Pertempuran Margarana

Pada bulan November 1946, di Bali sekitar 1500 pejuang pro-Rebublik dibagi menurut garis pemisahan seperti yang berlaku di Jawa antara kelompok yang lebih revolusioner secara politis, dan selanjutnya dibagi menurut kasta. Kelompok militer yang lebih profesional, dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai, sebagaian besarnya ditumpas habis oleh pasukan-pasukan kolonial. Ini mengakibatkan kaum Republik di Bali kebanyakan berada di tangan para pemimpin politik yang muda-muda yang berasal dari kasta yang lebih rendah. Kaum Republik di Bali ini lebih menekankan aktivitas di bidang politik daripada militer sampai sesudah “aksi polisional” Belanda pertama tahun 1947 (Ricklefs, 2005 : 451-453).

Peristiwa penumpasan kelompok militer yang dipimpin oleh Letkol (TRI) I Gusti Ngurah Rai pada tanggal 20 November 1946 itu dikenal sebagai Pertempuran Margarana, karena terjadi di Margarana, Kabupaten Tabanan, Bali.

I Gusti Ngurah Rai

I Gusti Ngurah Rai berasal dari keluarga pamong praja (Camat). Setelah menyelesaikan studi di MULO, ia melanjutkan pendidikan di Sekolah Kadet (calon prajurit) di Gianyar. Dengan pangkat letnan dua, ia meneruskan pelajaran artileri di Magelang, Jawa Tengah, yang pada masa penjajahan Belanda merupakan “kota militer”.

Setelah proklamasi kemerdekaan, Ngurah Rai membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Denpasar dan ia terpilih menjadi komandannya pada bulan November  tahun 1945.

Pasukan sekutu mendarat di Benoa, sehingga pecah pertempuran. Pasukan I Gusti Ngurah Rai, yang kalah persenjataan dan pengalaman, terpaksa mundur ke Tabanan Utara untuk menyusun kekuatan baru. Di tempat persembunyiannya, anggota pasukan sekutu sepakat mengutus I Gusti Ngurah Rai ke Jawa untuk meminta bantuan persenjataan, sekaligus meminta penetapan status TKR di Bali dan Lombok.

Perjalanan I Gusti Ngurah Rai terpaksa dilakukan secara rahasia dengan melewati jalan berputar-putar untuk menghindari pasukan Belanda yang kala itu menguasai laut, termasuk Selat Bali. Di Yogya, tempat Markas Besar TKR, Ngurah Rai ditetapkan sebagai Komandan Resimen TKR Sunda Kecil dengan pangkat Letnan Kolonel.

 Situasi peperangan di Bali berkembang kurang menguntungkan. Berbagai usaha pasukan RI untuk menyergap pasukan Belanda (KNIL), yang biasa disebut pasukan “Gajah Merah” dan “Singa Kuning”, sering gagal. Melelui perjuangan yang gigih, akhirnya pasukan I Gusti Ngurah Rai berhasil  mendarat di pantai selatan Jembrana dan kemudian menuju Munduk Malang, Tabanan. Di daerah itulah I Gusti Ngurah Rai membentuk Dewan Perjuangan Rakyat Sunda Kecil.

Pertempuran melawan Belanda semakin sering meletus. Belanda memperketat kepungan atas pasukan I Gusti Ngurah Rai dan melakukan intimidasi terhadap rakyat agar tidak membantu para pejuang.  Jalur-jalur suplai para pejuang pun dipotong . Pasukan Belanda juga mengerahkan angkatan udara. Gempuran Belanda ini dihadapi dengan siasat perang gerilya. Di tengah kobaran peperangan, komandan pasukan Gajah Merah, Letkol Ter Meuleun, mengajak I Gusti Ngurah Rai berdamai. Namun

I Gusti Ngurah Rai menjawab, “Soal perundingan diserahkan pada kebijakan pemerintah pusat di Jawa. Bali bukanlah tempat perundingan diplomatik, dan I Gusti Ngurah Rai tidak suka pada kompromi.”

Belanda kemudian membentuk pasukan gabungan untuk mengakhiri perlawanan pasukan I Gusti Ngurah Rai. Pasukan itu bergerak ke Desa Marga, pusat kekuatan pasukan I Gusti Ngurah Rai. Pada tanggal 20 November 1946 pertempuran pun tidak dapat dihindarkan. Semua anggota pasukan “Ciung Wanara”, termasuk komandannya, I Gusti Ngurah Rai, gugur. Peristiwa itu dinamakan Puputan Margarana oleh penduduk setempat. Atas keputusan Pemerintah RI, pangkat I Gusti Ngurah Rai dinaikkan satu tingkat menjadi kolonel dan dia dianugrahi gelar pahlawan nasional (Soebagijo, I., N., 2004 : 56-57).

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan