Permesta: Sayap Timur PRRI
Setelah PRRI diproklamasikan oleh Achmad Husein, di Sulawesi Utara juga diumumkan berdirinya gerakan separatis Permesta yang menguasai daerah dari Palu di Sulawesi Tengah sampai Menado di Sulawesi Utara (Sudiono, 2004 : 338).
Pada tanggal 2 Maret 1957 para pemberontak di Sulawesi memprotes dimasukkannya orang-orang komunis ke dalam pemerintahan dengan mendeklarasikan apa yang dinamakan Permesta (Piagam Perjuangan Semesta Alam). Gerakan ini dipimpin oleh Kolonel H.N. Ventje Sumual, mantan Kepala Staf Komando Indonesia Timur. Piagam itu menuntut diberikannya otonomi yag lebih besar bagi kawasan Indonesia Timur dan legalisasi praktik perdagangan barter di daerah itu. Piagam juga menuntut desentralisasi kepemimpinan nasional di Jakarta dan dikembalikannya Dwitunggal Sukarno-Hatta. Meskipun demikian para penanda tangan piagam tersebut menjelaskan bahwa mereka tidak bermaksud memisahkan diri dari Republik Indonesia. Mereka menegaskan bahwa perjuangan mereka merupakan kelanjutan dari perjuangan tahun 1945.
Menyadari bahwa Pemerintah Pusat tidak akan mengabulkan tuntutan mereka dan mungkin akan menggunakan kekerasan untuk menekan pemberontakan mereka, para pemimpin pemberontakan di Sulawesi berusaha mencari dukungan dari luar negeri.
Para pemberontak Sulawesi menyambut gembira kehadiran Sumitro yang bergabung dengan pemberontak di Sumatra. Mereka beranggapan, latar belakang ke-Jawa-annya dapat mengurangi kesan bahwa pemberontakan tersebut adalah masalah permusuhan antara orang-orang non-Jawa melawan orang Jawa (Times of Indonesia, Jakarta, 16 Juli 1957). Sebagai pejabat hasil didikan Eropa, Sumitro mampu menjadi penghubung antara para pemberontak dengan dunia Barat, terutama Amerika Serikat, sebab dia tahu bagaimana caranya menggunakan sentimen anti komunis untuk memperoleh dukungan AS (Conboy dan Morrison, Kahin dan Kahin, Lu, dalam Wardaya 2008 :212).
Piagam Palembang
Pada tanggal 8 September 1957, para pemberontak dari Sumatra dan Sulawesi membuat deklarasi yang disebut Piagam Palembang. Piagam tersebut ditandatangani tiga pemimpin utama kaum pemberontak, Letnan Kolonel Barlian dari Sumatra Selatan, Letnan Kolonel Ahmad Husein dari Sumatra Utara dan Kolonel Sumual dari Sulawesi Utara.
Di antara tuntutan utama piagam tersebut adalah dikembalikannya Dwitunggal Sukarno-Hatta, otonomi yang lebih besar, penggantian para pemimpin komando militer pusat, dan pelarangan komunisme, yang menurut mereka hakikatnya berorientasi internasional.
Seperti juga Piagam Permesta, Piagam Palembang ini tidak menuntut pemisahan diri daerah-daerah yang memberontak dari Republik Indonesia (2008 : 212).
Sayap Timur PRRI
Pada tanggal 17 Februari 1958 , Komandan Wilayah Militer Sulawesi Utara dan Tengah, Mayor Daniel J. Somba, mengumumkan dukungan Permesta kepada PRRI dan pemisahan diri dari Pemerintah Pusat yang ada di Jakarta. Pengumuman tersebut menjadikan Permesta bagian dari deklarasi pemisahan diri PRRI dari Jakarta, dan dengan begitu Permesta praktis menjadi Sayap Timur PRRI.
Dukungan Permesta kepada PRRI yang dilakukan oleh Mayor Daniel J. Somba tersebut dilakukan tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan Sumual sebagai pemimpin pemberontakan di Sulawesi yang saat itu sedang berkunjung ke luar negeri untuk mencari dukungan bagi Permesta ( 2008 : 176).
Terhadap Permesta pemerintah melancarkan Operasi Sapta Marga pada bulan April. Ternyata Permesta mendapat bantuan dari petualang asing, seperti terbukti dengan ditembakjatuhnya pesawat yang dikemudikan oleh Alan Pope, warga negara AS, pada 18 Mei 1958 di Ambon. Pemberontakan ini dapat dilumpuhkan sekitar bulan Agustus 1958, walaupun sisa-sisanya masih ada sampai tahun 1961 (Sudiyono, 2004 : 338).
Peran Alan Pope dan bantuan asing terhadap PRRI dan Permesta akan kami sampaikan pada tulisan selanjutnya.
Komentar
Posting Komentar