Jawaban Pemerintah Terhadap Pemandangan Umum Fraksi-fraksi pada Rapat Pleno Konstituante di Bandung 21 Mei 1959
Pada 29 April 1959 malam Majelis Konstituante memulai rapat plenonya yang pertama. Dari kalangan pemerintah hadir Menteri Agraria Mr Sunarjo dan Menteri Negara Mr. Moh. Yamin. Rapat Pleno Konstituante berakhir tanggal 13 Mei 1959 yang merupakan hari terakhir dari pemandangan umum para anggota Konstituante. Pada tanggal 21 Mei 1959 Pemerintah memberikan jawaban terhadap pemandangan umum para anggota Konstituante. Jawaban Pemerintah adalah sebagai berikut :
"Putusan Dewan Menteri tertanggal 19 Februari 1959 untuk ‘melaksanakan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali kepada Undang-undang Dasar 1945’ tidak diambil secara tergesa-gesa, tidak memuat pertentangan-pertentangan dan tidak merupakan suatu eksperimen belaka, sebagaimana dinyatakan oleh Anggota Yang Terhormat Saudara S.M. Abidin atas nama Fraksi Partai Buruh, tetapi ia adalah hasil pemikiran yang mendalam dengan sungguh-sungguh.
Putusan Dewan Menteri tersebut juga tidak diputarbalikkan sedemikian rupa, sehingga gagasan kembali kepada UUD 1945 menjadi secundair dan gagasan melaksanakan Demokrasi Terpimpin menjadi primair, sebagaimana dinyatakan oleh Anggota Yang Terhormat Saudara Dahlan Lukman dari Fraksi Masyumi.
Seperti ternyata dalam Amanat Presiden pada tanggal 22 April yang baru lalu, putusan Pemerintah tersebut adalah hasil dari pemikiran yang masak, yang telah dirumuskan sebaik-baiknya dalam susunan dan kata-katanya, dan yang menurut keyakinan Pemerintah adalah jalan yang sebaik-baiknya bagi Negara dan Masyarakat Indonesia sekarang untuk mencapai cita-cita yang terkandung dalam Proklamasi Kemerdekaan kita.
Sejarah terjadinya putusan Dewan Menteri tertanggal 19 Februari 1959 sebenarnya dimulai pada waktu Kepala Negara kita mulai memikirkan jalan apakah yang sebaiknya harus kita hadapi bersama semenjak tahun 1950, dan kemudian pada tanggal 21 Februari 1957 menjadikan Konsepsi Presiden yang terkenal untuk ‘Menyelamatkan Republik Indonesa’ yang antara lain memuat anjuran untuk menyelenggarakan ‘Demokrasi Terpimpin.’
Anjuran itu selanjutnya disusul oleh ‘Konsepsi Pemerintah’ yang diutarakan dalam Keterangan Pemerintah mengenai Program Kabinet Karya pada tanggal 17 Mei 1957, yang antara lain memuat rintisan yang hendak ditempuh untuk menormalisasi keadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kedua konsepsi tersebut yang berdasarkan jiwa dan semangat 17 Agustus 1945, telah menjadi bahan pembicaraan baik secara perorangan, maupun secara bersama-sama pertama-tama dalam Musyawarah Nasional Pembangunan pada tahun 1957, kemudian dalam sidang Dewan Nasional pada tahun 1958, dan akhirnya dalam sidang Dewan Menteri di Cipanas pada tanggal 7 November 1957, dan dalam pertemuan-pertemuan antara Presiden dan Dewan Menteri berturut-turut di Bogor pada tanggal 5 Desember 1958, di Jakarta pada tanggal 15 Januari 1959 dan di Bogor, lagi pada tanggal 27 Januari 1959.
Dalam permusyawaratan-permusyawaratan itu timbullah keyakinan baik pada Presiden maupun pada Pemerintah, bahwa konsepsi-konsepsinya sukar diselenggarakan dengan tepat di atas dasar Undang-undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku sekarang.
Maka untuk menyelenggarakan konsepsi-konsepsinya termaksud, Presiden dan Pemerintah yakin bahwa UUD 1945 lebih menjamin terlaksananya prinsip demokrasi terpimpin, untuk kegunaan normalisasi keadaan, demi keselamatan Negara dan Masyarakat Republik Indonesia.
Dari uraian saya tadi, jelaslah kiranya, bahwa putusan Dewan Menteri tertanggal 12 Januari 1959, yang diambil lebih dari tiga minggu sesudah pertemuan ketiga antara Presiden dan Dewan Menteri, dan yang perumusannya secara formil disetujui oleh Presiden pada tanggal 20 Februari 1959, diambil setelah dimusyawarahkan semasak-masaknya, disusun dalam suasana saling menyadari keadaan, dan merupakan suatu permufakatan yang menurut keyakinan bersama Presiden dan Pemerintah harus dilaksanakan sebagai pangkal bertolak untuk mencapai kestabilan politik yang sangat diperlukan oleh Negara dan Masyarakat guna melaksanakan pembangunan semesta.
Dari penjelasanan di atas teranglah kiranya, bahwa sekalipun Demokrasi Terpimpin nampaknya diutamakan sejak semula, namun sebagai landasannya sejak semula pula senantiasa dikemukakan dikembalikannya jiwa dan semangat 17 Agustus 1945, yang diwujudkan dalam UUD 1945, berisi cita-cita Bangsa Indonesia yang diperjuangkan dan disempurnakan semenjak Hari Kebangkitan Nasional.
Maka dari itu, menurut pendapat Pemerintah dalam anjurannya ‘melaksanakan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali kepada UUD 1945,’ kedua-duanya, UUD 1945 dan Demokrasi Terpimpin adalah dalam satu keseluruhan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Dan justru karena persoalan ini tidak bersifat hanya eksekutif saja, tetapi terlebih-lebih konstitusionil, maka Pemerintah mempertimbangkan anjurannya ‘kembali ke UUD 1945’ kepada sidang Konstituante yang terhormat ini, di samping mempertanggungjawabkan putusan Dewan Menteri untuk ‘melaksanakan Demokrasi Terpimpin dalam rangka untuk kembali ke UUD 1945’ sebagai kebijaksanaan Pemerintah yang bersifat pokok kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Keterangan ini ditujukan juga kepada Anggota Yang Terhormat Saudara M. Tahir Abubakar dai Fraksi Partai Serikat Islam Indonesia.
KESULITAN-KESULITAN EKSEKUTIF
Kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh Negara dan Masyarakat meliputi bidang-bidang politik, militer dan sosial ekonomi, dan dihadapi oleh instansi-instansi pusat dan daerah, baik masing-masing maupun bersama-sama.
TENTANG PROSEDUR KEMBALI KEPADA UNDANG-UNDANG DASAR 1945
1. Mengenai pokok pikiran yang pertama, yaitu bahwa ‘setelah terdapat kata sepakat antara Presiden dan Dewan Menteri maka Pemerintah minta supaya diadakan Sidang Pleno Konstituante.’ ;
2. Begitu pula mengenai pokok pikiran yang kedua, yaitu bahwa ‘atas nama Pemerintah disampaikan oleh Presiden amanat berdasarkan Pasal 134 UUD Sementara ditetapkan,’ diadakan Pemandangan Umum antara lain oleh Anggota Yang Terhormat Saudara Djamaluddin Datuk Singo Mangkuto.
Atas pertanyaan pembicara yang terhormat tersebut tentang cara menyampaikan anjuran Pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945 kepada Konstituante, Pemerintah menerangkan, bahwa anjuran tersebut dipandang demikian pentingnya, sehingga Pemerintah mempersilahkan Presiden menyampaikan sendiri secara lisan dalam bentuk amanat, seperti juga halnya dengan Amanat Presiden pada tanggaL 10 November 1956;
3. Mengenai pokok pikiran yang ketiga, yaitu bahwa ‘jika anjuran Pemerintah itu diterima oleh Konstituante, maka Pemerintah atas dasar Pasal 137 UUDS mengumumukan UUD itu dengan keluhuran, yang dilakukan dengan suatu Piagam, yang ditandatangani dalam suatu Sidang Pleno Konstituante oleh presiden, para Menteri dan para Anggota Konstituante.'
SITUASI NEGARA RI PADA TAHUN 1957-1959
Situasi Negara kita pada tahun 1957 sangat sulit disebabkan :
1. Pemberontakan melanda berbagai daerah di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku dan Kalimantan;
2. Perundingan Indonesia-Belanda tentang Irian Barat menemui jalan buntu di PBB dan tuntutan Rakyat muncul untuk menasionalisasikan perusahan-perusahaan Belanda, yang menjurus ke arah tuntutan membebaskan Irian Barat dengan segala jalan;
3. Sidang Konstituante untuk menetapkan UUD RI mengalami kemacetan, dan situasi politik makin memanas. Terjadi keretakan dalam tubuh ABRI sejak tahun 1955;
4. Keadaan ekonomi keuangan Negara mengalami banyak kesulitan serta inflasi yang terus meningkat;
5. Pada tanggal 15 Februari 1958 Negara diguncang oleh Pemberontakan PRRI/Permesta. Ditambah campur tangan AS (Pemerintahan Eisenhower) tidak bisa diingkari dengan tertangkapnya pilot Allan Pope di Maluku yang membantu kaum pemberontak dalam beberapa pemboman di daerah Indonesia Timur.
Inilah sebagian dari sejarah yang selamanya harus tidak dilupakan dan menjadi pelajaran bagi Bangsa dan Rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke untuk mengupayakan tetap terpeliharanya persatuan dan kesatuan Negara Republik Indonesia. Situasi politik di tanah air pada waktu itu belum memungkinkan kita bernapas lega. Konstituante yang sudah bersidang sejak tahun 1956 hingga tahun 1959 belum dapat menunjukkan hasilnya.
Pada saat itu Kabinet Juanda telah dua kali minta perhatian agar sidang Konstituante yang selama lebih dua tahun belum berhasil sebaiknya kembali saja kepada UUD 1945. Namun sesuai usul Pemerintah tidak ditanggapi. Akhirnya, konstitusi yang dinanti-nantikan tidak kunjung selesai. Malahan menunjukkan tanda-tanda kemacetan karena ada pernyataan dari anggota-anggota yang tidak bersedia hadir. Terpaksa Bung Karno minta waktu kepada Ketua Konstituante untuk bicara."
Komentar
Posting Komentar