Berdirinya Daerah Istimewa Aceh
Dalam suatu pertemuan yang diadakan di Binjai, para pemimpin Aceh memutuskan untuk melakukan perlawanan. Pada tanggal 20 September 1953 Aceh diproklamasikan sebagai Negara Islam Aceh. Daud Beureuh melakukan serangan serentak terhadap kota Langsa, Lhok Seumawe, Sigli, Meulaboh dan daerah lainnya dengan dukungan kompi-kompi yang dipimpin oleh Kolonel Ibrahim Saleh di Sidikalang. Sebagian besar daerah Aceh jatuh ke tangan pemberontak.
Penyelesaian Konflik
Operasi pengamanan daerah segera dilancarkan. Satu per satu kota-kota yang berada di bawah kekuasaan DI/TII direbut, akan tetapi perlawanan terus berlanjut dengan bergerilya. Untuk meredakan pemberontakan di Aceh ini, pemerintah kemudian mengambil keputusan menjadikan daerah Aceh sebagai Daerah Istimewa.
Kabinet Ali memutuskan untuk mendirikan ulang Provinsi Aceh, yang disetujui Parlemen pada bulan Oktober 1956. Presiden Sukarno mengeluarkan ketetapan, yakni Ketetapan Presiden 5 Januari 1957. Usaha-usaha mendekati pemimpin-pemimpin perlawanan dilakukan. Daud Beureuh setuju untuk melakukan gencatan senjata pada bulan April 1957.
Musyawarah –musyawarah di antara mereka berhasil dilakukan. Sebagai hasilnya, pada tanggal 7 April 1957 tercapailah suatu ikrar bersama, yang kemudian terkenal sebagai “Ikrar Lam Teh”. Ikrar ini mempunyai arti yang sangat penting dalam usaha-usaha penyelesaian konflik
Amnesti dan Abolisi
Pada awal tahun 1961, pasukan-pasukan DI/TII yang melancarkan perang gerilya mulai turun gunung. Pemerintah menanggapi perkembangan ini dengan sikap yang positif. Presiden Sukarno memberikan amnesti dan abolisi kepada semua anggota DI/TII dengan Keputusan No. 449 tahun 1961, tanggal 17 Agustus 1961. Dengan demikian berakhirlah pemberontakan Darul Islam di Aceh (Masyhuri, 2004 : 240-241, Ricklefs, 2005 : 504).
Nama Aceh
Sepanjang sejarah, bermacam-macam nama diberikan kepada daerah Aceh. Dalam sejarah Melayu, Aceh diberi nama Lam Muri. Marcopolo penjelajah dari Venezia menyebutnya Lambri. Orang Portugis menyebutnya Achem, orang Belanda menyebutnya Achin, dan penulis asing lain menyebutnya Achinese, Achehnese atau Atjeher. Orang Aceh sendiri menyebut daerah mereka Aceh (ENI Vol. 1, 2004 : 39).
Salah Satu Keistimewaan Aceh Adalah Karena Sejarahnya
Sejak tahun 1820, Aceh dikenal sebagai penghasil separo persediaan lada dunia, karena itu Belanda ingin memperluas kekuasaan di Aceh sejak tahun 1884 namun terhalang adanya Persetujuan London tahun 1824 antara Belanda dan Inggris yang menetapkan bahwa Kesultanan Aceh tidak boleh diganggu. Ketika itu Inggris sangat khawatir bahwa Belanda akan menguasai Aceh, sementara posisi Aceh sangat penting dalam perdagangan internasional.
Politik Inggris terhadap Aceh berubah pada tahun 1848 karena melihat politik perdagangan Belanda yang liberal. Inggris berpendapat lebih baik membiarkan Aceh dikuasai Belanda daripada jatuh ke tangan AS atau Perancis.
Sementara itu Aceh memperkuat dirinya dengan menjalin hubungan dengan negara kuat. Utusan Aceh dikirim ke Perancis, Turki, AS dan Spanyol.
Pada tahun 1854 Sultan Ali Alauddin Mansur Syah memperluas kekuasaanya ke selatan, yaitu ke Langkat, Deli dan Serdang. Sementara itu Belanda bergerak ke arah utara dan mencaplok daerah lada di pantai timur Sumatra. Benturan kepentingan Aceh dan Belanda akhirnya tidak terhindarkan.
Keadaan diperuncing dengan adanya persetujuan Sumatra antara Belanda dan Inggris pada tahun 1871 yang antara lain menyepakati bahwa Belanda mempunyai kekuasaan di seluruh Sumatra termasuk Aceh.
Pada bulan Januari 1873, Aceh mengutus Habib Abdurrahman ke Turki untuk meminta bantuan. Pada waktu yang sama, diadakan perundingan dengan AS di Singapura.
Mendengar bantuan AS akan datang pada bulan Maret 1873, Belanda mengirim Komisaris F.N. Nieuwen Huyzen bersama dua buah kapal perang pada tanggal 22 Maret 1873 dan meminta agar Aceh memenuhi permintaan Belanda. Setelah dua kali surat yang dikirim kepada Sultan tidak ditanggapi, pada tanggal 28 Maret 1873, Belanda menyatakan perang. Pada tanggal 5 April Belanda membom Kota Raja dan mendaratkan tambahan pasukan. Pertempuran berkobar. Pasukan Belanda dengan 3.600 tentara di bawah Mayor Jenderal Kohler dihadang oleh tentara Aceh. Aceh berhasil memukul tentara Belanda bahkan Jenderal Kohler tertembak dan tewas dalam pertempuran. Dengan persetujuan Batavia, tentara Belanda meninggalkan Aceh pada tanggal 29 April 1873.
Perang Aceh masih terus berkobar sampai Belanda menguasai Aceh pada tahun 1904 dan Belanda harus kehilangan 1.400 orang serdadunya (Masyhuri, 2004 : 2007).
Komentar
Posting Komentar