Munas dan Munap
Musyawarah Nasional (Munas) dan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap)
Berdasarkan undang-undang darurat perang, Nasution memerintahkan dilakukannnya pembersihan. Akibatnya, beberapa orang politisi yang diduga telah melakukan korupsi ditangkap dan beberapa lainnya melarikan diri. Para panglima daerah menangkap banyak kaum sipil dan membatasi kegiatan-kegiatan partai. PKI sangat menderita karena pembatasan itu.
Pada bulan Juli 1957, markas besar PKI dan SOBSI di Jakarta diserang dengan granat-granat tangan. Partai-partai mulai meminta dihapuskannya undang-undang darurat perang.
Kabinet menjalin hubungan dengan dewan-dewan militer daerah yang telah mengambil alih kekuasaan di daerah-daerah dan bahkan memberi mereka dana-dana Jakarta yang terbatas dengan kedok pembangunan daerah (Ricklefs, 2005 : 513-514).
Munas
Guna mengatasi ketegangan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah yang semakin memanas, pada tanggal 10 sampai 14 September 1957 Kabinet Djuanda menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) atas usulan dari Dewan Nasional (Fernanda Prasky Hartono dan Dr. Sri Margana, M.Hum. , esi.kemdikbud.go.id),
Konflik antara pemerintah pusat dan daerah sudah terjadi pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956-1957). Dewan-dewan daerah yang dikuasai pihak militer tidak puas dengan kinerja pemerintah pusat. Mereka merasa bahwa pejabat pemerintah pusat banyak melakukan korupsi dan tidak memperhatikan kepentingan daerah. Sentralisasi yang diterapkan oleh pemerintah pusat dianggap gagal (Kahin & Kahin 1995: 71).
Pembacaan Pernyataan Bersama
Pada akhirnya, Munas menghasilkan keputusan yang digambarkan dalam pembacaan Pernyataan Bersama pada 14 September 1957, oleh Presiden Soekarno. Bunyi Pernyataan Bersama adalah:
“Bahwa kami bersama atas nama Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 telah menyatukan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Bahwa sesungguhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah hak milik seluruh rakyat Indonesia yang berkewajiban memelihara dan membinanya untuk mewujudkan suatu masyarakat yang sejahtera adil dan makmur.
Bahwa Pantja Sila yang dicantumkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah jaminan hakiki bagi seluruh rakyat Indonesia untuk tetap berkehidupan bebas dan merdeka, serta mewujudkan suatu masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur.
Karenanya adalah kewajiban mutlak kami untuk tetap turut serta dengan seluruh rakyat Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia serta segenap alat-alat kekuasaan negara membina dan membela dasar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dalam keadaan apapun juga adanya.
Djakarta, 14 September 1957
Soekarno, Mohammad Hatta.”
( Kompas.com - 13/08/2022, 17:00 WIB).
Beberapa kesepakatan dan penyelesaian konflik mulai direalisasi. Salah satunya pembentukan Tim Tujuh yang beranggotakan Presiden Sukarno, PM Djuanda, KSAD Nasution, Moh. Hatta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Johannes Leimena, dan dr. Aziz Saleh untuk mengatasi permasalahan yang terjadi di dalam tubuh militer. Agenda dilanjutkan dengan diselenggarakannya Musyawarah Nasional Pembangunan dua bulan kemudian (Feith 2007: 583). Pembahasan mengenai pembangunan, ekonomi, dan perbaikan hubungan pusat-daerah dilanjutkan.
Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap)
Munap diselenggarakan oleh Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja yang memimpin Kabinet Karya (1957-1959) pada tanggal 25 November hingga 4 Desember 1957 di Jakarta, dengan tujuan untuk menstabilkan dan mempercepat pembangunan negara. Musyawarah dihadiri oleh peserta yang berjumlah sekitar empat ratus orang. Mereka merupakan delegasi dari berbagai kalangan, seperti anggota pemerintah pusat, dewan daerah, petinggi militer, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Nasional, partai politik, pedagang, industri, perbankan, buruh, petani, pemuda, perempuan, wartawan, veteran, seniman, dan pemuka agama (Keng Po, 26 November 1957; Fakih 2021: 178).
Namun, serangkaian perubahan secara tiba-tiba yang terjadi pada akhir bulan November dan awal Desember membuat kedua musyawarah tersebut berujung pada kegagalan. Kesepakatan penyelesaian yang diharapkan dapat memberikan pengaruh positif terhadap pembangunan negara baru ini tidak signifikan. Meskipun para delegasi dari dewan-dewan daerah memilih untuk bekerja sama, namun tidak diperoleh kesepakatan bersama (Ricklefs 2001: 514).
Kondisi ini diperparah dengan kegagalan Indonesia dalam perebutan Irian Barat melawan Belanda di sidang PBB dan peristiwa percobaan pembunuhan Presiden Sukarno pada 30 November 1957 (Peristiwa Cikini). Pemberian amnesti oleh Tim Tujuh kepada para dewan daerah diambil sebagai salah satu penyelesaian konflik pusat-daerah dibatalkan pada tanggal 7 Desember 1957 (Kedaulatan Rakjat, 10 Desember 1957 dalam Hariyono 2005: 306).
Peristiwa Cikini akan kami sampaikan pada penulisan berikutnya.
Komentar
Posting Komentar