Front Lebar Nasution


Pada bulan November 1958, Nasution merumuskan usulan doktrin jalan tengah : tentara tidak disisihkan dari urusan politik dan tidak juga mengambil pemerintahan(Ricklefs, 2008 : 523).

Sementara menurut Budi Susanto dan Made Tony Supriatma, pada 12 November 1958, di hadapan taruna-taruna Akademi Militer Nasional, Nasution berpidato: “Kita tidak menginginkan dan kita tidak akan menjiplak siatusi seperti terdapat di beberapa Negara Amerika Latin, di mana tentara bertindak sebagai satu kekuatan politik yang langsung, demikian pula kita tidak akan meniru model Eropa Barat di mana tentara merupakan alat mati (dari pemerintah).” (ABRI Siasat Kebudayaan 1945-1995, 1995).

Konsepsi itu, oleh Nasution disebut sebagai "Front Lebar," tapi Profesor Joko Sutono menyebutnya "Jalan Tengah." “Disebut Jalan Tengah karena pidato inilah yang memberikan solusi praktis bagi kekikukan militer yang sesungguhnya hanya memiliki keterampilan perang untuk tampil dalam panggung politik yang sarat dengan fenomena sipil itu,” tulis Budi Susanto dan Made Tony Supriatma. 


Banyak yang menyebut bahwa konsepsi ini baru benar-benar diterapkan di masa Orde Baru. Namun, di masa Sukarno pun banyak perwira tinggi yang menjadi kepala daerah, menteri, atau pejabat perusahaan negara. Sumatera Utara pernah punya gubernur Ulung Sitepu yang berpangkat militer brigadir jenderal. Lalu, Brigadir Jenderal M. Jusuf juga menjabat Menteri Perindustrian Ringan dan Brigadir Jenderal Ibnu Sutowo mengurus minyak sehingga akhirnya jadi Direktur Utama Pertamina. Nasution sendiri terakhir dikenal sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dari 1966 hingga 1972, dan menolak pidato pertanggungjawaban Nawaksara Presiden Sukarno.

Selain dikenal dengan konseptor Dwi Fungsi ABRI, Nasution juga menulis buku-buku militer (termasuk sejarah militer Indonesia dan dirinya) dan juga politikus. Di masa tak menjadi KSAD, antara 1952-1955, dia terjun ke dunia politik. Sikapnya berseberangan dengan Sukarno setidaknya sejak 1950an. 

Menurut Asvi Warman Adam dalam tulisannya pada bab "Militerisasi Sejarah Indonesia: Peran AH Nasution" dalam buku Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (2008), “Nasution berpikir bahwa ia tak mampu menentang Sukarno secara frontal … Nasution mendirikan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) untuk memberikan kesempatan kepada tentara berpolitik.” 

Sikap Nasution bisa ditelusuri dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas: Kenangan Masa Muda (1990).  Nasution menulis: “Pada tahun terakhir, kami mendapat guru bahasa Indonesia, yang disebut waktu itu sebagai bahasa Melayu, yang membawa pengaruh baru. Ialah Tuan Dahler, bekas pamong praja Belanda, kalau tak salah Asisten Residen, tokoh Belanda Indo yang nasionalis. Ia suka bercerita tentang konflik-konfliknya dengan atasan-atasannya, karena ia membela rakyat kecil.”

Namun, Nasution tidak langsung terjun ke dunia politik setelah dididik Dahler dalam pelajaran bahasa Indonesia itu. Seperti umumnya pemuda terpelajar yang hidup di kolonial, dia memilih untuk sekolah lalu bekerja. Sebelum masuk militer, Nasution pernah jadi guru di Musi Dua, Sumatera Selatan. 

Ketika ada lowongan taruna Akademi Militer Bandung, dia mendaftarkan diri. Setelah lulus, dia sempat berdinas sebagai Letnan muda KNIL. Ketika Jepang datang, dia kabur dari kesatuannya di Jawa Timur. Dia bersepeda dari Jawa Timur ke Jawa Barat, lalu tinggal di Bandung. Di zaman Jepang yang penuh tekanan itu, dia juga tak masuk dunia politik pergerakan nasional. (tirto.id, 6 September 2009)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Muhammad Yamin

B.M. Diah

PSII di Zaman Jepang