Perjanjian Dwi kewarganegaraan RI-RRT
Pada tahun 1955 Pemerintah Indonesia dan Tiongkok menyepakati perjanjian Dwikewarganegaraan dengan prinsip persamaan derajat, saling memberi manfaat dan tidak campur tangan di dalam politik dalam negeri negara masing-masing.
Dalam perjanjian tersebut disepakati, seseorang yang mempunyai dua kewarganegaraan dan sudah berusia dewasa harus memilih satu diantara dua kewarganegaraan dalam waktu dua tahun setelah perjanjian mulai berlaku. Usia dewasa yang dimaksud adalah 18 tahun atau jika belum 18 tahun tetapi telah menikah.
Jika seseorang mempunyai dua kewarganegaraan dan ingin memiliki kewarganegaraan Republik Indonesia, harus melepaskan kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok, demikian juga sebaliknya (siplawfirm.id, 9 Februari 2023).
Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958
Pada tahun 1958 lahirlah Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan Indonesia yang menyatakan bahwa orang keturunan Tionghoa wajib untuk menyatakan memilih warga negara Indonesia apabila memilih kewarganegaraan Indonesia. Meskipun demikian status kewarganegaraan warga negara Indonesia keturunan Tionghoa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 adalah dwikewarganegaraan dan wajib memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia. Baru setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 maka warga negara Indonesia keturunan Tionghoa hanya berkewarganegaraan Indonesia dan memiliki kedudukan yang sama dengan warga negara Indonesia asli (Yudhistira, Laksamana, 27 Juli 2018, Skripsi, Unej, repository.unej.ac.id)
Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkokmengenai soal dwikewarganegaraan tertanggal 22 April 1955, termasuk pertukaran nota antara Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dan Perdana Menteri Chou En Lai tertanggal Peking 3 Juni 1955, salinannya dilampirkan pada undang-undang ini.
Perspektif San Min Chu I Sun Yat Sen
Henriman Suwito yang melakukan penelitian mengenai pelepasan dwikewarganegaraan menyatakan bahwa permasalahan yang muncul karena perjanjian pelepasan dwikewarganegaraan Indonesia-Tiongkok yakni diharuskannya orang Tionghoa yang memiliki dua kewarganegaraan (Indonesia-Tiongkok) untuk memilih salah satu berdampak pada sisi politik dan ekonomi orang Tionghoa baik yang memilih kewarganegaraan RRT maupun kewarganegaraan RI.
Dampak memilih kewarganegaraan telah membentuk nasionalisme; memungkinkan orang Tionghoa berpartisipasi dalam pemerintahan demokrasi; dan membuat orang Tionghoa mengalami dinamika dalam penghidupannya sesuai kewarganegaraan dan keputusan yang dipilih. Nilai-nilai dalam San Min Chu I juga muncul dalam dampak-dampak kebijakan tersebut misalnya nilai persatuan, nilai kasih, nilai perdamaian, nilai kebebasan, dan nilai kesejahteraan (https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/108671, 2017).
Menurut Yulianti, Perjanjian Dwi Kewarganegaraan antara pemerintah RI dan RRC yang ditandatangani pada 22 April 1955, yang dituangkan dalam Undang-undang No.2 Tahun 1958 pada tanggal 11 Januari 1958 dan diimplementasikan dengan Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1959 tersebut didorong oleh kondisi yang semakin tidak menentu terhadap status etnis Tionghoa di Indonesia yang mengalami kewarganegaraan ganda (bipatride).
Terbentuknya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan pada tahun 1955 serta dibatalkannya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan pada tahun 1969, menimbulkan dampak bagi kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia. Baik dampak dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial-budaya.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Orde Lama maupun Orde Baru berusaha menciptakan asimilasi dalam bidang politik, ekonomi, sosial-budaya dan pendidikan. Asimilasi menjadi konsekuensi logis bagi etnis Tionghoa yang telah mengakui kedaulatan negara Indonesia dengan bersedia menjadi WNI dengan menggunakan prasyarat yang telah dibuat pemerintah.
Cukup banyak warga Tionghoa yang mampu berasimilasi dalam kehidupan mereka di masyarakat, hidup menyatu dengan masyarakat Indonesia. Loyalitas mereka pun nampak pada kesediaan mereka menggunakan bahasa Indonesia, mengganti nama dengan nama Indonesia dan segala atribut nasional Indonesia. Jadi pada masa itu yang cenderung berasimilasi lebih meluas walaupun belum dominan (Iing Yulianti, Universitas Pendidikan Indonesia, 2010).
Larangan Melakukan Perdagangan di Daerah Pedesaan
Pada bulan Mei 1959 telah diputuskan bahwa mulai tanggal 1 Juni 1960, orang-orang asing dilarang melakukan perdagangan di daerah pedesaan. Walaupun ketetapan ini berlaku juga untuk pedagang Arab dan India, tetapi pada dasarnya ketetapan ini merupakan langkah yang didorong pihak militer untuk memukul orang-orang Cina, melemahkan persahabatan Jakartan dengan Cina dan mempersulit urusan PKI.
Pada akhir tahun 1959, pihak tentara mulai memindahkan orang-orang Cina secara paksa dari daerah-daerah pedesaan ke kota-kota. Akhirnya, kira-kira 119.000 orang bahkan dipulangkan kembali ke Cina. Pemerintah Cina melakukan tekanan diplomatik yang sangat berat terhadap Jakarta. Sementara PKI dan Sukarno berusaha membela orang-orang Cina dan mencegah pihak militer melakukan tindakan yang lebih keras.
Keluarnya orang-orang Cina dari daerah pedesaan dan dari Indonesia secara keseluruhan mengakibatkan terjadinya dislokasi ekonomi, penimbunan barang, dan gelombang inflasi baru yang serius (Ricklefs, 2005 : 528).
Komentar
Posting Komentar