Bung Karno Menghendaki Demokrasi Terpimpin


Pada tanggal 26 Maret 1956, DPR hasil Pemilu 1955 bersidang untuk pertama kalinya. Pada pidato pembukaannya di depan DPR, Sukarno mengutarakan harapannya akan suatu bentuk demokrasi yang benar-benar bersifat Indonesia , yakni demokrasi yang didasarkan atas mufakat daripada demokrasi Barat yang berdasarkan keputusan “50%+1” dengan persaingan antara pemerintah dan pihak oposisi di parlemen. Sukarno kini menghendaki suatu “demokrasi terpimpin” (Ricklefs 2005 : 505).

Konsepsi Presiden

Pada tahun 1957 Republik Indonesia terancam perpecahan akibat timbulnya konflik politis ideologis. Partai-partai yang ada cenderung mementingkan golongannya daripada bersatu untuk kepentingan bangsa dan negara. Untuk memungkinkan mengambil tindakan demi persatuan bangsa, Presiden Sukarno menyatakan negara dalam keadaan darurat, dan sebagai langkah selanjutnya, pada tanggal 21 Februari 1957 Presiden Sukarno melontarkan gagasan yang dikenal sebagai Konsepsi Presiden.

Pada pokoknya Konsepsi Presiden berisi hal-hal sebagai berikut :

(1) Sistem demokrasi parlementer secara Barat tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, oleh sebab itu sistem ini harus diganti dengan sistem demokrasi terpimpin;

(2) untuk melaksanakan demokrasi terpimpin itu perlu dibentuk suatu Kabinet Gotong Royong, yang anggotanya terdiri atas semua partai politik dan organisasi berdasarkan perimbangan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Sehubungan dengan hasil Pemilu 1955 yang menghasilkan empat partai besar, yakni PNI Masyumi NU dan PKI, maka Konsepsi Presiden ini juga mengetengahkan perlunya membentuk Kabinet Kaki Empat , yang berarti bahwa para menterinya terdiri atas empat partai besar hasil pemilihan umum itu. Hal ini diketengahkan dalam rangka menciptakan kegotongroyongan nasional;

(3) membentuk Dewan Nasional yang terdiri atas golongan-golongan fungsional dalam masyarakat .  Dewan nasional ini bertugas memberi nasihat kepada kabinet, baik diminta maupun tidak diminta.

Namun perkembangan politik justru tidak mengarah kepada persatuan nasional.  Konsepsi Presiden yang bertujuan untuk menyatukan bangsa justru telah memicu perdebatan sengit dalam DPR. Beberapa partai politik seperti Masyumi, NU, PSII, Partai Katolik dan PRI menolak.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 membuka jalan bagi presiden untuk merealisasikan konsepsinya itu. Dengan dekrit itulah Presiden Sukarno mulai merealisasikan pelaksanaan Demokrasi Terpimpin (Herutjahjo, 2004 : 110).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

B.M. Diah

PSII di Zaman Jepang

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)