Bandung Lautan Api
Prolog.
Bandung dimasuki pasukan Inggris pada bulan Oktober 1945. Sekutu meminta hasil lucutan tentara Jepang oleh TKR diserahkan kepada Sekutu. Pada tanggal 21 November 1945 Sekutu mengultimatum agar kota Bandung dikosongkan. Hal ini tidak diindahkan oleh TRI dan rakyat.
Pada tanggal 10 Februari 1946 pukul 18.30 tentara NICA menyerbu daerah demarkasi di sektor timur (Cicadas). Barisan rakyat dari BPRI, Pesindo, BMP dan Hizbullah melawan dengan gigih sehingga pasukan NICA dapat diusir. Pada tanggal 16 pasukan NICA dan Inggris dari kesatuan Gurkha menyerbu Villa Isola (sekarang kampus Universitas Pendidikan Indonesia). Alasan mereka menyerbu Villa Isola adalah untuk membebaskan para interniran di Lembang. Penduduk mengungsi ke Lembang dan Subang. Lembang pun akhirnya diduduki Inggris dan NICA. Pada tanggal 17 NICA dan Inggris mengobrakabrik Sukajadi. Sekitar 1500 penduduk ditawan di markas Inggris , 400 orang tidak dibebaskan termasuk lima orang keturunan Cina.
Pada tanggal 7 Maret 1946, pukul 17.00, gabungan pasukan NICA dengan Gurkha menyerang daerah Fokkerweg (Jalan Garuda). Mereka memprovokasi dengan menculik wanita pribumi dan membakar rumah-rumah penduduk. Pada tanggal 18 Maret 1946 mereka kembali menyerang Andir. Delapan truk pasukan menerobos daerah demarkasi. Serangan tersebut disusul serangan mortir oleh para pejuang ke markas-markas mereka. Pada tanggal 19 Maret terjadi pertempuran di Fokkerweg selama dua belas jam, 07.25-18.00. Pada saat itu terjadi pembelotan tentara Inggris yang berasal dari India yang dipimpin oleh Kapten Mirza. Pasukan Kapten Mirza bergabung dengan Batalyon II pimpinan Sumarsono dengan membawa senjata, peluru, peralatan komunikasi radio dan sebuah power wagon. Pada tanggal 20 Maret , pasukan Inggris memborbardir markas TRI di Tegallega. Pengeboman tersebut salah sasaran karena markas TRI sudah pindah ke Situsaeur. Walikota Bandung, Sjamsoerijal mengecam keras aksi serangan udara Inggris melalui RRI Bandung.
Ultimatum Panglima Tertinggi AFNEI.
Pada tanggal 17 Maret 1946, Panglima Tertinggi AFNEI di Jakarta, Letnan Jendral Montagu Stophord, memberikan ultimatum kepada PM Sutan Sjahrir supaya memerintahkan pasukan bersenjata RI meninggalkan Bandung Selatan sampai radius 11 km dari pusat kota. Hanya pemerintah sipil, polisi dan penduduk sipil, yang diperbolehkan tinggal. Batas ultimatum adalah pada 24 Maret 1946, pukul 24.00. Apabila ultimatum tersebut tidak dilaksanakan, Inggris akan memborbardir Bandung Selatan.
Perdana Menteri Sutan Sjahrir menerima ultimatum tersebut dengan berbagai pertimbangan. Pada tanggal 22 Maret 1946, ia mengutus Mayjen Didi Kartasasmita, Panglima Komandemen Jawa Barat dan Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Muda Keuangan, ke Bandung. Mayjen Didi Kartasasmita datang menggunakan pesawat milik Inggris, sedang Mr. Sjafruddin Prawiranegara menggunakan mobil. Ketika tiba di Bandung, Mr. Sjafruddin langsung menuju Sekretariat KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) di Bandung Selatan untuk berunding dengan para pemimpin pejuang, sedang Mayjen Didi Kartasasmita, tidak diperkenankan ke Bandung Selatan dan kembali ke Jakarta (Nasution, 1 Mei 1977).
Keesokan harinya Mayjen Didi kembali ke Bandung dan diajak keliling Bandung oleh Letkol van der Post, ajudan Mayjen Hawthorn. Van der Post meminta Didi agar memerintahkan pasukan bersenjata RI mundur dan melarang melakukan serangan ke Bandung Utara. Hal itu tidak dilakukan oleh Didi. Sementara itu Sjafruddin melakukan pertemuan dengan para pimpinan RI di rumah seorang penghulu di Jalan Dalem Kaum. Mereka itu adalah Gubernur Jabar, Datuk Jamin;Residen Ardiwinangun; Walikota Sjamsoerijal; Kepala Polisi, Rukana; Kolonel A.H. Nasution. Sjafruddin meminta TRI untuk mundur ke luar kota dan tidak membuat kerusakan. Kolonel Nasution kemudian menemui Mayjen Didi di Markas Divisi India ke-23 di Gedung Sate. Nasution kemudian diajak berkeliling kota oleh Kapten Clark yang menunjukkan bahwa pasukan dan senjata Inggris sudah disiapkan untuk membombardir Bandung Selatan jika Nasution menolak ultimatum. Pada saat itulah perintah ultimatum Sekutu diulang dengan melempar pamflet-pamflet dari pesawat udara dan menyiarkan lewat radio NICA di Ciumbuleuit.
Perundingan dengan dengan pihak Inggris untuk menunda ultimatum tidak
berhasil . Kolonel Nasution kemudian
menhadap PM Sutan Sjahrir di Jakarta. Pemerintah RI di Jakarta memerintahkan supaya TRI
(Tentara Rakyat Indonesia) mengosongkan Bandung, tetapi pimpinan TRI di
Yogyakarta mengintruksikan supaya Bandung tidak dikosongkan.
Para pemimpin pejuang kemudian
mengadakan rapat pada 24 Maret 1946, pukul 10.00. Keadaan rapat sangat
emosional . Rukana sempat mengusulkan
untuk meledakkan terowongan Sungai Citarum agar sungai meluap dan Bandung
menjadi lautan air. Karena emosional ia menyebutnya “lautan api.”
Akhirnya, Kolonel Nasution memutuskan tindakan yang harus diambil para pejuang dan rakyat. Melalui siaran RRI, pada 24 Maret 1946, pukul 14.00 diumumkan bahwa :
1. semua pegawai dan rakyat harus keluarsebelum pukul 24.00;
2. tentara melakukan bumi hangus terhadap semua bangunan yang ada ;
3. sesudah matahari terbenam, Bandung Utara diserang oleh pasukan TRI yang berada di utara, pasukan TRI di selatan melakukan infiltrasi dan bumi hangus.
Selain itu direncanakan tempat pengungsian sebagai berikut :
1. Karesidenan Priangan ke Garut;
2. Walikota Bandung ke Garut;
3. Bupati Bandung ke Banjaran;
4. Jawatan Kereta Api ke Cisurupan;
5. Jawatan PTT ke Tasikmalaya;
6. Rumah Sakit ke Garut dan Banjaran;
7. Guru-guru dan anak-anak ke Kertasari;
8. penjara Sukamiskin ke Yogyakarta (Ekajati, 1981).
Perintah Komandan Divisi III untuk meninggalkan Bandung disampaikan kepada para tokoh masyarakat termasuk azacho (Ketua RW) dan kumicho (Ketua RT). Pembumihangusan direncanakan dimulai pukul 24.00 dari sebuah gedung Indische Restaurant di di Regentsweg.
Ledakan dinamit pertama ternyata sudah terdengar pada pukil 20.00. Pasukan pun panik. Meskipun demikian peledakan tersebut diikuti oleh peledakan dan pembakaran gedung-gedung dan rumah rumah penduduk.
kobaran api terbesar melingkupi daerah Cicadas dan Tegallega. Kobaran api lainnya nampak di di sekitar Ciroyom, Jalan Pangeran Sumedang, Kopo, Cikudapateuh dan lain-lain. Kobaran api dan dentuman bom mengiringi kepergian para pengungsi (Sitaresmi dkk, 2002 : 62 – 107).
Untuk mengenang peristiwa tersebut Ismail Marzuki mengabadikannya dalam sebuah lagu yaitu Hallo-Hallo Bandung.
Komentar
Posting Komentar