Kabinet Ali Sastroamidjojo II


Pada bulan Januari 1956 NU menarik dukungannya pada Kabinet Burhanuddin.  Pada bulan Februari 1956 pemerintah Kabinet Burhanuddin mengumumkan pembubaran Uni Belanda-Indonesia secara sepihak. Pada bulan Maret 1956 kabinet Burhanuddin menyerahkan mandatnya . Ali Sastroamidjojo sekali lagi membentuk sebuah  kabinet pada bulan Maret 1956. Koalisinya terdiri dari PNI-Masyumi-NU .

Menolak Membayar Hutang Pada Belanda 

Pada tanggal 4 Agustus 1956, Kabinet Ali secara sepihak menolak mengakui  hutang negara sebesar  3.661 milyar gulden di bawah persetujuan  Meja Bundar, 85% dari jumlah yang disepakati pada tahun 1949, atas dasar pemikiran bahwa  hutang tersebut merupakan biaya perang Belanda untuk melawan Revolusi (Ricklefs, 2005 : 497-498).

Semua tindakan itu merupakan ungkapan keinginan pemerintah Indonesia untuk membebaskan diri dari dominasi Belanda. Hal itu juga menunjukkan semakin kuatnya politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Perkembangan ini membuat para pejabat di Washington gelisah (Wardaya, 2008 : 131).

Pembatalan Uni Belanda-Indonesia secara sepihak pada bulan Februari 1956 dan pengingkaran persetujuan hutang dari hasil persetujuan Meja Bundar pada bulan Agustus mengakibatkan hilangnya bukti utama yang dipegang PKI bahwa Indonesia berstatus semikolonial (Ricklefs, 2005 : 498).

Pada era Kabinet Ali 2 ini krisis yang terjadi di tubuh militer semakin berlarut-larut. Nasution yang menjadi KSAD dengan pangkat Brigadir Jendral bekerjasama dengan Sukarno, Ali dan PNI berhadapan dengan Simbolon dan Letnan Kolonel Zulkifli Lubis yang bersekutu dengan tokoh-tokoh Masyumi dan PSI. 

Percobaan Kudeta

Pada bulan Agustus 1956 pendukung Zulkifli Lubis berusaha menawan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani dengan tuduhan melakukan korupsi. Lubis yang diberhentikan dari jabatan wakil kepala staf AD pada tanggal 20 Agustus, merencanakan suatu kudeta dengan dukungan beberapa perwira dari Divisi Siliwangi. Mereka ingin memecat Nasution dan membubarkan kabinet sebelum Presiden Sukarno pulang dari lawatannya ke luar negeri. Pasukan-pasukan pro Lubis tidak bisa memasuki Jakarta. Nasution dengan cepat menangkap dan memindahkan lawan-lawannya dan menjadikan Divisi Siliwangi menjadi divisi yang paling dapat dipercaya.

Roeslan Abdulgani Didenda

Mochtar Lubis, seorang wartawan dan sastrawan, menuduh Roeslan Abdulgani terlibat korupsi. Dia ditangkap dan diadili pada bulan Desember 1956 karena dianggap melakukan fitnah dan dipenjara serta dikenai tahanan rumah. Belakangan Roeslan diketahui berbuat salah melakukan pelanggaran terhadap peraturan pengawasan nilai tukar devisa dan didenda Rp. 5.000,00 pada bulan April 1957.

Mundurnya Hatta

Pada tanggal 20 Juli 1956 Hatta mengajukan pengunduran dirinya sebagai wakil presiden. Dalam pidatonya yang terakhir, dia mengecam perilaku partai-partai yang didasarkan atas kepentingan pribadi yang sempit. 

Sementara itu Sukarno pada pidatonya pada tanggal 28 Oktober 1956 meminta agar partai-partai dibubarkan. Dua hari kemudian Sukarno menyatakan bahwa dia mempunyai suatu pikiran, suatu konsepsi tentang sebuah sistem baru, yaitu demokrasi terpimpin.

Demokrasi Terpimpin

Pada tanggal 26 Maret 1956, DPR hasil Pemilu 1955 bersidang untuk pertama kalinya. Pada pidato pembukaannya di depan DPR, Sukarno mengutarakan harapannya akan suatu bentuk demokrasi yang benar-benar bersifat Indonesia , yakni demokrasi yang didasarkan atas mufakat daripada demokrasi Barat yang berdasarkan keputusan “50%+1” dengan persaingan antara pemerintah dan pihak oposisi di parlemen. Sukarno kini menghendaki suatu “demokrasi terpimpin.”

Perlawanan dari Daerah

Pada bulan Desember 1956 para perwira di Sumatera mengambil keputusan untuk melawan Jakarta. Pada tanggal 20 Desember komandan resimen di Sumatera Barat mengambil alih pemerintahan sipil. Pada tanggal 22 Desember, Simbolon mengumumkan pengambilalihan kekuasaan di Sumatera Utara. Pada tanggal 24 Desember, panglima  Sumatera Selatan memaksa gubernur sipil di sana untuk memulai langkah-langkah otonomi. 

Dewan-dewan militer di Sumatera dengan cepat mendapat dukungan rakyat karena melakukan pembaharuan-pembaharuan, memperbaiki sekolah-sekolah serta jalan-jalan, dan membasmi korupsi.

Pada tanggal 2 Maret 1957, panglima untuk Indonesia Timur, Letnan Kolonel H.N.V. Sumual mengumumkan keadaan darurat perang di seluruh wilayahnya dari markas besarnya di Makasar.

Keadaan Darurat Perang

Krisis di daerah  menyebabkan muncul seruan supaya kabinet Ali mundur dan digantikan oleh suatu kabinet non parlementer. Nasution  mengusulkan agar Presiden mengumumkan keadaan darurat perang untuk seluruh Indonesia. Usulan tersebut disetujui.

Pada 14 Maret 1957 Kabinet Ali mengundurkan diri dan Sukarno mengumumukan keadaan darurat perang (Ricklefs, 2005 : 498-506)

Kabinet Ali Sastroamidjojo 2 yang merupakan kabinet parlementer terakhir mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment. Keberhasilan kabinet Ali Sastroamidjojo 2 yang terpenting adalah membuat titik tolak periode planning and investment dan merancang program pembangunan rencana lima tahun (1956-1960) yang memuat detail teknis terperinci hingga daftar proyek prioritas. Ini merupakan rancangan pembangunan 5 tahun yang pertama di Indonesia (Parinduri, tirto.id, 30 November 2024).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

B.M. Diah

PSII di Zaman Jepang

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)