Bijayananda Patnaik

 

Pada awal Juni 1947, sebagai seorang pilot Patnaik beserta istrinya, Giyana Devi, terbang ke bandara Meguwo di Yogyakarta dengan pesawat Dakota milik Kalingga Air untuk mengantarkan bantuan obat-obatan untuk Indonesia (Mukhti, 31 Oktober 2018).

Pada tanggal 29 Juli 1947, pesawat terbang Dakota kepunyaan Patnaik, yang membawa obat-obatan dari Singapura ditembak jatuh oleh pesawat pemburu Belanda ketika akan mendarat di Meguwo , Yogyakarta.  Seluruh penumpangnya tewas. Mereka itu antara lain adalah Adisutjipto, Dr. Abdulrahman Saleh, Adisumarmo, Wirjokusumo, ex Wing Kommander Constantine, Ny. Constantine, ex Squadron Leader Haxelhurst (Supeni, 2001 : 268-270).

Siapakah Patnaik ?

Bijayananda Patnaik lahir di Orissa (Odisha), India pada tanggal 5 Maret 1916. Ia adalah seorang pejuang nasionalis sejak muda. Ia bersahabat dengan Nehru dan mendapat tugas dari Nehru untuk membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Nama lengkap Patnaik, adalah Biju Patnaik. Selain turut membantu Indonesia mempertahankan kemerdekaan, Ia diketahui juga seorang guru dari tiga pahlawan nasional Indonesia, yaitu bapak penerbangan pertama Indonesia Adisucipto, Iswahyudi, dan Abdulrahman Saleh. Biju Patnaik disebut sempat mengajarkan ketiganya ilmu penerbangan.

Kehadiran Biju Patnaik di Indonesia untuk membantu mempertahankan kemerdekaan tidak terlepas dari tokoh pahlawan nasional, Bung Hatta. Bung Hatta diketahui bersahabat dengan Jawaharlal Nehru, yang merupakan perdana menteri India pertama.

Mengetahui sahabatnya tengah kesulitan dan membutuhkan bantuan terbaik dari India untuk mempertahankan kemerdekaan, Nehru pun mengutus pilot terbaik India, Biju Patnaik.

Dengan menggunakan pesawat Dakota VT-CLA, Biju Patnaik melakukan perjalanan dari India ke Yogyakarta dan mendarat di lapangan udara monumental, yang menjadi saksi detik-detik terakhir pesawat milik Biju Patnaik yang ditumpangi Adisutjipto (Adisucipto), Abdulrahman Saleh, dan Adisumarmo sebelum jatuh ditembak pesawat P-40 Kittyhawk Belanda, yaitu Lapangan Udara atau Pangkalan Udara Maguwo.

Saat tiba pertama kali di Indonesia, Biju Patnaik langsung disambut oleh Kepala Staf Angkatan Udara Komodor Udara Soeryadi Suryadarma, dan kemudian menghadap Presiden Soekarno dengan membawa pesan dari Jawaharlal Nehru. Sejak itulah Biju Patnaik secara berlanjut membantu perjuangan Indonesia dengan menggunakan pesawat Dakota miliknya.

Di Maguwo, Biju Patnaik tinggal selama beberapa minggu sebelum akhirnya kembali ke India dengan membawa serta Sutan Syahrir ke India untuk meminta bantuan dunia internasional.

Selama di Pangkalan Udara Maguwo inilah, pesawat yang dibawanya, digunakan Biju Patnaik untuk melatih pilot-pilot AURI, Adisutjipto, Abdulrachman Saleh, dan Iswahyudi. Selama dua minggu berlatih, ketiga pilot terbaik AURI ini akhirnya mampu menerbangkan pesawat Dakota sendiri.

Namun nahas, setelah bisa menerbangkan pesawat itu, ketiganya, kecuali Iswahyudi, justru tewas bersama jatuhnya pesawat tersebut, saat membawa bantuan obat-obatan dari Palang Merah Malaya untuk Palang Merah Indonesia, akibat serangan pesawat tempur Belanda. Ironisnya, peristiwa itu terjadi juga di tempat yang sama ketika keduanya belajar menerbangkan pesawat Dakota VT-CLA, yaitu di Pangkalan Udara Maguwo.


Selain menerbangkan Sutan Syahrir, Biju Patnaik juga menerbangkan petinggi Indonesia lainnya, seperti Bung Hatta, untuk melakukan lobi militer di luar negeri. Misi ini ternyata berhasil hingga akhirnya Indonesia bisa mempertahankan kedaulatannya di muka dunia internasional. Lobi politik yang kuat serta perjuangan yang tiada habisnya membuat negeri ini mampu bertahan di tengah serangan yang bertubi-tubi.

Atas berbagai jasa-jasanya itu, Biju Patnaik pun diganjar penghargaan yang sangat tinggi dari pemerintah Indonesia berupa Bintang Jasa Utama (Alpin Hardiansah, kabarpenumpang.com, 25 Januari 2022)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan