Indonesia Timur Dibom Permesta
Terhadap Permesta pemerintah melancarkan Operasi Sapta Marga pada bulan April. Ternyata Permesta mendapat bantuan dari petualang asing, seperti terbukti dengan ditembakjatuhnya pesawat yang dikemudikan oleh Allen Pope, warga negara AS, pada 18 Mei 1958 di Ambon. Pemberontakan ini dapat dilumpuhkan sekitar bulan Agustus 1958, walaupun sisa-sisanya masih ada sampai tahun 1961 (Sudiyono, 2004 : 338).
Pada hari setelah Padang jatuh dalam Operasi Agustus, Gabungan Kepala Staf Angkatan Bersenjata AS merekomendasikan suatu pendekatan terhadap Jenderal Nasution. Mereka sepakat untuk memberikan respon yang positif terhadap permohonan Indonesia bagi bantuan militer segera setelah sesuatu penyelesaian dengan para pembangkang tercapai.
Sementara itu para pemimpin militer Indonesia mengalihkan perhatiannya kepada pasukan-pasukan Permesta di Sulawesi Utara. Faktor baru dan mengejutkan muncul dalam konflik tersebut. Para pemberontak tiba-tiba memperoleh suatu angkatan udara, yang mulai melakukan pemboman posisi Pemerintah di sebelah selatan. Petit Muharto Kartodirdjo – atase angkatan udara Indonesia di Manila – diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Udara pemberontak oleh Kolonel Sumual.
Di antara para pilot AS yang Muharto terlibat dalam penerbangan penyerangan, terdapat Allen Lawrence Pope.
Sasaran pengeboman adalah lapangan udara Liang di ujung timur Pulau Ambon. Liang merupakan suatu pangkalan operasi bagi pesawat PBY (pesawat pengebom angkatan laut). Pope melihat pesawat PBY yang diparkir di lapangan rumput. Pope dan Muharto keluar dari awan-awan yang bertebaran dan menyerang. PBY terbakar. Masih ada beberapa penerbangan lagi dilakukan Muharto bersama Pope.
Kaum pemberontak berhasil memperluas serangan-serangan udara mereka ke sebagaian besar Indonesia ketika mereka merebut lapangan udara dari Perang Dunia II di Pulau Morotai pada akhir April 1958.
Pope Tertembak
Pada hari Minggu pagi tanggal 18 Mei 1958, pesawat terbang pemberontak melakukan serangan ke Ambon , pelabuhan utama dan ibukota kepulauan Maluku. Serangan udara ini ternyata menjadi malapetaka bagi operasi rahasia AS yang dikordinasi oleh Dulles bersaudara. Salah satu pesawat pembom B-26 AS yang ikut serta dalam serangan ini ditembak jatuh. Pilotnya, Allen Pope, terjun keluar tetapi pahanya patah dihantam ekor pesawat yang sedang jatuh dan parasutnya tersangkut di pucuk pohon kelapa.
Perwira Indonesia yang menemukannya berpakaian Korps Marinir AS. Ia berseru dalam bahasa Inggris kepada Pope yang bergelantungan di pohon kelapa, “apakah kau orang Amerika ?” Ketika Pope menjawab, “benar” perwira itu Indonesia mengutuk, “Damn it.” Ia dan Pope sama-sama dilatih di sekolah pelatihan meriam Korps Marinir yang sama di California (Franciss Underhill dalam Supeni, 2001 : 326).
Memorandum Menlu AS
Suatu memorandum tahun 1961 dari Menteri Luar Negeri AS, Rusk, kepada Presiden Kennedy melukiskan bahwa kepada para penawannya Pope mengaku menjadi sukarelawan penerbang bagi pemberontak atas kemauannya sendiri. Cerita ini dipertahankan oleh Duta Besar AS Jones dalam bukunya yang melukiskan Pope sebagai tentara bayaran yang telah terbang bersama Angkatan Udara Perancis di Dien Bien Phu di Vietnam.
Tapi pengakuan Pope tentu saja tidak benar. Seorang Ajudan Jenderal Nasution, memberitahu Kolonel Benson bahwa Pope membawa serta seperangkat perintah untuk melapor kepada Angkatan Udara XIII AS.
Keterlibatan Pope dalam serangan udara ini makin parah akibatnya bagi AS dengan adanya suatu berita bahwa satu bom dari pemberontak jatuh dekat sebuah gereja dan pasar, serta menewaskan sejumlah besar orang sipil.
Jones memuji Pemerintah Indonesia di Jakarta karena tidak memanfaatkan berita ini sebagai alat propaganda. PM Djuanda sangsi dengan kebenaran dari cerita ini.
Kaliurang
Walaupun tuduhan atas dirinya berat, Pope diperlakukan dengan baik sewaktu dipenjarakan di Indonesia. Sebelum diadili, ia ditahan di Kaliurang, tempat peristirahatan yang indah di utara kota Yogyakarta.
Tempat tinggal Pope di Kaliurang sederhana namun menyenangkan. Ia mempunyai hubungan yang baik dengan penjaga yang diajarinya judo dan catur. Kakinya yang patah dalam proses penyembuhan. Seorang dokter gigi memberi perawatan gigi.
Pengakuan Pope
Menurut Pope, ia sedang di sebuah bar di Singapura ketika ada orang Indonesia menawari pekerjaan dan meminta Pope untuk bertemu dengan penghubung di Washington. Di Washington ia diberitahu supaya pergi ke pangkalan Clark di Filipina, di mana ia dikontrak untuk terbang dari pangkalan di Manado dengan pembayaran $ 400 sampai $ 500 setiap misi. Ia telah terbang lebih dari delapan misi, dan misi terakhir belum dibayar, ketika ia ditembak jatuh. Namun jelas bahwa ia bukan sekedar tentara bayaran melainkan seorang pendukung kebijakan-kebijakan Dulles.
Seorang penghubung Pope bernama Harben mengatakan bahwa Pope diberikan kesempatan penuh untuk melarikan diri dan para penjaganya malahan mengajak ia berburu. Namun Pope tidak mau melarikan diri karena menurut perhitungannya ia akan sangat mudah ditemukan mengingat perbedaan fisiknya yang menonjol di antara orang orang di Pulau Jawa.
Misi pemboman Pope yang bernasib sial itu menyebabkan perasaan anti-Amerika meningkat tajam, bahkan di antara musuh-musuh komunisme yang paling kuat seperti Rosihan Anwar.
Insiden Pope, ditambah dengan perlawanan lemah kaum pemberontak di Sumatra, menyebabkan Washington sekali lagi mempertimbangkan kembali posisinya.
Manado jatuh pada suatu serangan amfibi oleh pasukan pemerintah pada tanggal 26 Juni 1958. Setelah itu pemberontakan hanya tinggal kegiatan gerilya tingkat rendah di hutan-hutan Sumatra bagian tengah dan Sulawesi Utara (Supeni, 2001 : 321-331).
Setelah melalui serangkaian persidangan, Allen Pope divonis hukuman mati, namun pada tahun 1962 dibebaskan oleh Presiden Sukarno.
Komentar
Posting Komentar