Kabinet Amir Sjarifuddin
Sidang kabinet digelar di Yogyakarta tanggal 25 Juni 1947 untuk meninjau keadaan politik. Keterangan PM Sjahrir menimbulkan debat yang hangat. Sementara itu partai-partai politik masing-masing menentukan sikapnya dengan jalan membuat resolusi-resolusi yang membuat suasana politik semakin memanas.
Keesokan harinya, 26 Juni 1947, pukul 23.00, Kabinet Sjahrir menyerahkan kembali portofolio nya kepada Presiden.
Presiden Sukarno
berunding dengan partai-partai politik dan pada pukul 03.30 pagi, Presiden
menerima penyerahan kembali portofolio kabinet , Kabinet Sjahrir bubar. Semua
kekuasaan diserahkan kepada Presiden sampai kabinet baru bisa dibentuk.
Presiden Sukarno selaku Panglima Tertinggi melantik Panglima TNI pada tanggal 28 Juni 1947 dan pada tanggal 30 Juni menunjuk empat orang formatur untuk menyusun kabinet koalisi nasional, yaitu Mr. Amir Sjarifuddin (Partai Sosialis), Dr. A.K. Gani (PNI), Dr. Sukiman (Masyumi) dan Setiadjid (PBI). Kabinet harus sudah selesai disusun pada tanggal 1 Juli 1947 pukul 18.00. Sutan Sjahrir diangkat menjadi Penasihat Presiden.
Pembentukan kabinet pada tanggal 1 Juli 1947 mengalami kegagalan. Para formatur menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden. Pada tanggal 2 Juli terjadi kesibukan di istana presiden. Perundingan dengan partai-partai. Pada pukul 23.00 Presiden menunjuk Mr. Amir Syarifuddin, Dr. A. K. Gani dan Setiadjid untuk membentuk kabinet nasional, yang harus selesai tanggal 3 Juli tengah hari.
Pada pukul 14.15 tanggal 3 Juli 1947 Presiden mengesahkan kabinet nasional yang dipimpin oleh Mr. Sjarifuddin sebagai Perdana Menteri. Ini adalah kabinet parlementer keempat dan kabinet yang kelima sejak proklamasi. Kabinet pertama adalah kabinet presidensial yang dipimpin Sukarno dan kabinet kedua, ketiga, dan keempat adalah kabinet parlementer yang dipimpin Sutan Sjahrir (Suspeni, 2001 : 265-266).
Pada tanggal 11 November 1947, kabinet ini diperkuat dengan masuknya Masyumi dalam kabinet. Pimpinan Kabinet adalah Amir Sjarifuddin sebagai Perdana Menteri dan Mr. Sjamsuddin, Dr. A.K. Gani dan Drs. Setiajid sebagai Wakil-wakil Perdana Menteri.
Tanggal 23 Januari 1948, kabinet ini bubar berhubung dengan keluarnya Masyumi pada pertengahan bulan Januari 1948 dan karena tuntutan PNI supaya diadakan perubahan kabinet.
Diplomasi pada Kabinet Amir Sjarifuddin.
Dr. Van Mook dan Dr. Koets, selaku wakil Pemerintah Belanda mengunjungi PM Sjahrir pada tanggal 23 Juni 1947 untuk menyampaikan aide momoire Pemerintah Belanda sebagai yang diputuskan dalam sidang kabinetnya . Aide memoire tersebut mengharap supaya nota Komisi Jenderal tanggal 27 Mei 1947 diterima sepenuhnya dan jawabannya dinantikan selambat-lambatnya tanggal 27 Juni 1947.
Pada tanggal 27 Juni 1947, Presiden menjawab aide memoire Belanda. Dalam jawaban itu ditegaskan sikap Republik, yang menginginkan kekuasaan de facto Republik dilakukan sepenuhnya pada masa peralihan. Gendarmarie bersama ditolak. Van Mook merasa tidak puas dan pada tanggal 29 Juni meminta penjelasan lebih jauh atas nota jawaban Presiden tersebut.
Pada tanggal 6 Juli Wakil PM Setiajid menyampaikan jawaban kepada pemerintah Belanda atas surat Van Mook yang meminta penjelasan tentant nota Presiden tanggal 27 Juni 1947. Namun Belanda menyatakan lagi ketidakpuasannya atas jawaban tersebut dan meminta lagi penjelasan yang lebih jelas. Sementara itu jawaban pemerintah Republik atas aide memoire Amerika Serikat disampaikan kepada Walter Fooce. Pada tanggal 7 Juli 1947, Kabinet melakukan sidang kilat. Pada tanggal 8 Juli sekali lagi Pemerintah Republik menyampaikan penjelasan atas sikapnya.
Pidato Dr. Beel
pada sidang di Tweede Kamer pada tanggal 10 Juli, Pidato Van Mook tanggal 11 Juli
dan pidato Jonkman pada 12 Juli 1947 tidak memberi ketegasan bagaimana sikap
Pemerintah Belanda terhadap nota jawaban Republik yang disampaikan pada tanggal
8 Juli. Karena itu PM Amir Sjarifuddin berangkat dari Yogyakarta menuju Jakarta
meminta jawaban yang tegas dari Van Mook dan Van Mook menjanjikan jawaban
pemerintahnya pada tanggal 15 Juli pukul 10.00.
Pada pukul 16.00 tanggal 15 Juli 1947, Belanda memberikan jawaban kepada PM Amir Sjarifuddin berisi tuntutan :
a. diadakan gendarmarie bersama;
b. pemberhen tian permusuhan umum oleh pihak Republik pada tanggal 16 Juli pukul 24.00.
Keesokan harinya Amir Sjarifuddin tiba di Yogyakarta dan mengadakan sidang kabinet. Wakil PM Setiadjid hari itu juga diutus ke Jakarta menyampaikan permintaan pengunduran waktu terhadap tuntutan Belanda selama 24 jam. Permintaan itu ditolak Belanda sehingga suasana menjadi genting.
Pada pukul 01.25 tanggal 17 Juli 1947, PM Amir Sjarifuddin menyampaikan pidato penolakan terhadap tuntutan Belanda. Kabinet bersidang untuk menyusun jawaban dan pada pukul 17.30 disampaikan kepada Van Mook. Pada hari itu juga Kabinet Belanda mengadakan sidang untuk membahas penentuan sikap terhadap penolakan Indonesia. Keesokan harinya Van Mook menyampaikan b ahwa jawaban Republik tidak bisa diterima dan Van Mook menyerahkan keputusan pada pemerintah Belanda.
Pada tanggal 19 Juli 1947, pada Konsul Jenderal Inggris, Tiongkok, Perancis dan Australia memberi nasihat kepada Wakil PM Dr. A. K. Gani yang sedang berada di Jakarta untuk menerima usul Belanda.
Pada tanggal 20 1947 Juli Van Mook mendapat kuasa penuh untuk mengadakan “aksi polisionil” dan untuk mengambil suatu tindakan yang dipandang perlu. Pada tengah malam, gedung-gedung milik Republik di Jakarta diduduki serdadu Belanda.
Pada 21 Juli 1947 tentara Belanda menyerang Republik dari segala jurusan baik dari darat, laut maupun udara. Wakil PM Dr. A.K. Gani menyampaikan protes atas perlakuan Belanda yang tidak senonoh (Supeni, 2001 : 266-268).
Komentar
Posting Komentar