Nota Komisi Jenderal dan Kegentingan Politik Republik

 



Komisi Jenderal pada tanggal 27 Mei 1947 membuat nota ultimatif berisi lima pasal sebagai berikut :

a.       membentuk bersama suatu pemertintah peralihan (interim);

b.      mengeluarkan uang bersama, dan mendirikan lembaga devisa bersama:

c.       Republik supaya mengirimkan beras untuk di daerah-daerah pendudukan Belanda;

d.      menyelenggarakan bersama ketertiban dan keamanan di daerah Indonesia, termasuk daerah-daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmarie bersama);

e.      menyelanggarakan penilikan bersama atas ekspor impor.

Sayap kiri yang terdiri dari Masyumi, PNI, GPII dan BPRI dalam sidangnya masing-masing menolak nota Komisi Jenderal tersebut pada tanggal 1 Juni 1947.

Delegasi  Republik Indonesia pada tanggal 8 Juni 1947 menyampaikan jawabannya sebagai berikut :

a.       setuju membentuk pemerintah peralihan yang mempunyai kewajiban membuat persiapan sidang konstituante dan mempersiapkan penyerahan kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda kepada Pemerintah Federal nasional. Selama masa peralihan itu kedudukan de facto Republik tidak boleh dan tidak akan dikurangi;

b.      setuju mendirikan lembaga devisa untuk seluruh Indonesia, sesudahnya terbentuk Pemerintah Peralihan ;

c.       hendaknya disusun Badan Pusat Pembagian Makanan untuk seluruh Indonesia oleh Pemerintah Peralihan tersebut;

d.      kewajiban mengurus ketertiban dan keamanan di daerah Republik adalah urusan Polisi Republik sendiri;

e.      perdagangan ekspor impor dijalankan menurut petunjuk dari Pemerintah Peralihan tersebu;

f.        soal-soal besar yang mengenai penyelenggaraan persetujuan Linggajati diurus oleh kedua delegasi. Keputusan-keputusan kedua delegasi tersebut dijalankan oleh Pemerintah Peralihan dan negara-negara bagian.

Pada tanggal 14 Juni 1947 dilakukan perundingan antara Komisi Jenderal dan Dr. Van Mook dengan Sultan Hamid Algadri, Sukawati, Hamelink dan Anak Agung GedeAgung, untuk memberikan nasihat kepada pemerintah Belanda.

Pemerintah Belanda menerima surat Komisi Jenderal pada tanggal 18 Juni 1947 yang memberikan nasihat tentang jawaban Republik. Isi surat tidak diumumkan.

Kegentingan Politik.

Karena keadaan politik nampak genting, ditandai dengan pertemuan partai politik dan   kegiatan diplomatik.

Pada tanggal 12 Juni 1947 diselenggarakan konferensi 12 partai politik di Surakarta. Mereka mendirikan Badan Kesatuan Tekad Partai untuk “menghadapi suasana politik sekarang” .

Kegiatan diplomatik dimulai tanggal 18 Juni 1947 ketika Konsul Jenderal Inggris, Mitcheson, mengunjungi PM Sjahrir. Keesokan harinya berturut-turut berkunjung Konsul Jenderal Australia, Konsul Jenderal Amerika, dan Konsul Jenderal Tiongkok.

PM Sjahrir mengakhiri tetirahnya di Linggajati dan kembali ke Jakarta untuk menyampaikan pidato. Dalam pidato ini antara lain disebut pengakuan kedaulatan Belanda di Indonesia selama masa peralihan. Pidato ini menyebabkan kejatuhan Kabinet Sjahrir pada 26 Juni 1947.

Pada tangal 20 Juni 1947, Ketua Delegasi Indonesia mengirimkan surat kepada Komisi Jenderal berisi pokok-pokok keterangan dari pidato radio PM Sjahrir. Di sisi lain Komisi Jenderal mengirim nota mengenai ketidakpuasan atas jawaban Delegasi Indonesia dan menyerahkan kepada Pemerintah Belanda mengenai apa yang harus dilakukan.

Pada tanggal 21 Juni 1947, menteri-menteri Mr. Moh. Roem, Mr. Amir Syarifuddin, Hamengkubuwono, dan Mr. Abdoel Madjid terbang ke Jakarta atas panggilan PM karena gentingnya keadaan politik.  Komisi Jenderal mengirimkan surat kepada Delegasi Indonesia, meminta penjelasan tentang surat Ketua Delegasi tertanggal 20 Juni.

Dr. Van Mook dan Dr. Koets, selaku wakil Pemerintah Belanda mengunjungi PM Sjahrir pada tanggal 23 Juni 1947 untuk menyampaikan aide momoire Pemerintah Belanda sebagai yang diputuskan dalam sidang kabinetnya . Aide memoire tersebut mengharap supaya nota Komisi Jenderal tanggal 27 Mei 1947 diterima sepenuhnya  dan jawabannya dinantikan selambat-lambatnya tanggal 27 Juni 1947. Putusan kabinet Belanda tersebut diambil sebelum PM Sjahrir mengadakan pidato radio tanggal 19 Juni 1947.

Kabinet Sjahrir Bubar.

Sidang kabinet digelar di Yogyakarta tanggal 25 Juni 1947 untuk meninjau keadaan politik. Keterangan PM Sjahrir menimbulkan debat yang hangat. Sementara itu partai-partai politik masing-masing menentukan sikapnya dengan jalan membuat resolusi-resolusi yang membuat suasana politik semakin memanas.

Keesokan harinya, 26 Juni 1947, pukul 23.00, Kabinet Sjahrir menyerahkan kembali portofolio nya kepada Presiden. 

Presiden Sukarno berunding dengan partai-partai politik dan pada pukul 03.30 pagi, Presiden menerima penyerahan kembali portofolio kabinet , Kabinet Sjahrir bubar. Semua kekuasaan diserahkan kepada Presiden sampai kabinet baru bisa dibentuk.

Pada tanggal 27 Juni 1947, Presiden menjawab aide memoire Belanda. Dalam jawaban itu ditegaskan sikap Republik, yang menginginkan kekuasaan de facto Republik dilakukan sepenuhnya pada masa peralihan. Gendarmarie bersama ditolak. Van Mook merasa tidak puas dan pada tanggal 29 Juni meminta penjelasan lebih jauh atas nota jawaban Presiden tersebut.

Amerika mengeluarkan memorandum. Kalau soal “interim regeering” seperti yang diusulkan Belanda sudah diterima oleh kedua belah pihak, maka jika diminta, Amerika bersedia memberikan bantuan keuangan. Sementara pada tanggal 28 Juni 1947, Inggris menyampaikan nota kepada Republik, yang menerima supaya perselisihan Indonesia-Belanda diselesaikan dengan jalan damai.

Sementara itu perintah harian Jenderal Spoor bocor dan disiarkan pers. Dalam perintah harian itu dinyatakan bahwa pada tanggal 29 Juni akan ada aksi militer sporadis dan tanggal 30 Juni dilakukan serangan umum terhadap Republik jika pada 28 Juni tidak dibatalkan.

Presiden Sukarno selaku Panglima Tertinggi melantik Panglima TNI pada tanggal 28 Juni 1947 dan pada tanggal 30 Juni menunjuk empat orang formatur untuk menyusun kabinet koalisi nasional, yaitu Mr. Amir Sjarifuddin (Partai Sosialis), Dr. A.K. Gani (PNI), Dr. Sukiman (Masyumi) dan Setiadjid (PBI). Kabinet harus sudah selesai disusun pada tanggal 1 Juli 1947 pukul 18.00. Sutan Sjahrir diangkat menjadi Penasihat Presiden (Supeni, 2001: 261-265).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan