Latar Belakang Peristiwa 17 Oktober 1952


Latar belakang terjadinya Peristiwa 17 Oktober 1952 berkait dengan dua persoalan yang saling berkait. Pertama, persoalan rasionalisasi militer. Kedua, soal persoalan politik di parlemen.

(1) Persoalan Rasionalisasi Militer

Tiga Golongan Tentara

Tentara Nasional Indonesia, terutama Angkatan Daratnya, terbentuk dari tiga macam golongan yakni tentara Hindia Belanda (KNIL), tentara buatan Jepang dan tentara yang tumbuh spontan di berbagai daerah pada masa revolusi. 

Golongan yang terakhir, sebagian, secara berangsur-angsur menjadi TNI dan sebagian lagi didemobilisasi. 

Tentara yang dilatih pada masa pendudukan Jepang, terutama Pembela Tanah Air (Peta), mempunyai peranan sangat penting pada masa revolusi. 

Perwira-perwira dan kader-kader tentara Hindia Belanda meskipun sebagian tidak aktif di masa Jepang, sesudah proklamasi menjadi perwira yang aktif dalam membina TNI, dan memegang komando pusat, meskipun jumlahnya kalah besar dengan tentara pada zaman Jepang. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah A.H. Nasution.

A.H. Nasution ketika terjadi Peristiwa 17 Oktober 1952 menjabat KSAD dan memimpin delegasi para perwira TNI AD menghadap presiden untuk menyampaikan petisi. 

Rasionalisasi Militer

Perwira-perwira bekas Taruna Militer Belanda tahun 1942, yang sesudah Indonesia merdeka memegang kepemimpinan TNI-AD tampaknya menginginkan pembangunan TNI yang rasional. Mereka ingin membangun tentara yang modern dan kuat, dengan tentara yang profesional sebagai inti, diperkuat dengan tentara cadangan dari pemuda sebagai bagian wajib militer. Untuk itu mereka melanjutan rasionalisasi yang telah dimulai pada tahun 1948, tetapi hal ini tidak bisa sepenuhnya dilakukan karena timbulnya pemberontakan PKI di Madiun. 

Akibat revolusi, jumlah TNI pada masa itu memang besar. Ada perwira yang harus dicoret dari daftar kenggotaan TNI kerena tidak memenuhi syarat sebagai prajurit profesional, ada pula yang harus mendapat latihan tambahan.

Pertentangan

Kelompok lain dalam TNI, terutama dari kalangan yang dilatih pada zaman Jepang berpendapat bahwa rasionalisasi yang hanya didasarkan pada kriteria pendidikan,  umur, dan ketrampilan saja, akan menimbulkan masalah, terutama karena para bekas pejuang akan merasa dikecewakan. Oleh sebab itu, perlu dipertimbangkan kembali faktor nilai yang dibawa dari revolusi, yakni semangat. Semangat inilah yang membuat TNI berhasil mempertahankan kemerdekaan. Jadi bukan semata-mata karena profesionalisme keprajuritan. 

Memang persoalannya tidak sederhana, karena kelompok yang pro rasionalisasi adalah kelompok bekas taruna Akademi Militer sebelum Jepang, dan yang kontra-rasionalisasi adalah kelompok yang berasal dari tentara  yang dilatih pada zaman Jepang. Kedua kelompok itu mempunyai pendukung yang beragam, tetapi memang perwira-perwira bekas taruna Akademi Militer sebelum Jepang,seperti Nasution, Simatupang, Hidayat dan Kawilarang cukup dominan pada kelompok pro-rasionalisasi.

Penolakan Kolonel Bambang Supeno

Perbedaan antara kedua kelompok militer ini menjadi terbuka ketika Kolonel Bambang Supeno, bekas Komandan Akademi Militer, berusaha menentang rencana rasionalisasi tentara yang dilancarkan Nasution dan memperoleh dukungan Menteri Pertahanan. Bambang Supeno menulis surat kepada Seksi Pertahanan dan Keamanan di DPR, yang isinya menentang kebijakan atasannya mengenai rasionalisasi. Akibatnya, Kolonel Bambang Supeno diskors oleh KSAD. 

(2) Persoalan Politik di Parlemen

Surat Supeno segera menjadi bahan perhatian yang menarik di DPR. Pada tahap ini, persoalannya kemudian tidak lagi menjadi masalah militer belaka, melainkan merentang ke persoalan kedua , yakni persoalan politik di parlemen.

Reaksi parlemen atas surat Kolonel Bambang Supeno dimulai oleh Ketua Seksi Pertahanan sendiri, Zainul Baharuddin. Pada tanggal 23 September 1952 ia mengajukan mosi yang mengecam kebijakan Menteri Pertahanan Hamengku Buwana  IX dan menyatakan skorsing terhadap Kolonel Bambang Supeno tidak sah. 

Reaksinya dapat diduga akan mengundang pro dan kontra di antara partai-partai politik dalam lembaga Parlemen. 

Presiden Sukarno memberi dukungan kepada Bambang Supeno , tetapi mosi Zainul Baharuddin tidak disetujui oleh parlemen.  Mosi berbalas mosi, dan perang mosi di parlemen  berlangsung selama bulan Oktober sampai akhirnya terjadi Peristiwa 17 Oktober 1952 (Hisyam, 2004 P: 74-76).

Rasionalisasi di tubuh militer khususnya di TNI-AD sudah terjadi pada era Kabinet Hatta bahkan lebih jauh lagi sejak Kabinet Amir Syarifuddin.

Ketika itu Hatta kembali ke Yogya pada saat krisis kabinet akibat diterimanya perjanjian Renville (17 Januari 1948). Dua partai besar, PNI dan Masyumi menarik para menteri mereka dari kabinet yang mengakibatkan jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin pada tanggal 23 Januari 1948. Enam hari kemudian, 29 Januari 1948, terbentuk kabinet presidensial dengan Hatta sebagai Perdana Menteri merangkap menteri pertahanan (Imran, ENI Vol. 6, 2004 : 362-370).

Selaku Ketua Kabinet Hatta mencanangkan empat program, dua diantaranya melanjutkan perundingan dengan Belanda atas dasar perjanjian Renville dan melaksanakan rasionalisasi ke dalam khususnya di tubuh angkatan perang yang dikenal dengan Rera (reorganisasi dan rasionalisasi). 

Reorganisasi dan Rasionalisasi (Rera)

Program rasionalisasi angkatan perang didasarkan atas keadaan nyata keuangan negara yang tidak mungkin membiayai jumlah tentara yang terlalu banyak (460.000 personal). Dengan rasionalisasi, angkatan perang yang kecil namun efektif dan efisisen diharapkan terbentuk. Anggota yang terkena rasionalisasi dikembalikan ke pekerjaan mereka terdahulu, ke tengah-tengah masyarakat, atau disalurkan ke berbagai pekerjaan yang produktif.

Rera sebenarnya sudah dimulai sejak kabinet Amir Sjarifuddin, berdasarkan mosi yang diajukan golongan kiri dalam KNIP bulan Desember 1947. Amir menggunakan rera untuk menempatkan angkatan perang langsung di bawah kekuasaannya dan menyingkirkan para tokoh yang dianggapnya sebagai penghalang ambisinya untuk menguasai angkatan perang  seperti Jenderal Soedirman dan Jenderal Oerip Soemohardjo. Sebaliknya Hatta menggunakan rera untuk menghilangkan atau setidak-tidaknya memperkecil pengaruh kiri dalam tubuh angkatan perang. Hatta antara lain menghapus TNI Masyarakat, yakni badan yang dibentuk Amir dalam Kementrian Pertahanan dan dikuasai golongan kiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Muhammad Yamin

B.M. Diah

PSII di Zaman Jepang