Operasi Haik


Pada pertemuan NSC tanggal 28 Februari 1958, Menlu Dulles menegaskan kembali kepada para peserta bahwa AS tidak akan membiarkan Indonesia dikuasai oleh komunis. Hal itu didukung oleh Presiden Eisenhower.

Kemudian Markas Besar CIA memerintahkan John Mason, Kepala Cabang Timur Jauh / Operasi Udara CIA untuk memasukkan kawasan Luar Jawa ke dalam wilayah pemantauannya. Dia kemudian menunjuk seorang “Kepala Operasi” untuk memimpin operasi terselubung CIA dalam urusan pemberian dukungan kepada kaum pemberontak Luar Jawa. Operasi itu dinamakan Operasi Haik. Nama itu dipilih sesuai dengan kode dua huruf yang dipakai CIA untuk menyebut Indonesia, HA. 

Rencana Operasi Haik tersebut mirip dengan rencana yang pernah dijalankan CIA untuk menggulingkan Mohammad Mossadegh dari Iran tahun 1953 dan Jacobo Arbenz dari Guatemala pada tahun 1954 dan nyaris identik dengan Operasi Sukses untuk menumbangkan Arbenz. 

Eisenhower tidak perlu khawatir akan keterlibatannya karena ada suatu kebijakan yang dinamakan “plausible denial” (pengingkaran yang bisa diterima akal sehat) seperti yang sudah dilakukan di Iran dan Guatemala. 

Gagasan Operasi Haik lahir dari Komisi Ad Hoc pimpinan Cumming, sementara perintah operasi ini datang dari Kepala Operasi CIA Frank Wisner, kepada Kepala Divisi Timur Jauh Al Ulmer yang lalu meneruskannya kepada Mason. 

Berkat hubungan baiknya dengan Pentagon, John Mason berhasil mendapatkan sejumlah senjata dan perlengkapan militer. Ia pun diperbolehkan menggunakan basis Angkatan Laut AS di Teluk Subic Filipina sebagai pusat operasi.

Mason juga memiliki akses ke USS Thomaston guna mengangkut sejumlah persenjataan, yang mencakup 900 pucuk pistol, 1.440 senapan submesin dan 1,3 juta peluru berdiameter 9-mm, untuk kaum pemberontak.

Persenjataan yang dibawa oleh USS Thomaston dikawal oleh kapal selam USS Bluegill dan tiba di Sumatra pada tanggal 11 Februari 1958.

Keyes Beech, seorang reporter untuk koran Daily News Chicago, saat itu sedang berada di Padang dan menjadi saksi pengiriman perlengkapan militer AS tersebut kepada para pemberontak melalui laut dan udara. Pengedropan dilakukan malam hari.

Fravel “Jim” Brown – seorang agen CIA di Singapura yang secara diam-diam ditugaskan untuk membantu para pemberontak di Sumatra – ikut mendistribusikan persenjatan tersebut. Dalam operasi itu, Brown menyamar sebagai anggota staf Caltex, sebuah perusahaan AS yang beroperasi di Sumatra Timur.

Operasi Hance

Dengan bantuan Kepala CIA di Pangkalan Angkatan Udara AS Clark di Filipina Paul Gottke, beberapa agen CIA menjalankan operasi khusus lain yang disebut Operasi Hance, yakni operasi pengedropan penerbangan dengan menggunakan pesawat dan kru dari Civil Air Transport (CAT), sebuah maskapai di Asia Timur yang didanai CIA dan yang para pilotnya digaji oleh CIA.

Keterlibatan Filipina dan Inggris

Dalam menjalankan Operasi Haik itu CIA dibantu Armada Ketujuh AS. Inggris juga membantu CIA dengan menyediakan markas operasinya di Singapura. CIA juga dapat menggunakan pusat-pusat latihan militer AS di Filipina. Selain itu CIA juga diizinkan menggunakan landasan terbang dari beberapa tempat yang berbatasan dengan Indonesia untuk keperluan transportasi dan pengeboman. 

Guna mengantisipasi tindakan balasan Jakarta terhadap pemberontak, Presiden Eisenhower memerintahkan pengiriman beberapa pesawat handal untuk melawan serangan Jakarta. Keputusan Eisenhower tersebut didasarkan pada pengalaman keberhasilan pemerintahnya menggunakan pesawat terbang secara rahasia dalam menggulingkan Presiden Guatemala Jacobo Arbenz tahun 1954.

Menyusul dilancarkannya Operasi Tegas oleh Jakarta, Eisenhower bertanya kapan saatnya AS memiliki hak yang sah untuk menyerbu Sumatra dengan kekuatan militer. Pada tanggal 16 April 1958, Washington memikirkan apakah perlu secara terbuka menyatakan keberpihakannya kepada kaum pemberontak dengan memberi mereka status keadaan perang. Namun hal ini tidak pernah terwujud (Wardaya, 2008 : 176-188).

AUREV

Secara teknis, dilancarkannya operasi Haik memiliki tujuan untuk membantu kelahiran apa yang oleh pihak pemberontak disebut sebagai Angkatan Udara Revolusioner atau disingkat AUREV, yang merupakan sayap militer matra udara yang dimiliki oleh PRRI dan Permesta. Kekuatan fisik AUREV pada masa itu cukup untuk dijadikan lawan tanding bagi kekuatan AURI yang ketika itu masih berusia muda. Secara umum, kekuatan fisik AUREV terdiri dari pesawat pembom B-26 Invader, serta pesawat tempur P-51 Mustang (Kristian Prasetyo Lobo, hobbymiliter.com, May 10, 2019).

Tentang AUREV akan kami sajikan pada penulisan selanjutnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

B.M. Diah

PSII di Zaman Jepang

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)