Nasionalisasi Aset-aset Asing

 532) Nasionalisasi Aset-Aset Asing

Sebelum para pelaku yang bertanggungjawab atas Peristiwa Cikini tertangkap, pada tanggal 3 Desember 1957, Jakarta diguncang oleh krisis lain ketika para demonstran mengambil alih sejumlah perusahaan milik Belanda. Demonstrasi itu terutama digerakkan oleh anggota serikat buruh PNI dan PKI yang menuntut nasionalisasi aset-aset asing. 

Tidak seperti biasanya Ricklefs menulis soal nasionalisasi ini secara panjang lebar dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. 

Pemicu

Demonstrasi menuntut nasionalisasi aset-aset asing sebenarnya dipicu oleh dua kejadian yang meningkatkan ketegangan politik. Pertama, pada tanggal 29 November 1957, PBB tidak berhasil mengesahkan suatu resolusi yang mengimbau agar Belanda merundingkan penyelesaian mengenai masalah Papua. Sebelumnya Bung Karno telah memperingatkan bahwa Indonesia akan mengambil langkah-langkah yang akan menggoncangkan dunia apabila resolusi tersebut gagal. Kedua, pada tanggal 30 November 1957 ketika Bung Karno sedang berkunjung di sekolah puteranya di daerah Cikini, Jakarta, terjadi usaha untuk membunuhnya. 

Karena terpicu oleh kedua kejadian tersebut, terjadilah ledakan radikalisme anti-Belanda. Pada tanggal 3 Desember 1957, serikat-serikat buruh PKI dan PNI mulai mengambil alih perusahaan-perusahaan dan kantor-kantor dagang Belanda.

Peerusahaan pelayaran milik Belanda, KPM merupakan perusahaan pertama yang disita. Kapal-kapalnya yang sedang berlayar di laut segera keluar dari perairan Indonesia. Dampaknya bangsa Indonesia kehilangan banyak pelayaran antar pulaunya. 

Djuanda maupun Nasution tidak mampu menguasai keadaan. Hatta dan para pimpinan Masyumi mengecam buruknya perencanaan atas tindakan pengambilalihan tersebut. 

Pada tanggal 5 Desember 1957, Kementerian Kehakiman memerintahkan pengusiran terhadap 46.000 warga Belanda yang ada di Indonesia. 

TNI dan ekonomi

Pada tanggal 13 Desember 1957 Nasution mengambil kendali atas keadaan tersebut dengan memerintahkan agar pihak tentara bersedia mengelola perusahaan-perusahaan yang telah disita itu. 

PKI dan SOBSI yang ingin sekali menghindari terjadinya konfrontasi dengan pihak tentara menjanjikan dukungan mereka untuk menjaga agar perusahaan-perusahaan itu tetap berjalan.

Kini pihak tentara mulai berperan sebagai kekuatan ekonomi yang penting. Pihak TNI mendapatkan pendanaan sendiri yang dapat disalurkannya kepada para anggota dan pendukungnya. Ini memperkuat posisi Nasution dan komando pusat terhadap panglima-panglima daerah, juga posisi angkatan darat sebagai suatu keseluruhan terhadap angkatan-angkatan lainnya serta pemerintahan sipil. Hal ini mempersatukan pihak tentara dengan orang-orang yang lebih menyukai perusahaan negara daripada perusahaan swasta. Kelompok yang lebih menyukai perusahaan swasta terutama adalah para pendukung Masyumi dan NU. Dengan demikian persamaan kepentingan antara panglima daerah luar Jawa dan Masyumi terancam.

Salah Urus

Akan tetapi , manfaat pengambilalihan itu terhadap perekonomian dan tentara tidak terlihat. Terjadi banyak salah urus dan ketidakefisienan, terutama sebagai akibat adanya kecenderungan Nasution untuk menugaskan para perwira yang sudah tua dan kurang cakap memimpin perusahaan-perusahaan , sementara panglima yang lebih cakap tetap ditugaskan memimpin pasukan. 

Konsolidasi Politik Militer Administrasi dan Ekonomi

Perhatian pihak tentara mulai jauh berpaling dari fungsi-fungsi militer yang murni, sehingga mempercepat korupsi di kalangan korps perwira. Namun demikian, satu langkah penting telah diambil ke arah pengonsolidasian kekuatan-kekuatan politik, militer, administrasi dan ekonomi di tangan pihak tentara.

Pada tanggal 10 Desember 1957 Nasution menempatkan wakilnya yang kedua, Kolonel Ibnu Sutowo , untuk memimpin suatu perusahaan minyak baru yang diberi nama Permina (Perusahaan Minyak Nasional). Ini merupakan langkah pertama pihak tentara ke dalam industri minyak (2005 : 516-517).

Sekitar 90% perkebunan dan sekitar 250 perusahaan Belanda dinasionalisasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

B.M. Diah

PSII di Zaman Jepang

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)