Deklarasi Djuanda


Pada tanggal 13 Desember tahun 1957 muncul prinsip kesatuan wilayah Republik Indonesia yang tertuang dalam Deklarasi Perairan Indonesia melalui Undang-undang No. 4/Prp 1960 sebagai penegasan lebih lanjut tentang persatuan Indonesia. Kesatuan wilayah Republik Indonesia itu ditegaskan lebih lanjut dengan Pengumuman Pemerintah RI tentang Landas Kontinen Indonesia tertanggal 17 Februari 1969 yang kemudian dituangkan dalam Undang-undang No. 1 /1973, hingga mencakup dasar laut dan tanah di bawahnya (Suparman, 2004 : 225).

Deklarasi Perairan Indonesia itu kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda dan perancangnya oleh Mochtar Kusumaatmadja (Soebagijo I.N., 2004 : 247). 

Mochtar ketika itu adalah salah seorang pegawai di Biro Devisa Perdagangan dan menyusun Deklarasi Djuanda atas perintah Chairul Saleh, Menteri Veteran pada Kabinet Karya atau Kabinet Djuanda. 

Mochtar Kusumaatmadja

Mochtar dilahirkan di Jakarta. Pada tahun 1955 ia menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia , lalu meneruskan ke Sekolah Tinggi Hukum Yale di Amerika Serikat pada tahun itu juga. Pada tahun 1962 ia menerima gelar doktor dari Universitas Padjadjaran dan pada tahun itu pula ia diangkat menjadi guru besar dan dekan fakultas hukum universitas tersebut. Dari tahun 1964 hingga 1966 ia memperdalam bidang hukumnya di Universitas Harvard dan Chicago. Tahun 1974 ia menjadi Rektor Universitas Padjadjaran. Sebagai ahli hukum ia menulis buku Hukum Laut Internasional (1978). 

Mochtar menjabat Menteri Kehakiman pada Kabinet Pembangunan II dan Menteri Luar Negeri pada Kabinet Pembangunan III dan IV (1978-1983 dan 1983-1988). 

Mochtar dikenal sebagai ahli hukum laut yang kerap ditunjuk sebagai wakil Indonesia dalam berbagai perundingan internasional. Mochtar juga menggagas cocktail party untuk menyelesaikan masalah Kamboja yang kemudian melahirkan Jakarta Informal Meeti ng (JIM) (Soebagijo I.N., 2004 : 247).

R.H. Djuanda

Djuanda lahir di Tasikmalaya pada tahun 1911. Setelah menyelesaikan pelajaran di Hogere Burger School ia melanjutkan pendidikan di Technise Hoge School di Bandung dan meraih gelar Insinyur Sipil. Bersama-sama dengan Mr. Maria Ulfach, ia mengajar AMS Muhammadiyah dan HIK di Jakarta. Di samping itu ia aktif di Paguyuban Pasundan .

Setelah empat tahun menjabat sebagai Direktur AMS Muhammadiyah, ia kemudian menjadi pegawai pada Kantor Jawatan Pengajaran Jawa Barat yang berkedudukan di Jakarta. Menjelang saat Jepang menyerah, ia dipindahkan ke Bandung. Saat Bandung menjadi lautan api, ia sekeluarga pindah ke Yogyakarta yang saat itu menjadi pusat pemerintahan. 

Oleh pemerintah, Djuanda ditugasi mengurus Jawatan Kereta Api. Dalam Kabinet Sjahrir II (Maret 1946), ia diangkat sebagai Menteri Muda Perhubungan. Kemudian berturut-turut ia menjadi Menteri Negara, Menteri Negara Urusan Perencanaan, Menteri Keuangan ad interim, dan Perdana Menteri sekaligus Menteri Pertahanan dan Menteri Pertama. 

Secara keseluruhan ia tercatat pernah menjabat Menteri Muda satu kali, Menteri empat belas kali, dan Menteri Utama tiga kali. Ia pernah pula dua kali menjadi Pejabat Presiden, yaitu ketika Presiden Sukarno mengadakan lawatan ke luar negeri.

Ketika Djuanda menjadi Perdana Menteri, pada tahun 1958 terjadi pemberontakan oleh PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Karena saat itu Presiden Sukarno sedang tetirah di Luar Negeri, ultimatum pihak PRRI ditujukan kepada Mr. Sartono yang menjadi Ketua DPR sebagai wakil pemerintah. Ultimatum tersebut menuntut agar dalam waktu 5x24 jam , Presiden atau Pejabat Presiden mengambil kembali mandat yang diberikan kepada Kabinet Karya, dan setelah tuntutan itu dilaksanakan, Mohammad Hatta dan Hamengkubuwana IX harus segera menyusun zaken-kabinet berdasarkan konstitusi, yang anggota-anggotanya harus terdiri atas tokoh-tokoh yang sudah terkenal jujur, cakap, disegani, dan bersih dari unsur-undur anti-Tuhan. Ultimatum itu ditolak oleh Kabinet Karya, dan operasi militer dilakukan terhadap para pemberontak.

Presiden Sukarno kemudian menunjuk Ir Sukarno sebagai warganegara Indonesia untuk menjadi Perdana Menteri, hingga dengan begitu terbentuklah Kabinet Kerja I. Pimpinan Kabinet ada di tangan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI, sedangkan Menteri Pertama adalah Ir. R.H. Djuanda dengan wakilnya dr. Johannes Leimena yang dibantu 40 Menteri dan Menteri Muda. Pada masa kabinet ini terjadi perubahan moneter, yaitu pemotongan uang kertas bernilai Rp 500 menjadi Rp 50 dan Rp 1000 menjadi Rp 100.

Ir. R.H. Djuanda menyandang berbagai bintang dan tanda penghargaan serta gelar kehormatan , baik dari pemerintah RI maupun pemerintah negara lain. Dari Pemerintah RI ia menerima Bintang Bhayangkara RI-II, gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan beberapa Satya Lencana. Dari pemerintah negara lain ia menerima dari Pemerintah Yugoslavia, Thailand, Uni Soviet dan Kambodia (Soebagijo I.N., 2004 : 389).

Deklarasi Djuanda dianggap sebagai konsepsi awal Wawasan Nusantara. Wawasan Nusantara akan kami sampaikan pada tulisan berikutnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

B.M. Diah

PSII di Zaman Jepang

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)