Keterlibatan Natsir dan Masyumi dalam PRRI


Bahaya Dikepung Komunisme

Setelah mengadakan pembicaraan mengenai hasil Pemilu 1955 dengan Menteri Luar Negeri Indonesia, Ide Anak Agung Gde Agung, Menteri Luar Negeri AS John Foster Dulles menyatkan keprihatinannya bahwa Indonesia “sedang dalam bahaya dikepung komunisme.” Para pejabat yang lain juga merasa khawatir sebab partai Masyumi, yang sudah mereka bantu dengan sumbangan kampanye senilai satu juta dolar gagal memenangkan suara terbanyak.

Pernyataan bahwa Indonesia “sedang dalam bahaya dikepung komunisme” sebenarnya berasal pertama kali keluar dari pemimpin Masyumi, Mohammad Natsir. ( Ricklefs 2005 : 665)

Hasil Pemilu 1955, terutama di antara keempat partai besar, menandakan pengutuban yang semakin kuat antara Jawa dan luar Jawa. Sementara sebagian besar pendukung PNI, NU dan PKI berasal dari Jawa, mayoritas pemilih Masyumi tinggal di luar Jawa (Wardaya, 2008 : 147).

Dana Bantuan AS

Mengakui bahwa dana besar yang diberikan kepada Masyumi tersebut sebagai hal yang tidak biasa, Joseph Burkholder Smith dari CIA menceritakan cara yang dipakai supaya hal tersebut tidak terkuak, yakni dengan menganggap dana tersebut hilang sama sekali. Artinya tidak ada tuntutan untuk membuat laporan mendetail mengenai bagaimana uang tersebut digunakan. CIA tidak tahu apa yang dilakukan Masyumi dengan uang jutaan dolar tersebut. Yang pasti Smith memastikan bahwa proyek itu gagal. Proyek itu gagal untuk membeli suara (Smith, Potrait of a Cold Warrior, 1976 : 210-214). 

Masyumi

Meskipun Masyumi mewakili kepentingan-kepentingan politik Islam dan dianggap merupakan yang terbesar di negara ini  tapi organisasi ini tidak terorganisisasikan secara teratur, dan mengalami perpecahan antara pemipin Islam ortodoks dan modernis. Di tingkat tertinggi, Masyumi dipimpin oleh Sukiman Wirjosandjojo dan Mohammad Natsir, dua politisi dari golongan modernis. Akan tetapi, ada sedikit ketegangan antara para pengikut kedua tokoh ini : sebagian besar dukungan terhadap Sukiman berasal dari orang-orang Jawa, sedangkan pendukung Natsir berasal dari orang-orang non-Jawa.

Basis politik Masyumi terdiri atas kaum muslim yang taat, termasuk sebagian besar kaum borjuis pribumi, para kyai dan ulama, serta kaum gerilya Hizbullah dan Sabilillah yang didemobilisasikan. 

Masyumi tidak pernah secara resmi menempatkan ide tentang sebuah negara Islam di antara prioritasnya pada tahun 1950-an. Walaupun dalam kehidupan pribadi para pemimpin nasionalnya mengabdi kepada Tuhan, tetapi dalam politik mereka mengabdi untuk Indonesia. Mereka menghindari sikap-sikap doktriner yang dapat mengancam persatuan nasional. Mereka juga menghindari dari pertalian dengan pemberontakan Darul Islam ( Ricklefs 2005 : 447).

Natsir Bergabung Dalam PRRI

Saat PRRI didirikan diproklamasikan oleh Achmad Husein pada tanggal 15 Februari 1958 di Sumatra Tengah, Natsir masuk dalam kabinet bersama Burhanuddin Harahap, Sumitro Djojohadikusumo dan Simbolon dengan Sjafrudin Prawiranegara sebagai perdana menterinya dan Bukittinggi sebagai ibukotanya. 

Pada bulan September 1958, Nasution melarang Masyumi, PSI, Partai Kristen, dan sebuah organisasi front tentara yang menudukung lawan-lawannya (IPKI yang didirikan tahun 1954). Selanjutnya dia menangkap seorang pemimpin Masyumi dari kelompok Natsir karena menyampaikan pidato yang bersimpati kepada PRRI (Ricklefs, 2008 : 521-523). 

Natsir sendiri dimasukkan ke dalam penjara. Setelah dibebaskan pada masa Orde Baru, Natsir membangun kembali Masyumi namun dilarang oleh Pemerintah. Ia pun mengalihkan kegiatannya ke bidang dakwah, dengan mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Melalui kegiatan dakwah ini namanya terkenal sampai ke luar negeri. Natsir lalu terpilih sebagai Ketua Muktamar Alam Islamy yang bermarkas di Karachi. Natsir juga menjadi anggota kehormatan Majlis Ta’sisi Rabithah Alam Islami yang berpusat di Mekah. Ia menerima Penghargaan Internasional Feisal pada tahun 1980, sebagai penghormatan atas pengkhidmatannya kepada Islam dan umatnya.

Buku karangannya adalah Komt tot het Gebed, Gouden Regels uit de Quran, De Islamietische Vrouw en haar Rechtern, Islam Sumber Bahagia dan Capita Selecta (Soebagijo I.N., 2004 : 48-49). 

Pada bulan November 1998, Habibie mengumumkan almarhum Mohammad Natsir sebagai pemimpin bangsa, menyiratkan bahwa pemberontakan PRRI pun kini dimaafkan ( Ricklefs 2005 : 665).

Terjun dalam Gerakan Massa

Mohammad Natsir yang bergelar Datuk Sinaro Panjang, setelah menamatkan pendidikan AMS pada tahun 1930 bergiat di bidang pendidikan sambil membantu berbagai majalah serta surat kabar seperti Pandji Islam dan Pedoman Masyarakat. 

Natsir juga terjun dalam gerakan massa seperti Jong Islamieten Bond dan Persatuan Islam. Ia juga giat dalam Partai Islam Indonesia yang didirikan antara lain oleh Dr. Sukiman Wirjosandjojo dan Wiwoho Purwohadidjojo. Ia pun duduk sebagai pimpinan MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia), yang dalam masa pendudukan Jepang menjadi Majlis Syuro Islam Indonesia (Masyumi). Sejak tahun 1949 Natsir selalu terpilih sebagai ketua umum sampai tahun 1959, ketika ia digantikan oleh Prawoto Mangkusasmito (Soebagijo I.N., 2004 : 48).

Buku Komt tot het Gebed diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Marilah Salat. Buku ini adalah buku petunjuk praktis tatacara salat yang dibeli ayah saya untuk  menjadi pegangan di keluarga kami.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

B.M. Diah

PSII di Zaman Jepang

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)