Amerika Meninggalkan Pemberontak
Tertangkapnya Pope bukan satu-satunya alasan AS untuk mencabut dukungan mereka kepada para pemberontak daerah dan balik mendukung Jakarta. Alasan lainnya adalah pertama, pemberontak tidak pernah mampu memberikan perlawanan berarti dalam menghadapi operasi militer Pemerintah RI; kedua, gerakan anti-Komunis berskala nasional yang dinanti-nantikan tidak pernah menjadi kenyataan; ketiga, strategi diplomasi RI yang moderat dalam merespon penangkapan Pope dan keterlibatan AS menyenangkan Eisenhower; keempat, Washinton menyadari bahwa militer Indonesia terutama Angkatan Darat bukan komunis dan bahkan anti-komunis.
Pada tanggal 20 Mei 1958 Dulles memerintahkan kekuatan paramiliter AS di Manado untuk kembali ke Manila. Keesokan harinya mereka benar-benar meninggalkan kota tersebut dan terbang menuju basis militer AS di Filipina.
“Seluruh kelompok itu pergi, tanpa formalitas, tanpa ucapan selamat tinggal , tanpa jabatan tangan, tanpa penjelasan” begitu kata Petit Muharto Kartodirdjo, mantan Ketua AUREV (Wardaya, 2008 : 188-198).
Sementara itu AS mengalami kesulitan mengajak mitra Filipina dan Taiwannya untuk mengikutinya. Bukan saja serangan pemboman terus berlangsung, tapi Chiang Kai-shek mengusulkan untuk mengirim satu resimen marinir dan satu skuadrom pesawat udara ke Sulawesi Utara guna melindungi sisi selatan Taiwan. Diperlukan tekanan AS yang kuat sebelum ia dibujuk melepaskan rencana tersebut.
Manado jatuh pada suatu serangan amfibi oleh pasukan Pemerintah pada tanggal 16 Juni 1958. Setelah itu pemberontakan hanya tinggal kegiatan gerilya tingkat rendah di hutan-hutan Sumatra bagian tengah dan Sulawesi Utara.
Atas instruksi Dulles, Jones mengadakan kunjungan kepada Presiden Sukarno pada tanggal 22 Juli guna mendesak diambilnya langkah-langkah untuk mencegah kemajuan PKI yang lebih lanjut.
Presiden Sukarno mengatakan bahwa Jenderal Nasution sudah memberikan jaminan kepada Laksamana Madya Herberth Riley, bahwa ia sudah menyusun suatu rencana atas instruksi PM Djuanda. Hal itu meyakinkan Jones bahwa sudah waktunya AS memberi dukungan positif untuk Angkatan Darat. Ia memberi rekomendasi agar pihak militer Indonesia menerima sekurang-kurangnya suatu pengiriman senjata sebagai tanda dukungan sesegera mungkin.
Pada tanggal 1 Agustus 1958, Menteri Luar Negeri AS Dulles menyetujui suatu paket yang akan mengembalikan kebijakan AS pada haluan sebelum pemberontakan terjadi, antara lain program bantuan militer senilai tujuh juta, jatah-jatah tambahan bagi pelatih militer, pembangunan tangki-tangki militer, dukungan bagi pinjaman bank ekspor-impor yang semula diblokir, dan proyek transportasi udara dan perkapalan antar pulau.
Pengiriman perlengkapan pertama dilakukan melalui udara dalam waktu beberapa hari. Presiden Sukarno menunjukkan kegembiraannya dengan melakukan penerbangan singkat pada pesawat transpor C-124 Globemaster, yang mengangkat perlengkapan tersebut.
Pihak Australia dan Belanda sama sekali tidak gembira. Menteri Luar Negeri Australia Richard G. Casey memprotes kapal pendarat yang termasuk dalam program bantuan militer, seraya mengatakan bahwa pemerintahannya sangat geram (Supeni, 2001 : 330-332).
Duta Besar Belanda untuk AS J.H. van Roijen mengatakan bahwa Pemerintah Belanda sungguh sangat kecewa dengan perkembangan ini, terutama karena AS tidak mengajaknya untuk berbicara terlebih dahulu. Korea Selatan juga bereaksi secara negatif (Wardaya, 2008 : 200-201).
Komentar
Posting Komentar