Ketika Kota Bandung Dikosongkan

 

Perintah Komandan Divisi III untuk meninggalkan Bandung disampaikan kepada para tokoh masyarakat termasuk azacho (Ketua RW) dan kumicho (Ketua RT). Pembumihangusan direncanakan dimulai pukul 24.00 tanggal 24 Maret 1946, dari sebuah gedung Indische Restaurant di di Regentsweg.  Ledakan dinamit pertama ternyata sudah terdengar pada pukil 20.00. Pasukan pun panik. Meskipun demikian peledakan tersebut diikuti oleh peledakan dan pembakaran gedung-gedung dan rumah rumah penduduk. Kobaran api terbesar melingkupi daerah Cicadas dan Tegallega. Kobaran api lainnya nampak di di sekitar Ciroyom, Jalan Pangeran Sumedang, Kopo, Cikudapateuh dan lain-lain. Kobaran api dan dentuman bom  mengiringi kepergian para pengungsi (Sitaresmi dkk, 2002 : 62 – 107).

 Reaksi rakyat ketika mendengar berita tentang pengumuman meninggalkan Kota Bandung bermacam-macam. Adanya tiga versi pengumuman, yaitu dari Inggris, Walikota Bandung Sjamsoerijal dan Komandan Divisi III Kolonel A. H. Nasution, tidak menyebabkan penduduk bingung mengambil pilihan. Mereka tetap mengikuti perintah Kolonel Nasution. Hal itu karena tiga alasan :

1.       adanya semangat patriotisme. Penduduk Bandung tidak mau dijajah kembali oleh Belanda.

2.       adanya desakan pejuang, supaya rakyat ikut mundur. Teknya, indakan ini menjadi psywar bagi Inggris, kerena membuktikan kepada Inggris, Belanda dan antek-anteknya, serta dunia luar, bahwa mayoritas rakyat kota Bandung mendukung perjuangan RI. Khususnya pejuang bersenjata yang selama ini didengung-dengungkan sebagai extrimist.

3.       Adanya rakyat yang hanya ikut-ikutan. Kelompok ini mengikuti saja ke mana orang lain pergi.

Pada dasarnya rakyat sangat mendukung perjuangan kemerdekaan RI. Rakyat rela berduyun-duyun meninggalkan kota Bandung karena tidak sudi dijajah lagi (Sa’aran, 19 Januari 1977).

Para pejuang RI sebagian bertugas membakar gedung-gedung, sebagian lagi mengawal dan mengamankan para pengungsi. Sejak siang hari, penduduk kota Bandung bergerak secara bergelombang  meninggalkan kota Bandung. Sebagaian besar bergerak dari daerah selatan rel kereta api ke arah selatan sejauh 11 km melalui Regentsweg (Jalan Dewi Sartika), Jalan Raya Banjaran (Jalan Mohammad Toha) dan Jalan Buah Batu hingga melewati Sungai Citarum. Ada pula yang melalui Cigereleng.  Selepas maghrib, mereka yang sudah sampai di Majalaya dan Banjaran memandang ke arah kota Bandung yang menyala oleh kobaran api.

Bagi penduduk yang memiliki keluarga di selatan Bandung (Ciwidey, Pangelengan, Banjaran, Soreang dll) tidak memiliki masalah untuk mencari tempat bermukim. Namun bagi penduduk yang tidak memiliki sanak saudara, banyak yang kemudian melanjutkan perjalanannya sampai ke Tasikmalaya, Ciamis dan Yogyakarta. Sekitar 100.000 – 200.000 orang penduduk meninggalkan rumah mereka ((Sitaresmi dkk, 2002 : 109-115).

Awak Media Ikut Mengungsi.

Para pegawai RRI mengungsi ke Majalaya dan berkantor di bekas pabrik tenun. Karena adanya perintah dari Gubernur Jawa Barat, Datuk Jamin, RRI pindah ke Tasikmalaya dan berkantor di sebuah rumah kosong di Jl. Lawu. Dari sanalah suara-suara penyiar Sakti Alamsyah, Sam Amir, Abdul Hanan, Odas Sumadilaga dan Sumarni terdengar kembali ditemani teknisi Abdul Razak Rasjid.



Pemancar radio milik badan-badan perjuangan  seperti Radio Banteng Hitam, juga ikut mengungsi. Begitu pula para wartawan dari surat kabar Suara Merdeka (Amar, 1963 : 145-147).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan