Aceh Sebagai Darul Islam
Pada tahun 1949, Aceh telah menjadi provinsi yang tersendiri, tetapi pada pada tahun 1950 provinsi Aceh digabungkan dengan provinsi Sumatra Utara. Anggota Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang meliputi baik guru dan ulama modernis maupun kaum muslim awam yang taat (zuama) merasa tidak puas dengan perkembangan tersebut. Kelompok pertama kecewa melihat para politisi Jakarta yang hidup menyenangkan, tidak religius dan tidak cakap. Kelompok kedua prihatin dengan hilangnya otonomi provinsi Aceh.
Pada bulan Mei 1950, Daud Beureuh, orang kuat Aceh dan benteng Republik dalam Revolusi ditemukan telah menjalin hubungan dengan Kartosuwirjo dari Darul Islam. Daud Beureuh mulai curiga kepada Kabinet Ali dan mendengar desas desus bahwa kabinet bermaksud menangkapi orang-orang terkemuka Aceh.
Kekecewaan Masyarakat Aceh
Pemberontakan Darul Islam di Aceh bermula dari rasa ketidakpuasan Rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat. Masyarakat Aceh telah banyak berkorban untuk negara, baik pengorbanan jiwa maupun harta. Bahkan dengan swadaya, rakyat Aceh menyumbangkan beberapa pesawat untuk kepentingan negara. Masyarakat Aceh dikecewakan dengan dihapuskannya pemerintahan daerah Aceh dan digabungkannya daerah Aceh dengan Provinsi Sumatra Utara. Meski keberatan, karena janji-janji akan adanya hak-hak istimewa yang diberikan oleh PM Natsir, mereka akhirnya setuju bergabung dengan Provinsi Sumatra Utara pada tanggal 23 Januari 1951. Penggabungan tersebut berdasarkan keputuan Sidang Dewan Menteri No. 21 Tahun 1950.
Daud Beureuh Meletakkan Jabatan
Gubernur Militer Aceh Tengku Daud Beureuh segera meletakkan jabatan dan menyerahkan kekuasaannya pada Perdana Menteri Natsir. Sebagai gantinya ia diangkat sebagai Gubernur yang diperbantukan di Kementerian Dalam Negeri Jakarta. Akan tetapi janji-janji mengenai sejumlah hak istimewa bagi daerah Aceh, antara lain di bidang keagamaan dan pendidikan , tidak pernah terwujud karena Kabinet Natsir bubar. Sementara itu di Jakarta Daud Beureuh mendapat perlakuan yang mengecewakan sehingga ia kembali ke Aceh. Rakyat Aceh tidak bisa menerima perlakuan terhadap pemimpin yang dihormatinya itu.
Negara Islam Aceh
Dalam suatu pertemuan di Binjai yang diadakan oleh para pemimpin Aceh, diputuskan untuk mengadakan suatu perlawanan. Perlawanan itu didukung oleh kompi-kompi yang dipimpin oleh Kolonel Ibrahim Saleh di Sidikalang
Pada tanggal 19 September 1953, Daud Beureuh dan para pengikutnya dalam PUSA secara terang-terangan memberontak terhadap Jakarta dengan dukungan banyak orang Aceh yang menjadi pegawai pemerintah dan tentara. Daud mengumumkan bahwa di Aceh, yang kini merupakan bagian dari Darul Islam, tidak ada lagi pemerintahan Pancasila.
Daud Beureuh melakukan serangan serentak terhadap kota Langsa, Lhok Seumawe, Sigli, Meulaboh dan daerah lainnya. Sebagian besar daerah Aceh jatuh ke tangan pemberontak.
Pemerintahan Ali mengirimkan pasukan-pasukan untuk menghalau kaum pemberontak dari kota-kota penting. PKI mendukung kebijakan kabinet dan mengutuk pemberontakan Aceh sebagai bersifat kolonial, militeristis, feodal dan fasis. Julukan itu menurut piihak Aceh lebih tepat diterapkan untuk Jakarta. Daud mundur ke bukit-bukit dan menyusullah suatu jalan buntu militer yang berlanjut sampai tahun 1959 (Ricklefs, 2005 : 490-491).
Operasi Pengamanan
Operasi pengamanan daerah segera dilancarkan. Satu per satu kota-kota yang berada di bawah kekuasaan DI/TII direbut, akan tetapi perlawanan terus berlanjut dengan bergerilya. Untuk meredakan pemberontakan di Aceh ini, pemerintah kemudian mengambil keputusan menjadikan daerah Aceh sebagai Daerah Istimewa. Untuk itu presiden mengeluarkan ketetapan, yakni Ketetapan Presiden 5 Januari 1957. Usaha-usaha mendekati pemimpin-pemimpin perlawanan dilakukan. Musyawarah –musyawarah di antara mereka berhasil dilakukan. Sebagai hasilnya, pada tanggal 7 April 1957 tercapailah suatu ikrar bersama, yang kemudian terkenal sebagai “Ikrar Lam Teh”. Ikrar ini mempunyai arti yang sangat penting dalam usaha-usaha penyelesaian konflik.
Pada awal tahun 1961, pasukan-pasukan DI/TII yang melancarkan perang gerilya mulai turun gunung ke Banda Aceh. Pemerintah menanggapi perkembangan ini dengan sikap yang positif. Presiden sendiri memberikan amnesti dan abolisi kepada semua anggota DI/TII dengan Keputusan No. 4999 Tahun 1961, tanggal 17 Agustus 1961. Dengan demikian berakhirlah pemberontakan Darul Islam di Aceh (Masyhuri, 2004 : 240-241).
Komentar
Posting Komentar