Sudjojono dan PERSAGI


 

Sudjojono lahir  di kawasan perkebunan di bagian utara Sumatra dan dididik di sekolah dasar Belanda. Nilai dan pandangan majunya membuatnya menjadi seniman berpengaruh sejak mendirikan PERSAGI sampai akhir pendudukan Jepang. Selama masa itu ia mengarahkan perjalanan gerakan seni Indonesia baru.  Pada tahun 1949 , kritikus seni Trisno Sumardjo menyebutnya sebagai Bapak Seni Modern Indonesia.

Sudjojono menulis : “Para pelukis Indonesia ! Jika masih ada darah seniman yang mengalir dalam hatimu yang membawa ilham dewi seni kepadamu, tinggalkan dogma turistik daripadamu. Patahkan rantai yang mengikat kebebasan dalam darahmu.”

Pada tahun 1938, Sudjojono bersama Agus Djaja mendirikan PERSAGI untuk membangun sebuah pandangan pribadi seniman yang hidup dalam lingkungan tertentu, sehingga karyanya dapat mengungkapkan gagasan budaya yang mencirikan sebuah bangsa. PERSAGI berupaya menghubungkan karya seni dengan cita-cita bangsa. Gagasan ini secara langsung mencerminkan perasaan Sudjojono mengenai perjuangan kemerdekaan negaranya. Teori seni sebagai cermin cita-cita bangsa  menjelaskan bahwa seni tidak hanya dimaksudkan untuk menunjukkan kemampuan teknis sebagai mana pendekatan para pelukis Mooi Indie.

PERSAGI berperan penting dalam pembentukan dan perkembangan seni Indonesia kontemporer sampai dengan dibubarkan Jepang pada tahun 1942. Namun demikian tujuan PERSAGI menemukan gaya nasional terus berakibat luas dan sangat mempengaruhi kemajuan seni modern.

 

Gaya

Di tahun-tahun awal , karya Sudjojono mengungkapkan perasaan secara kuat. Ia menyampaikan sifat subjeknya dengan menggunakan arang dan pastel pada kertas dan dengan teknik dasar lukisan potret, Sudjojono menyampaikan karakter subjeknya. Selama tahun 1950-an kepekaannya pada warna dan pelembutan gaya menghasilkan pemandangan kehidupan sehari-hari Jakarta yang realistis dan dinamis.

Pada akhir tahun 1960-an ia menghentikan berbagai minat dan kegiatannya untuk memusatkan perhatian pada seni lukis. Keputusan ini sekali lagi membawa ke depan awak gerakannya yang menyatu dalam tanggungjawabnya pada seni. Gaya realismenya mulai mendekati gaya abstrak sementara gaya ekspresionis dilakukan setelah masa arang dan pastel serta menunjukkan penjelajahan dunia seninya.  Sketsa pena dan tintanya terdiri dari atas garis-garis yang sekali digoreskan tidak dapat dihapus. Baginya, nilai sebuah sketsa terletak pada penggambaran kemampuan dan kepribadian sang ahli. Untuk menyampaikan konsepnya lebih lanjut, ia biasanya menulis beberapa baris pada kanvasnya (Kusnadi, Indonesian Heritage Vol. 7 , 2002 ; 51).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan