Proklamasi PRRI
PRRI diproklamasikan oleh Achmad Husein pada tanggal 15 Februari 1958 di Sumatra Tengah, dengan Sjafrudin Prawiranegara sebagai perdana menterinya dan Bukittinggi sebagai ibukotanya. Anggota kabinetnya termasuk Natsir, Burhanuddin Harahap, Sumitro Djojohadikusumo dan Simbolon.
Majalah Times memberitakan bahwa tidak kurang dari 40.000 pasukan dan rakyat sipil hadir ketika Hussein memproklamirkan suatu pemerintahan revolusioner dengan kedaulatan penuh atas seluruh Indonesia.
Sebelum pendeklarasian negara baru tersebut, salah seorang pemimpin pemberontak, Kolonel Dahlan Djambek mengatakan kepada jurnalis Inggris, James Mossman, bahwa hal itu “akan banyak bergantung...pada sejauh mana Inggris, Amerika Serikat, dan Australia memberikan dukungan moral, dan juga kemungkinan material kepada rezim Padang” (James Mossman, Rebels in Paradise : Indonesia’s Civil War, Oxford : The Alden Press, 1961 : 64-65).
Syafruddin menyatakan, “Dengan berat hati dan perasaan sedih , kami terpaksa mengangkat senjata melawan kepala negara kami sendiri. Kami sudah bicara dan bicara dan sekarang saatnya bertindak” (Time, 24 Februari 1958 : 27-28).
Penyebab
Salah satu penyebab pembentukan pemerintahan ini adalah rasa ketidakpuasan pemerintah daerah terhadap pusat. Alasan utamanya adalah kekecewaan karena tidak seimbangnya alokasi keuangan yang diberikan oleh pusat kepada daerah.
Pihak daerah merasa sumbangan yang mereka berikan kepada pusat dari hasil ekspor lebih besar dari yang dikembalikan oleh pusat kepada daerah. Mereka juga menuntut diperluasnya hak otonomi daerah (Sudiono, 2004 : 338).
Para komandan militer daerah di Sumatra terus melanjutkan pemberontakan mereka terhadap Jakarta. Sejak minggu-minggu terakhir bulan Desember 1956 mereka terang-terangan memperlihatkan ketidaksukaan terhadap Jakarta, misalnya dengan menurunkan para penguasa sipil setempat. Ketidakpuasan mereka itu dengan cepat berkembang menjadi rasa permusuhan terbuka menyusul diumumkannya Konsep Presiden, sebab Konsepsi tersebut menyerukan dimasukkannya kelompok komunis ke dalam kabinet (Wardaya, 2008 : 172).
Hubungan pemberontak dengan dunia luar dirintis oleh Sumitro Joyohadikusumo, mantan Menteri Keuangan dan anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI). Berkat jalan yang dibukakan oleh Sumitro itu para pemberontak di Sumatra dapat menjalin kontak langsung dengan CIA.
Simbolon Bertemu Kepala Kantor CIA Singapura
Pada tahun 1957 Simbolon mengirimkan beberapa utusannya untuk menemui Kepala Cabang CIA di Jakarta James M. Smith Jr., guna meminta bantuan AS. Smith meneruskan permintaan ini kepada Dean Almy, satu-satunya pegawai CIA yang berada di Medan.
Almy melukiskan permintaan Simbolon untuk mendapatkan otonomi daerah sebagai jendela yang terbuka bagi Washington untuk secara diam-diam menyusup dan melibatkan diri dalam pemberontakan militer luar Jawa terhadap Pemerintah Pusat Jakarta yang dianggap condong ke kiri.
Pada akhir tahun 1957 Kolonel Simbolon dan rekannya sesama pemimpin militer di Sumatra, Letnan Kolonel Sjoeib, bertemu Kepala Kantor CIA Singapura James Foster Collins. Di akhir pembicaraan, Collins dan para pejabat CIA lain mengisyaratkan kesediaan mereka untuk mendukung para pemberontak.
Pertemuan di Sungai Dareh
Karena merasa yakin akan bantuan Amerika Serikat, pada tanggal 9-10 Januari 1958 para pemimpin pemberontakan di Sumatra mengadakan sebuah pertemuan di Sungai Dareh, Sumatra Barat, dengan rencana mematangkan rencana pemberontakan mereka. Dibicarakan pula soal pemberian ultimatum kepada Pemerintah Pusat, dan pembentukan sebuah negara yang terpisah, bila ultimatum tersebut tidak dihiraukan (Kahin dan Kahin, 128-129 dalam Wardaya, 2008 : 175).
Siaran Pers Sumitro di Jenewa
Pada tanggal 2 Februari 1958, di Jenewa, Swiss, Sumitro memberikan siaran pers menyatakan bahwa para pemberontak di Sumatra siap mengultimatum pemerintah.
Warouw Bertemu Sukarno di Jepang
Pada tanggal 3 Februari 1958, Warouw menemui Presiden Sukarno yang tengah berkunjung ke Jepang, dan memberitahunya mengenai kemungkinan bahwa para pemberontak Sumatra akan mengeluarkan ultimatum terhadap Jakarta (Wardaya. 2008 : 213).
Dewan Banteng
Achmad Husein, sebagai Ketua Dewan Banteng, menyatakan bahwa Kabinet Djuanda harus mengundurkan diri dalam waktu 5 x 24 jam. Ultimatum tersebut diumumkan pada tanggal 10 Februari 1958. Pemerintah menolak ultimatum tersebut dan bertindak tegas dengan memecat secara tidak hormat Achmad Husein, Simbolon, Zulkifli Lubis dan Dahlan Jambek, yaitu para perwira TNI-AD yang duduk dalam gerakan separatis. Kemudian KSAD A.H. Nasution pada tanggal 12 Februari 1958 mengeluarkan perintah untuk memberlakukan Komando Daerah Militer Sumatra Tengah, dan selanjutnya menempatkannya langsung di bawah KSAD (Sudiyono, 2004 : 338).
Jenderal Nasution menyatakan, “ mungkin kami harus siap mati guna mengatasi perkembangan di Sumatra Barat.”
Mendengar penolakan dan pemecatan tersebut, pada tanggal 15 Februari 1958, para pemimpin pemberontakan mendeklarasikan berdirinya sebuah negara merdeka, yang disebut PRRI (Pemerintah Revolusiner Republik Indonesia).
Operasi Tegas
Pemerintah Pusat RI di Jakarta telah bertekad bulat untuk menekan kaum pemberontak. Pada tanggal 12 Maret 1958 TNI menggelar Operasi Tegas, untuk memberangus kaum pemberontak di Sumatra Timur. Ketika sedang merebut Pekanbaru, pasukan pemerintah menemukan kota-kotak berisi perlengkapan militer buatan AS yang baru saja dijatuhkan oleh pesawat-pesawat CIA (Wardaya, 2008 : 185).
Selain untuk menghancurkan kaum separatis, operasi juga berusaha mencegah turut campurnya kekuasaan asing. Kekuatan asing dikhawatirkan akan mengadakan intervensi dengan dalih melindungi modal asing dan warga negaranya, sebab Sumatra Timur dan Riau banyak mendapat modal asing.
Gerakan APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) pertama kali ditujukan kepada Pekanbaru untuk mengamankan sumber-sumber minyak di daerah tersebut.
Dari Pekanbaru, setelah memakan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. operasi militer dapat merebut Bukittinggi. Setelah itu APRI mengamankan bekas kekuasaan PRRI, yang hutan-hutannya dijadikan tempat bergerilya para pemberontak (Sudiyono, 2004 : 338).
Operasi 17 Agustus
Untuk menghadapi gerakan separatis ini dan untuk memulihkan keamanan negara, pemerintah dan KSAD memutuskan untuk melancarkan operasi militer besar lainnya. Operasi gabungan militer angkatan darat, angkatan udara dan angkatan laut, terhadap PRRI di Sumatra Tengah itu diberi nama Operasi 17 Agustus, yang dimulai pada tanggal 16 April 1958.
Operasi 17 Agustus dipimpin langsung oleh Deputi Pertama KSAD, Kolonel Achmad Yani, seorang perwira anti-komunis yang pernah menjalani pelatihan militer di Fort Leavenworth, Kansas, AS.
Yani adalah sahabat baik Mayor George Benson, Asisten Atase AD AS yang berkantor di Jakarta. Benson bahkan sempat memberi Yani peta Sumatra dan ikut membantu sang kolonel dalam merencanakan serbuan-serbuan terhadap para pemberontak.
Ironi
Keterlibatan Benson dalam persiapan tersebut melahirkan sebuah ironi tersendiri. Yani, “seorang perwira angkatan darat yang jelas-jelas anti komunis dan pro-Amerika, dibantu oleh seorang perwira angkatan darat Amerika,” Benson, “guna menumpas sebuah pemberontakan yang didukung oleh salah satu organ pemerintah Amerika (CIA).”
Padang Jatuh
Sebagaimana Operasi Tegas, Operasi 17 Agustus juga berhasil dengan baik tanpa adanya perlawanan yang berarti dari para pemberontak. Pada tanggal 17 April, hanya ke sehari setelah operasi itu dilancarkan, Padang sudah jatuh ke tangan pemerintah.” (Wardaya, 2008 : 185-186).
Komentar
Posting Komentar