrasi harus mempunyai disiplin dan harus mempunyai pimpinan. Demokrasi hanyalah alat bukan tujuan. Tujuannya adalah masyarakat adil dan makmur, suatu masyarakat yang penuh deng...

Perjanjian Dwi kewarganegaraan RI-RRT

Pada tahun 1955 Pemerintah Indonesia dan Tiongkok menyepakati perjanjian Dwikewarganegaraan dengan prinsip persamaan derajat, saling memberi manfaat dan tidak campur tangan di dalam politik dalam negeri negara masing-masing. Dalam perjanjian tersebut disepakati, seseorang yang mempunyai dua kewarganegaraan dan sudah berusia dewasa harus memilih  satu  diantara  dua kewarganegaraan dalam waktu  dua  tahun setelah perjanjian mulai berlaku. Usia dewasa yang dimaksud adalah 18 tahun atau jika belum 18 tahun tetapi telah menikah. Jika seseorang mempunyai  dua  kewarganegaraan dan ingin memiliki kewarganegaraan  Republik  Indonesia, harus  melepaskan   kewarganegaraan   Republik   Rakyat   Tiongkok, demikian juga sebaliknya (siplawfirm.id, 9 Februari 2023). Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 Pada tahun 1958 lahirlah Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan Indonesia yang menyatakan bahwa ...

Pidato Bung Karno pada Seminar Pancasila

Perspektif Demokrasi Terpimpin : Pidato Bung Karno pada Seminar Pancasila 20 Februari 1959 Pancasila Tidak Perlu Diperdebatkan Lagi Pada seminar Pancasila di Yogyakarta tanggal 20 Februari 1959 Bung Karno menyetujui rumusan seminar yang berbunyi bahwa Pancasila tidak perlu diperdebatkan lagi. Bung Karno juga berpandangan bahwa revolusi kita berdasarkan atas Pancasila. Selain itu Bung Karno berkata bahwa Pancasila adalah lima buah mutiara yang telah lama terpendam di dalam kalbu bangsa Indonesia. Dwimuka Revolusi Seminar Pancasila memberikan dukungan pada demokrasi terpimpin. Bung Karno memberikan telaahan asal muasal Demokrasi Terpimpin. Bung Karno mengatakan bahwa revolusi Indonesia bermua dua : politik dan sosial. Politik untuk mencapai satu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke dan berdaulat seratus persen. Sosial untuk mengadakan masyarakat adil dan makmur di dalam Republik. Karena itu memerlukan political leadership dan economical leadership...

Keterlibatan Natsir dan Masyumi dalam PRRI

Bahaya Dikepung Komunisme Setelah mengadakan pembicaraan mengenai hasil Pemilu 1955 dengan Menteri Luar Negeri Indonesia, Ide Anak Agung Gde Agung, Menteri Luar Negeri AS John Foster Dulles menyatkan keprihatinannya bahwa Indonesia “sedang dalam bahaya dikepung komunisme.” Para pejabat yang lain juga merasa khawatir sebab partai Masyumi, yang sudah mereka bantu dengan sumbangan kampanye senilai satu juta dolar gagal memenangkan suara terbanyak. Pernyataan bahwa Indonesia “sedang dalam bahaya dikepung komunisme” sebenarnya berasal pertama kali keluar dari pemimpin Masyumi, Mohammad Natsir. ( Ricklefs 2005 : 665) Hasil Pemilu 1955, terutama di antara keempat partai besar, menandakan pengutuban yang semakin kuat antara Jawa dan luar Jawa. Sementara sebagian besar pendukung PNI, NU dan PKI berasal dari Jawa, mayoritas pemilih Masyumi tinggal di luar Jawa (Wardaya, 2008 : 147). Dana Bantuan AS Mengakui bahwa dana besar yang diberikan kepada Masyumi tersebut sebagai hal yang tidak biasa, Jos...

Pram Berkunjung ke Cina

Pramoedya Ananta Toer Berkunjung ke Cina Pada bulan Oktober 1956, Pramoedya Ananta Toer sangat terkesan dengan kunjungannya ke Beijing, sehingga dia mempropagandakan tujuan PKI di kalangan para cendekiawan. Kekagumannya padera Cina diperkuat oleh kunjungannya yang kedua pada tahun 1958-1959, pada saat dimulainya “Lompatan Maju Besar” Mao. Pramoedya menjadi tokoh terkemuka di dalam organisasi para seniman dan pengarang PKI, Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat, didirikan tahun 1950). Anggota-anggota PKI juga menjadi berpengaruh di dalam sistem sekolah Taman Siswa, di mana mereka di dukung oleh persamaan-persamaan yang dekat antara ideologi Taman Siswa dan ideologi demokrasi terpimpin.  Pada bulan Juli 1959, pemerintah mengumumkan bahwa pemerintah memenjarakan sejumlah besar narapidana kategori B di Pulau Buru di Maluku Selatan.  Pada Desember 1965 sekitar 10.000 aktivis dan pemimpin PKI telah diculik di Jakarta dan Jawa Barat, salah di antaranya adalah Pramoedya.  Di seluruh I...

Front Lebar Nasution

Pada bulan November 1958, Nasution merumuskan usulan doktrin jalan tengah : tentara tidak disisihkan dari urusan politik dan tidak juga mengambil pemerintahan(Ricklefs, 2008 : 523). Sementara menurut Budi Susanto dan Made Tony Supriatma, pada 12 November 1958, di hadapan taruna-taruna Akademi Militer Nasional, Nasution berpidato: “Kita tidak menginginkan dan kita tidak akan menjiplak siatusi seperti terdapat di beberapa Negara Amerika Latin, di mana tentara bertindak sebagai satu kekuatan politik yang langsung, demikian pula kita tidak akan meniru model Eropa Barat di mana tentara merupakan alat mati (dari pemerintah).” (ABRI Siasat Kebudayaan 1945-1995, 1995). Konsepsi itu, oleh Nasution disebut sebagai "Front Lebar," tapi Profesor Joko Sutono menyebutnya "Jalan Tengah." “Disebut Jalan Tengah karena pidato inilah yang memberikan solusi praktis bagi kekikukan militer yang sesungguhnya hanya memiliki keterampilan perang untuk tampil dalam panggung politik yang sarat ...

Setelah PRRI Permesta Ditumpas

Jatuhnya Banyak Korban Ketika akhirnya berhasil ditumpas, pemberontakan PRRI/Permesta  telah mengakibatkan jatuhnya korban yang begitu besar. Dalam memoarnya yang berjudul Memenuhi Panggilan Tugas, Jenderal Nasution memberikan perkiraan kasar mengenai jumlah rakyat Indonesia yang kehilangan nyawanya selama masa pergolakan itu. Dia menyebut angka 10.150 orang di pihak Pemerintah Pusat Indonesia. Dari jumlah ini, 2.449 di antaranya adalah tentara, 945 anggota OPR (Organisasi Pemuda Rakyat) yang ada di bawah kendali PKI, 274 polisi, dan 5.592 rakyat sipil. Sebanyak 22.174 pemberontak terbunuh. Angka tersebut didasarkan pada jumlah korban meninggal sejak meletusnya pemberontakan hingga berakhirnya pada bulan Agustus 1961 (Nasution, 282-283). Politik Militer Indonesia PRRI telah membantu menyederhanakan politik militer Indonesia. Kini banyak perwira militer yang membangkang dikeluarkan dari urusan-urusan militer sehingga Nasution menjadi pimpinan militer yang tak tertandingi. Pada bulan...