Situasi Setelah Kunjungan Bung Karno ke Uni Soviet dan RRT
516) Situasi Setelah Kunjungan Bung Karno ke Uni Sovyet dan RRT
Kunjungan Bung Karno ke AS berlangsung dari 16 Mei sampai dengan 3 Juni 1956. Dari 28 Agustus sampai 11 September 1956, Presiden berada di Uni Sovyet dan dari 30 September sampai tanggal 14 September 1956, dia berkunjung ke China (Stebbins, The United States in World Affairs 1956, New York : Council on Foreign Relations, 1957 : 408)
“Beijing menyambut kedatanganku dengan pawai hebat sekali…Orang-orang yang bersamaku juga merasa bangga terhadapku, bangga karena bangsa kami yang dulu tertindas mendapat tempat di antara bangsa-bangsa besar,” kata Bung Karno, sebagaimana termaktub dalam buku Cindy Adams berjudul Sukarno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (gesuri.id).
Sejumlah pejabat dalam pemerintahan Eisenhower di AS menilai bahwa kritik Bung Karno terhadap demokrasi Barat atau demokrasi liberal dan sistem parlementer semakin tajam tidak lama setelah kunjungannya ke Uni Sovyet dan RRT. Bagi mereka, fakta ini menujukkan bahwa Bung Karno makin berada di bawah pengaruh komunis dan dalam konteks Perang Dingin makin jauh bergeser ke arah Blok Komunis.
Dengan popularitas PKI yang semakin menjulang, mereka takut bahwa Bung Karno dan segenap jajaran pemerintahan Indonesia tidak lama lagi akan melangkah makin mendekat ke kiri. Itulah sebabnya para pejabat itu menyambut gembira terjadinya pemberontakan di luar Jawa. Bagi mereka pemberontakan itu merupakan sebuah kesempatan untuk melakukan suatu tindakan guna menghadang kecenderungan Indonesia ke arah kiri (Wardaya, 2008 : 138).
“Memanggang Kaki Sukarno”
Deputi Direktur Perencanaan CIA, Frank Wisner mengatakan kepada Alfred C. Ulmer, Ketua Divisi Timur Jauh CIA, “saya rasa sekaranglah saatnya kita memanggang kaki Sukarno di atas api ” (John Prados, President Secret Wars : CIA and Pentagon Covert Operations from World War II through the Persian Gulf, Chicago : Ivan R. Dee Publishers, 1996 : 132).
Ulmer menyampaikan perintah itu kepada para pejabat CIA Cabang Nomor 5 dari Divisi Asia Timur (FE/5). Divisi ini membawahi Indonesia dan Malaka, dan menghubungkan CIA dengan dinas intelijen Australia.
Dengan demikian dimulailah sebuah petualangan yang berlangsung selama satu setengah tahun, yang berakhir dengan matinya ribuan rakyat Indonesia. Sementara itu seorang pilot AS berada di sebuah penjara Jakarta menunggu eksekusi (Joseph Burkholder Smith Kepala Divisi FE/5 CIA, dalam Wardaya 2008 : 139).
Komentar
Posting Komentar