Sekali Res Publica Tetap Res Publica
Pidato “Sekali Res Publica Tetap Res Publica” ini saya temukan pada buku Supeni berjudul Napak Tilas Bapak-Bapak Pejuang Menuju Indonesia Merdeka Adil Makmur yang diterbitkan tahun 2001. Di situ tertulis, “Sekali Res Publica Tetap Res Publica Pidato Bung Karno pada Pelantikan Sidang Konstituante 20 Nopember 1956”. Sebenarnya pidato tersebut disampaikan Bung Karno pada Hari Pahlawan, berarti tanggal 10 Nopember 1956 bukan tanggal 20 Nopember 1956 seperti yang ditulis Supeni ataupun 22 April 1959.
Untuk memastikan, baiklah saya kutipkan pembukaan pidato Bung Karno tersebut :
“Saudara-saudara sekalian.
Hari ini adalah Hari Pahlawan,
Dengan sengaja saya tempo hari meminta kepada Pemerintah, membuka Konstituante ini pada Hari Pahlawan. Sebab ada hubungan yang erat antara cita-cita pahlawan dan tugas Konstituante ini.
Sebagaimana pada 10 Nopember di tahun-tahun yang lampau, juga pada 10 Nopember tahun 1956 ini saya berpidato atas nama seluruh bangsa dan negara untuk memperingatinya. Melewati atas kepala saudara-saudara yang hadir dalam gedung ini, pidato ini kusampaikan kepada seluruh bangsa Indonesia di manapun juga ia berada. Karena itu kubuat pidato ini sepopuler-populernya. Dan sudah tentu kuarahkan kata juga kepada bangsa Indonesia di Irian Barat, yang sampai ke hari ini belum ikut menikmati kemerdekaan, tapi pada suatu ketika oleh perjuangan kita semuanya dan berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa pasti akan kembali dalam pangkuan Ibu Pertiwi.”
Puncak Revolusi
Bung Karno mengawali pidatonya dengan mengatakan bahwa bangsa Indonesia sudah berada di puncak revolusi nasional.
“Kalau Undang-undang Dasar Sementara yang kini masih berlaku, kelak sudah menjadi bagian dari sejarah, dan undang-undang dasar yang baru sudah terpancang di bumi Indonesia, maka itu akan berarti bahwa kita sudah tiba di salah satu puncak Revolusi Indonesia”
Merdeka atau Mati
Bung Karno kemudian mengatakan bahwa peresmian Tugu Pahlawan pada 10 November 1952 untuk mengingatkan kita akan peristiwa 10 November 1945, yang merupakan kebangkitan kembali semangat pahlawan bangsa Indonesia setelah terpendam selama berabad-abad. Perlawanan rakyat Surabaya itu adalah iring-iringan gelombang-gelombang pertama perlawanan bersenjata dalam Revolusi Nasional kita. Empat tahun lamanya gelombang dahsyat perjuang terjadi di seluruh Indonesia. “Merdeka atau mati” menjadi semboyan setiap patriot. “Dan mereka yang mati melepaskan nyawa dengan tersenyum, sebab hatinya yakin, bahwa korban mereka tidak akan hilang percuma.”
Mereka Mati untuk Suatu Ide
Lebih jauh Bung Karno mengatakan, “Mereka mati untuk suatu ide. Untuk suatu cita-cita, yang lebih besar dan lebih langgeng daripada mereka yang gugur itu. Dan apakah ide itu ... ide itu adalah ide Negara Nasional Indonesia, ide Republik Kesatuan, yang kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Untuk ide inilah mereka yang telah mati itu melepaskan nyawa.”
Kemudian Bung Karno membandingkan Revolusi Indonesia dengan Revolusi Amerika, Revolusi Perancis dan Revolusi Tiongkok yang semuanya ditulis dengan darah, dengan air mata, dengan penderitaan dan dengan tewasnya beribu-ribu jiwa unuk suatu ide.
Fase-fase dari Ide Kebangsaan
Menurut Bung Karno ide kebangsaan itu mengalami perkembangan sebagai berikut :
Fase pertama : fase dari ide kesukuan dan ide kepulauan. Ide di mana satu suku mau bekerjasama dengan suku yang lain dan pulau satu mau bekerjasama dengan pulau lain atas dasar federalisme bukan untuk seluruh tanah air Indonesia.
Fase kedua : fase kebangsaan Indonesia. Pada tahun 1928 ide kesukuan dan ide kepulauan itu hilang. Turunlah ide baru, ide persatuan dan kesatuan bangsa, kesatuan tanah air dan kesatuan bahasa.
Dengan munculnya ide kebangsaan Indonesia ini maka berakhirlah hak sejarah dari ide insularisme, propinsialisme dan federalisme. Membangunkan kembali ide kesukuan ide kepulauan ide propinsial atau ide federalisme sekarang ini (tahun 1956) adalah berarti berbalik surut 28 tahun ke belakang dalam sejarah (Supeni, 2001 : 311-316).
Komentar
Posting Komentar