Agresi Militer Belanda I
Pada tanggal 8 Juni 1947 pemerintah RI menegaskan bahwa Indonesia bersedian mengakui Negara Indonesia Timur, sekalipun pembentukannya tidak selaras dengan Persetujuan Linggajati. Status Borneo dibicarakan bersama oleh RI dan Belanda. Dalam bidang militer, pemerintah RI menyetujui demiliterisasi daerah demarkasi dengan menyerahkan penjagaan zona bebas militer itu kepada polisi. Peta demarkasi dikembalikan pada situasi tanggal 24 Januari 1947. Tentara kedua belah pihak diundurkan dari daerah demarkasi ke kota garnisun masing-masing. Penyelenggaraan Pasal 16 tentang pertahanan Indonesia Serikat adalah urusan Indonesia Serikat sendiri sebagasi kewajiban nasional dan harus dilakukan oleh tentara nasional sendiri. Pembentukan alat kepolisian bersama ditolak.
Pada tanggal 20 Juli 1947 Juli Van Mook mendapat kuasa penuh untuk mengadakan “aksi polisionil” dan untuk mengambil suatu tindakan yang dipandang perlu. Pada tengah malam, gedung-gedung milik Republik di Jakarta diduduki serdadu Belanda.
Pada 21 Juli 1947 tentara Belanda menyerang Republik dari segala jurusan baik dari darat, laut maupun udara. Wakil PM Dr. A.K. Gani menyampaikan protes atas perlakuan Belanda yang tidak senonoh (Supeni, 2001 : 266-268).
Menurut Ricklefs, pada bulan Mei 1947 Belanda sudah memutuskan untuk menyerang Republik secara langsung. Hal itu karena biaya pemeliharaan suatu pasukan bersenjata berkekuatan 100.000 serdadu di Jawa merupakan pemborosan keuangan yang serius yang tidak mungkin dipikul oleh perekonomian negeri Belanda yang hancur karena Perang Dunia II.
Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam, pasukan-pasukan bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat (tidak termasuk Banten), dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. Dengan demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan perairan dalam di Jawa. Di Sumatra, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi minyak dan batubara di sekitar Palembang dan daerah Padang diamankan. Pasukan-pasukan Rebpublik bergerak mundur dalam kebingungan dan menghancurkan apa saja yang dapat mereka hancurkan. Di beberapa daerah terjadi aksi-aksi pembalasan detik terakhir : orang-orang Cina di Jawa Barat dan kaum bangsawan di Sumatra Timur dibunuh. Beberapa orang Belanda, termasuk Van Mook ingin melanjutkan merebut Yogyakarta dan membentuk suatu pemerintahan Republik yang lebih lunak, tetapi pihak Amerika dan Inggris yang tidak menyukai aksi polisional tersebut menggiring Belanda untuk segera menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik(Ricklefs, 2005 : 453).
Pihak Belanda menamakan agresi ini Aksi Polisionil I. Beberapa buku sejarah Indonesia menyebutnya Perang Kemerdekaan I. Dengan aksi tesebut Belanda telah melanggar Perjanjian Linggajati yang ditandatangani tanggal 25 Maret 1947, sebab di dalam perjanjian tersebut telah disepakati adanya gencatan senjata.
Walaupun serangan tentara Belanda itu dilakukan mendadak, pihak Republik sudah menduganya. Adanya serangan ini justru merugikan Belanda di mata internasional
Agresi Pertama ini berlanjut hingga 5 Agustus 1947. Agresi Pertama adalah suatu aksi serangan militer Belanda terhadap ibu kota RI yang pada waktu itu berkedudukan di Yogyakarta. Agresi Pertama dilakukan Belanda terutama karena perbedaan pendapat mengenai status kekuasaan di Pulau Jawa, Madura, dan Sumatra sebelum dibentuk Negara Indonesia Serikat. Belanda ingin menjalankan hubungan luar negeri Indonesia dan keinginan tersebut ditolak Indonesia (Wardhani, 2004 : 167).
Reaksi
Dunia Terhadap Agresi Militer Belanda Pertama
Setelah terjadinya Agresi Militer I, pada tanggal 22 Juli 1947 PM Amir Sjarifuddin menyampaikan pidato radio yang ditujukan kepada dunia dan terutama kepada Australia dan berseru kepada Dr. Evatt, Menteri Luar Negeri Australia agar hendaknya memperkuat bantuannya untuk menghentikan pertumpahan darah selanjutnya dan memandang perjuangan bangsa Indonesia dengan kaca mata keadilan, kemerdekaan dan kemanusiaan. Pada tanggal 24 Juli 1947, Presiden Sukarno berseru kepada Presiden Truman, supaya AS menggunakan pengaruhnya untuk menghentikan peperangan yang sedang berkobar di Indonesia.
Sementara itu Sjahrir, selaku Duta Besar Keliling RI pada tengah malam tanggal 21 Juli 1947 berangkat dengan pesawat terbang ke luar negeri. Pada tanggal 23 Juli 1947, Sutan Sjahrir dalam perjalanan dari New York ke Singapura dan kemudian melanjutkan perjalanannye ke India untuk bertukar pikiran dengan Nehru dan Ali Jinnah.
Pada tanggal 29 Juli 1947, pesawat terbang Dakota kepunyaan Patnaik, yang membawa obat-obatan dari Singapura ditembak jatuh oleh pesawat pemburu Belanda ketika akan mendarat di Meguwo , Yogyakarta. Seluruh penumpangnya tewas. Mereka itu antara lain adalah H. Sutjipto, Dr. Abdulrahman Saleh, Adi Sumarmo, Wirjokusumo, ex Wing Kommander Constantine, Ny. Constantine, ex Squadron Leader Haxelhurst.
Pada tanggal 22
Juli 1947 Pemerintah AS menyatakan penyesalannya karena di Indonesia terjadi
peperangan. Menteri Luar Negeri Inggris,
E. Bevin bertemu Dubes AS di London untuk membicarakan kemungkinan campur
tangan kedua negara itu di Indonesia.
Pemertintah Belanda menyampaikan nota kepada Sekjen PBB, Trygve Lie,
berisi penjelasan mengenai “Aksi Polisionil” nya di Indonesia. Pada tanggal 25 Juli 1947, Charles Livengood,
Konsul Jendral baru dari AS untuk Indonesia berangkat menuju Indonesia melalui
Den Haag.
Pidato Amir Sjarifuddin mendapat tanggapan positif dari dunia internasional . Pada taggal 25 Juli 1947 para mahasiswa dan kaum buruh Australia mengadakan demonstrasi menuju Kedutaan Belanda sebagai protes atas aksi militer Belanda. Pada tanggal 27 Juli 1947, Pemerintah Syria mengadakan protes keras kepada Dewan Keamanan karena adanya peperangan di Indonesia. Pada saat yang sama Ketua Lembaga India di Birmingham, Dr. D.R. Prem menyerukan kepada pemimpin-pemimpin India untuk membentuk Pasukan Sukarela India (India Brigade)guna membantu melawan peperangan yang dipaksakan kepada bangsa Indonesia.
Pada tanggal 30
Juli 1947, Pemerintah Australia memberikan instruksi kepada wakilnya di Dewan
Keamanan PBB, Kolonel Hodgson, untuk memajukan permintaan resmi supaya soal
Indonesia dengan segera dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan. India mengajukan
permintaan kepada Dewan Keamanan agar Badan ini mengambil tindakan
tentang soal Indonesia berdasarkan Pasal 35 dan 39 dari Piagam Perdamaian,
karena soal Indonesia adalah suatu soal yang mengancam perdamaian dunia. Siam
pesawat-pesawat Belanda berniat melarang pesawat-pesawat terbang Belandamendarat
di Siam.
Pada tanggal 30 Juli 1947, soal Indonesia dimasukkan dalam agenda Dewan Kemanan. Australia mengajukan usul supaya Dewan Keamanan berseru kepada kedua belah pihak untuk menghentikan permusuhan. AS mengajukan usul agar Dewan keamanan menawarkan jasa-jasa baik. Sementara itu Republik menginginkan arbitrage di bawah pengawasan PBB (Supeni, 2001 : 268-270).
Komentar
Posting Komentar