Sidang-sidang KNIP
Sidang pleno pertama dan kedua KNIP diadakan di Jakarta. Sidang pleno pertama, 16-17 Oktober 1945, menghasilkan keputusan untuk mengirim surat kepada Presiden, yang kemudian dijawab oleh Wakil Presiden dengan Maklumat X.
Sidang pleno kedua, 25-27 November 1945, menghasilkan mosi kepercayaan kepada Sjahrir untuk menjadi Perdana Menteri yang bertanggungjawab kepada KNIP/BP KNIP dengan 81 suara setuju, delapan menolak. Pada saat itu terjadi lah perubahan dalam sistem pemerintahan, yaitu dari sistem kabinat presidensial ke sistem kabinet parlementer. Perdana Menteri Sjahrir harus bertanggungjawab kepada parlemen, dalam hal ini KNIP.
Sidang pleno ketiga KNIP , 28 Februari- 3 Maret 1946, berlangsung di Solo. Dalam sidang ini terjadi perdebatan sengit mengenai program kabinet, antara Program Tujuh Pasal rancangan Persatuan Perjuangan yang dipimpin oleh Tan Malaka dan Program Lima Pasal rancangan Sjahrir dari kelompok Sosialis. Hasil sidang ini, selain menunjuk kembali Sjahrir sebagai Perdana Menteri, juga mengeluarkan peraturan pemerintah untuk memperbaharui susunan anggota KNIP/ BP KNIP yang lebih demokratis, seusai dengan aliran organisasi politik dan massa yang semakin banyak.
Sidang pleno yang paling seru berlangsung di Malang pada tanggal 25 Februari -6 Maret 1947. Dalam sidang ini terjadi perdebatan sengit antara pihak Benteng Republik dan Partai Pemerintah dan simpatisan Kelompok Sosialis. Perdebatan menyangkut jumlah penambahan anggota KNIP lewat PP No. 6/1946 dan soal ratifikasi Linggarjati. Pihak Benteng Republik , yang terdiri atas partai-partai seperti PNI dan Masyumi beserta organisasi massanya, menolak PP No. 6/1946 dengan alasan jika peraturan ini dilaksanakan, jumlah angota simpatisan Partai Sosialis akan bertambah besar. Akibatnya, Sjahrir dengan partainya akan mudah menggolkan Perjanjian Linggarjati dalam sidang.
Pilihan Benteng Republik menentang ratifikasi Linggarjati, dengan alasan bahwa perjanjian ini telah merugilkan kedaulatan Republik. Untuk itulah pihak Benteng Republik, yang diketuai Mr. Sartono, mengajukan usul membatalkan PP No. 6/1946 itu dalam dalam sidang BP KNIP pada bulan Januari 1947 di Purworejo. Usul inisiatif pembatalan PP No. 6/1946 ini tidak berhasil dalam sidang pleno KNIP yang diadakan di Malang. Penyebabnya, saat adu pendapat antara Benteng Republik dan Kelompok Sosialis Sjahrir-Amir Sjarifuddin makin panas, tiba-tiba muncul Hatta yang berpidato di muka sidang. Hatta menawarkan alternatif. Jika sidang menyetujui PP No. 6/1946 berarti sidang mempercayai kepala negara, sebaliknya, jika tidak menyetujui, silakan memilih kepala negara yang lain. Pidato Hatta menjadi perekat bagi perbedaan pendapat antara kelompok yang ada dalam KNIP. Pada dasarnya semua anggota tidak menginginkan pergantian kepala negara.
Walk out yang pertama.
Benteng Republik kemudian mengadakan rapat kilat. Hasilnya mereka menyetujui PP No. 6/ 1946 tetapi tidak menyetujui peratifikasian Linggarjati . Karenanya, setelah PP No. 6 dilaksanakan, dilakukan pula pemungutan suara untuk Perjanjian Linggarjati. Ketika pemungutan suara diadakan secara serentak pihak Benteng Republik meninggalkan sidang , disertai pekikan “Hidup Indonesia.” Alhasil, dengan penambahan jumlah anggota KNIP, peratifikasian Perjanjian Linggarjati selesai dilaksanakan.
Partai Sosial pecah
Sidang pleno KNIP yang terakhir diadakan pada tanggal 6-15 Desember 1949 di Siti Hinggil Keraton Yogyakarta. Sidang pleno itu bertujuan untuk meratifikasi hasil Konferensi Meja Bundar. Dalam hal ini Partai Sosialis tidak menyetujui hasil-hasil KMB, tetapi mereka tidak dapat mengendalikan sidang, seperti pada sidang-sidang sebelumnya. Hal ini adalah karena kekuatan/kedudukan mereka yang sudah sangat merosot dan Sjahrir sudah turun dari pemerintahan.
Partai Sosialis kemudian pecah menjadi dua, yaitu Partai Sosialis yang diketuai Sutan Sjahrir dan Partai Sosialis yang diketuai Amir Sjarifuddin. Sebaliknya, pihak PNI dan Partai Masjumi menyetujui KMB, karena mereka sangat optimis dalam memperjuangkan dan menghapuskan ketentuan-ketentuan yang tidak memuaskan bagi pihak Indonesia kelak. Pemungutan suara tentang hasil tersebut menghasilkan 226 suara setuju, 62 tidak setuju dan 31 blanko.
Kinerja KNIP – BPKNIP
Sebagai badan perwakilan, KNIP-BPKNIP telah menjalankan hak dan kewajibannya. Ia telah mengajukan usul /inisiatif, interpelasi, angket, pertanyaan, dan mosi (khususnya mosi kepercayaan). Fungsi pengawasan ini sebagian besar berhasil diputuskan menjadi perundang-undangan, sebagian tidak, bahkan sebagian sukar ditelusuri. Sedangkan sebagai pembuat dan pengesah undang-undang, badan ini menghasilkan 113 undang-undang, dengan perincian : tahun 1945 sebanyak satu undang-undang, tahun 1946 sebanyak 24 undang-undang, tahun 1947 sebanyak 41 undang-undang, tahun 1948 sebanyak 35 undang-undang, dan tahun 1949 sebanyak 12 undang-undang. Produknya yang berbentuk keputusan berjumlah 32 buah, terdiri atas : sebuah di bidang militer, tujuh buah di bidang politik, dua buah di bidang ekonomi, sebuah di bidang pendidikan, empat buah di bidang luar negeri, dan 17 buah di bidang lain-lain.
RIS
Ketika pemerintahan RI Yogyakarta dibentuk dalam susunan Republik Indonesia Serikat (RIS), KNIP sebagai badan legislatif tingkat nasional kembali berfungsi sebagai parlemen negara bagian. Parlemen RIS mempunyai dua kamar, DPR RIS dan Senat RIS. Di antara 150 orang jumlah anggota DPR RIS, 42 orang adalah anggota BP KNIP yang langsung diangkat menjadi anggota DPR RIS. Selain itu ada pula yang direkrut untuk tugas-tugas pemerintahan, seperti Mr Asaad (Ketua KNIP – BP KNIP terlama) yang diangkat menjadi Pejabat Presiden RI-Yogyakarta dan Dr. A. Halim yang diangkat menjadi Perdana Menteri RI-Yogyakarta (Erman dan Sudibyo, ENI Vol. 9, 2004 :64).
Komentar
Posting Komentar