Res Publica ! Sekali Lagi Res Publica


Pada tanggal 22 April 1959 Presiden Sukarno menyampaikan amanatnya di depan 475 anggota yang hadir dari 532 orang anggota Konstituante dan 700 undangan yang terdiri dati para anggota Kabinet Karya, para kepala staf angkatan, para anggota DPR, para anggota Dewan Nasional, para duta besar, para pejabat daerah, pers dalam dan luar negeri, kru film, kru RRI dan undangan lainnya.

Amanat Presiden Sukarno tentang kembali kepada UUD 1945 itu berlangsung selama dua setengah jam dari pukul 10.00 sampai pukul 12.30 dan dengan khidmat diikuti oleh para anggota Konstituante dan undangan yang hadir serta oleh puluhan ribu rakyat di sekitar Gedung Konstituante. Amanat Presiden Sukarno juga disiarkan secara sentral oleh RRI. 

Pidato Presiden Sukarno yang berjudul Res Publica Sekali Lagi Res Publica sebagai berikut :

“Saudara Ketua dan Saudara-saudara Anggota Konstituante yang terhotmat,

Pada hari ini tepat dua tahun, lima bulan dan dua belas hari berlangsung, sejak saya melantik Sidang Pembuat Undang-undang Dasar yang terhormat ini.

Seperti saudara-saudara sekalian masih ingat, pelantikan Konstituante itu tempo hari dengan sengaja dilangsungkan pada waktu rakyat Indonesia memperingati ulang tahun kesebelas Hari Pahlawan, yaitu 10 November 1956.

Sebagaimana saya katakan dalam upacara pelantikan itu, maka bangsa Indonesia telah mencapai salah satu puncak Revolusi Nasionalnya dengan pembukaan sidang pada Konstituante pada waktu itu. Sekarang bangsa kita mendekati lagi salah satu puncak perjuangannya, yaitu apabila Konstituante telah menyelesaikan tugasnya sebagaimana mestinya, dan sebagaimana diharapkan oleh delapan puluh lima  juta rakyat yang membentuknya. 

Dalam masa antara pembukaan dan penutupan sidang Konstituante itu, telah terjadilan banyak hal, banyak gejala, banyak peristiwa, yang simptom-simptommnya sudah saya sinyalir dalam uraian saya pada tanggal 10 Nopember 1956.

Kejadian-kejadian di dalam negeri maupun di luar negeri selama itu, yang tentunya telah mendapat perhatian sepenuhnya dari saudara-saudara sekalian sebagai wakil-wakil Rakyat Indonesia, begitu pula kesibukan pekerjaan sehari-hari, mungkin menyebabkan saudara-saudara sudah tidak ingat lagi apa yang saya katakan hampir dua setengah tahun yang lalu.

Karena itu ada baiknya kiranya, apabila saya di sini mengulangi beberapa pokok pikiran yang penting dari amanat yang saya ucapkan pada upacara pelantikan sidang Konstituante dulu itu.

Apakah pokok-pokok pikiran itu ?

Dalam pidato pelantikan Konstituante yang saya maksudkan tadi saya terangkan bahwa tanggal 10 November 1945 itu kita  peringati tiap-tiap tahun karena pada hari itu bangkit kembali semangat perlawanan bangsa Indonesia secara massal. 

Pahlawaan pahlawan kita – demikian kukatakan selanjutnya – rela mengorbankan segala sesuatu untuk membela suatu ide, yaitu ide kemerdekaan dan keselamatan seluruh bangsa, ide yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, ide untuk bernegara yang membentuk Republik Kesatuan berdasarkan Undang-undang Dasar 1945.

Ide itu sebelum itu telah mengalami beberapa fase.

Fase pertama adalah fase kesukuan.

Tiap-tiap suku merasa dirinya sebagai  suatu kesatuan yang mutlak dan masing-masing hanya mementingkan keselamatan dirinya sendiri saja.

Fase kedua adalah fase kepulauan.

Tiap-tiap pulau merasa dirinya sebagai satu kesatu dan yang mutlak, dan masing-masing hanya mementingkan keselamatan dirinya saja.

Fase ketiga adalah fase kerjasama antar suku dan antar pulau, tetapi kerjasama itu hanya dilakukan atas dasar federasi, karena tidak ada satu suku ataupun satu pulau yang rela berkorban untuk seluruh bangsa atas tanah air Indonesia.

Pada tahun 1928 turunlah ide baru, yang mewahyui Angkatan Pemuda , dan selanjutnya seluruh bangsa Indonesia.

Pada tanggal 28 Oktober 1928 Angkatan Pemuda ini mengikrarkan sumpahnya yang termasyur :

Kami setanah air, tanah air Indonesia

Kami sebangsa, bangsa Indonesian 

Kami sebahasa, bahasa Indonesia.

Dengan terbitnya matahari kebangsaan Indonesia yang bulat dan bersatu itu, ide kepulauan atau ide federalisme itu, ia adalah seperti orang yang menggali kubur dan mencoba menghidupkan kembali orang yang dikuburkan 30 tahun yang lampau.

Memang kita tetap berhak mencintai dan memajukan suku atau daerah kita masing-masing, tetapi kita harus mencintainya dan memajukannya dalam rangka kesatuan bangsa dan kesatuan tanah air Indonesia, yang tak bisa dipisah-pisahkan.

Pada tahun 1933 ide berbangsa, bertanah air dan berbahasa satu itu meningkat lagi dengan timbulnya ide bernegara satu yang berbentuk republik. Untuk ide itulah, yaitu ide ‘bangsa Indonesia bersatu dalam satu negara nasional yang berbentuk Republik Kesatuan yang diproklamirklan pada tanggal 17 Agustus 1945’ dilakukanlah tindakan-tindakan kepahlawanan secara massal semenjak 10 November 1945. Dan karena ide itu pula, maka Negara Republik Indonesia Serikat, yang didasarkan ide provinsialisme, ide insularisme dan ide federalisme, yang telah kita kubur 30 tahun yang lampau, hanya dapat hidup 7,5 bulan, ibarat suatu tengkorak yang dihidupkan dan didatangkan secara buatan atau kunsmatig.

Saudara-saudara sekalian.

Kita telah berhasil memulihkan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950, yang tersusun berdasarkan Undang-undang Dasar Sementara yang berlaku sampai sekarang, tetapi jiwa dan semangat proklamasi dan Undang-undang Dasar 1945 terasa belum dipulihkan pula dengan itu.

Oleh karena itu maka dibentuklah Konstituante ini, yang bersama-sama dengan pemerintah, selekas-lekasnya harus menetapkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia yang saya maksudkan tadi.

Pada upacara pelantikan Konstituante pada tanggal 10 November 1956 itu saya menyampaikan beberapa pesanan kepada Konstituante yang terhormat ini, untuk dipergunakan dalam menunaikan tugasnya menetapkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia. 

Pertama : saya minta supaya Saudara-saudara sebagai anggota Konstituante menjadilah penyambung lidah yang setia daripada 80-85 juta rakyat Indonesia yang sedang berevolusi dan pahlawan-pahlawan rakyat Indonesia yang telah berkorban dan mati, yang tiap-tiap tahun pada tanggal 10 November kita peringati. 

Kedua : Saya minta supaya Konstituante bersama-sama dengan Pemerintah menetapkan suatu Undang-undang Dasar Republik Indonesia yang sesuai dengan jiwa, watak dan kepribadian Bangsa Indonesia sendiri.

Kita dalam pada itu, tidak perlu menutup mata kepada dunia sekeliling kita. Kita malahan sebaliknya perlu mempelajari pengalaman-pengalaman keadaan-keadaan, ajaran-ajaran dan konstitusi-konstitusi di negari-negeri lain. Tapi segala sesuatu itu tidak boleh mendorong kita menghasilkan suatu konstitusi yang hanya merupakan satu “copy” belaka daripada konstitusi-konstitusi asing. Segala sesuatu dari luar negeri itu hanyalah merupakan bahan-bahan saja, untuk menyempurnakan Undang-undang Dasar Republik Indonesia, yang kita buat bersama.

Bagi bangsa Indonesia, yang sedang berrevolusi, Konstitusi harus merupakan suatu Konstitusi Perjuangan, yang memberikan arah dan dinamik kepada perjuangan, yang merupakan suatu manifestasi daripada geloranya, gegap gempitanya perjuangan. 

Bagi bangsa Indonesia, yang sedang merombak tata kolonial yang mesum menjadi tata nasional yang modern dan berbahagia, sebaiknya dibuatkanlah suatu konstitusi yang berdasarkan falsafah nasional, yang mengenal apa yang saya namakan pada waktu itu ‘demokrasi terbimbing atau demokrasi terpimpin,’ di segala lapangan kenegaraan dan di segala lapangan kemasyarakatan, di segala bidang-bidang politik, di segala bidang-bidang militer, di segala bidang-bidang sosial ekonomi.

Ketiga : Saya minta janganlah Konstituante dijadikan tempat berdebat bertele-tele, suatu medan pertempuran bagi partai-partai atau pemimpin-pemimpin politik.

Saya peringatkan pada itu waktu, bahwa Konstituante bukan gelanggang antithese, melainkan badan untuk bersynthese.

Karena itu maka permusyawaratan dalam Konstituante tidak boleh menemukan jalan buntu, dan kita semua wajib berikhtiar untuk mencarikan jalan keluar bagi kesulitan yang dihadapi oleh Konstituante itu.

Saya peringatkan pada pelantikan itu bahwa musuh-musuh kita sedang berusaha untuk menjebol tiang-tiang dari jembatan emas kita itu, dan dalam hubungan itu saya mensinyalir antara lain adanya aksi-aksi subversif asing, dan bahwa imperialisme kolonialisme belum mati, dan masih bercokol merajalela di Irian Barat.

Karena itu maka pada pelantikan itu saya serukan, supaya bangsa Indonesia dengan kompak bersatu-padu menyebrangi jembatan emas, Indonesia Merdeka itu, menuju ke kebahagiaan dan kesejahteraan, dan saya serukan kepada Konstituante, berikanlah kepada bangsa Indonesia suatu Undang-undang Dasar, yang menjamin kesatuan bangsa, menjamin kesatuan tanah air, menjamin kemerdekaan bulat, menjamin kesejahteaan seluruh Rakyat. 

Dua tahun, lima bulan dan dua belas hari telah berlangsung sejak pelantikan itu.

Dalam jangka waktu itu saudara-saudara sekalian telah berkali-kali bersidang.

Dan dengan mengingatkan keadaan negara dan masyarakat selama jangka waktu tersebut, saudara-saudara telah bersepakat untuk mempercepat pekerjaan Konstituante, yang sesuai pula dengan Pasal 134 Undang-undang Dasar Sementara, yang menentukan supaya Undang-undang Dasar Republik Indonesia ditetapkan selekas-lekasnya.

Sebagai wakil-wakil yang terhormat daripada Rakyat Indonesia, saudara-saudara tentunya memaklumi kesulitan-kesulitan negara dan masyarakat kita, terutama pada tahun-tahun belakangan ini.

Pada suatu ketika kesulitan-kesulitan itu adalah demikian memuncaknya, sehinga saya memandang perlu pada tanggal 21 Februari 1957 mengemukakan suatu konsepsi untuk menyelamatkan Republik Proklamasi.

Konsepsi saya itu ternyata belum dapat diterima oleh masyarakat secara bulat. Padahal penerimaan secara bulat itu merupakan suatu ‘conditio sine qua non’ bagi pelaksanaannya dengan sesempurna-sempurnanya.

Sementara itu kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh negara dan masyarakat kita sudah demikian memuncaknya, sehingga dirasa perlu untuk menyatakan seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan darurat perang yang kemudian diganti dengan keadaan perang.

Dalam keadaan yang demikian itu saya membentuk Kabinet Karya, yang memegang pemerintahan negara sampai sekarang.

Saudara-saudara sekalian selanjutnya dapat menyaksikan sendiri usaha-usaha Kabinet Karya untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang kita hadapi, baik yang terletak di bidang eksekutif, maupun yang terletak di bidang Konstitusi.

Kesulitan-kesulitan tersebut meliputi soal-soal kenegaraan maupun soal-soal kemasyarakatan, meliputi bidang-bidang politik maupun bidang-bidang militer dan sosial ekonomi.

Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan itu secara kekeluargaan dalam waktu yang singkat, diadakan pelbagai ragam permusyawaratan.

Dalam hal ini saya memperingatkan pada Musyawarah Nasional dan Musyawarah Nasional Pembangunan dalam tahun 1957, dan pada beberapa musyawarah militer, yang kesemuanya dilakukan antara wakil-wakil pusat dan wakil-wakil daerah.

Pembicaraan-pembicaraan secara luas dan mendalam dilakukan pula antara saya dan Dewan Menteri, antara saya dan Dewan Nasional, antara saya dan pemimpin-pemimpin politik serta orang-orang terkemuka, mengenai penyelesaian masalah-masalah kita itu.

Kesemuanya – permusyawaratan, pembicaraan, pertukarpikiran itu, akhirnya memperkuat keyakinan kita bahwa keadaan negara dan masyarakat kita menghendaki agar dalam waktu sesingkat-singkatnya sistem kenegaraan dan kemsyarakatan kita ditinjau kembali dan dirombak secara revolusioner. Ya ! Ditinjau kembali dan dirombak secara revolusioner, selekas-lekasnya.

Maka dipandanglah perlu, agar pembuatan Undang-undang Dasar Republik Indonesia oleh Konstituante bersama-sama dengan pemerintah, lebih dipercepat lagi.

Dalam pada itu terasalah pula keperluan untuk mencari jalan ke luar bagi kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh Konstituante sendiri, mengenai beberapa soal-soal pokok yang berat.

Berhubung dengan itu, maka pada hari ini saya datang di Bandung, dan menghadiri pembukaan sidang pleno yang pertama Konstituante tahun 1959, untuk menyampaikan atas nama Pemerintah suatu anjuran yang penting, yang dapat mempercepat penyelesaian tugas bersama Konstituante dan Pemerintah, dan dapat pula membuka jalan keluar bagi kesulitan yang dihadapi oleh Konstituante sekarang yang saya maksudkan tadi.

Saudara-saudara sekalian.

Anjuran yang saya sampaikan kepada Konstituante atas nama Pemerintah itu berbunyi cekak aos : Marilah kita kembali kepada Undang-undang Dasar 1945.

Anjuran ini disetujui dengan suara bulat oleh Dewan Menteri dalam sidangnya pada tanggal 19 Februari 1959. Kemudian perumusan daripada anjuran Pemerintah itu saya setujui dengan resmi pada tanggal 20 Februari 1959. Naskah anjuran Pemerintah tersebut disampaikan secara tertulis oleh Perdana Menteri kepada Konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 21 Februari 1959. Penjelasan atas anjuran Pemerintah itu disampaikan kepada Konstituante secara berturut-turut pada permulaan bulan Maret yang lalu.

Berkenaan dengan anjuran ‘kembali kepada Undang-undang Dasar 1945’ itu, maka saya sampaikan kepada Konstituante dengan resmi naskah Undang-undang Dasar 1945 itu, yang terdiri dari Pembukaan, batang tubuh yang berisikan 37 Pasal, 4 Aturan Peralihan dan 2 Aturan Tambahan.

Saya harap Saudara-saudara sekalian dalam watu singkat dapat menerima ajakan Pemerintah yang saya setujui sepenuhnya itu, sehingga dalam waktu yang tidak lama lagi Konstituante dan Pemerintah bersama-sama dapat menetapkan naskah Undang-undang Dasar Republik Indonesia, guna menggantikan Undang-undang Dasar Sementara yang berlaku sekarang ini.

Dengan demikian, maka Konstituante melakukan suatu tindakan yang bersejarah, baik dalam perjalanan Revolusi Nasional kita yang masih menggelora terus sampai sekarang ini, maupun dalam riwayat Bangsa Indonesia yang insya Allah akan berlangsung selama-lamanya.

Setengah orang akan bertanya : Apakah Konstituante tidak memundurkan jam dengan memutuskan untuk kembali kepada Undang-undang Dasar 1945 ? Apakah Konstituante tidak mengabaikan panggilan zaman yang sudah maju lagi 14 tahun, dengan menetapkan Undang-undang Dasar 1945 sebagai Undang-undang Dasar Republik Indonesia ?

Jawaban saya ialah tegas-tandas : Orang yang menanya demikian itu tidak mengerti atau setengah menyeleweng dari jiwa dan semangat yang murni Bangsa Indonesia, yang telah memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.

Orang yang menanya demikian itu tidur nyenyak, atau bangun ngelamun, karena tidak menangkap sebab musabab kejadian-kejadian dalam masa kemerdekaan kita, terutama sejak 1950.

Saya tetap tegas-tandas mengatakan bahwa dengan menetapkan Undang-undang Dasar 1945 sebagai Undang-undang Dasar Republik Indonesia, Konstituante melakukan suatu tindakan bersejarah yang bernilai tinggi dalam zaman Revolusi Nasional kita dan dalam riwayat Bangsa Indonesia.

Mengapa ?

Karena Anggota-anggota Konstituante, dengan demikian, sebagai putra-putri Rakyat Indonesia, mengerti sedalam-dalamnya akan jiwa, watak dan kepribadian Bangsa kita yang sejati.

Karena Anggota-anggota Konstituante, dengan demikian, sebagai utusan-utusan Rakyat Indonesia, mengerti sedalam-dalamnya akan jiwa, watak dan kepribadian Bangsa kita yang sejati.

Karena Anggota-anggota Konstituante, dengan demikian, sebagai putra-putri Rakyat Indonesia, mengerti sedalam-dalamnya kehendak Revolusi Nasional pada tingkatan sekarang dan mengerti kehendak zaman sekarang.

Dengan kembali kepada Undang-undang Dasar 1945, maka kita kembalikan Undang-undang kita, yang luhur artinya dalam Revolusi Nasional dan sejarah Bangsa Indonesia itu, kepada kedudukannya yang agung semula. Kita kembalikannya kepada Singgasana Historis Revolusioner yang asli mulia.

Selamilah sedalam-dalamnya apa yag terjadi sebelum dan sesudah Hari Keramat Bangsa Indonesa, Hari Proklamasi 17 Agustus 1945 ! Selami segala kejadian-kejadian itu, dan saudara-saudara akan mengerti bahwa Saudara-saudara akan berbuat historis tinggi nilai, jika Saudara-saudara kembali kepada Undang-undang Dasar 1945 itu.

Saya tidak akan mengulangi di sini apa yang tertulis dalam lembaran-lembaran hitam di buku sejarah Indonesia, yang melukiskan zaman penjajahan di Tanah Air kita, yang penuh dengan penderitaan Rakyat kita.

Saya juga tidak memperingatkan di sini kepada bagian-bagian dari buku sejarah Indonesia, yang melukiskan perlawanan Bangsa Indonesia terhadap penjajahan itu guna mengakhiri penderitaan rakyat kita itu.

Sebab dalam uraian saya pada upacara pelantikan Konstituante pada tanggal 10 November 1956 saya telah gambarkan secara panjang lebar – dan dalam permulaan uraian saya sekarang ini telah saya singgung lagi dengan singkat – apakah yang telah diusahakan oleh Bangsa Indonesia untuk mengakhiri penderitaan Rakyat kita itu.

Saya di sini hanya ingin mengemukakan, bahwa dalam mengikuti perjuangan Bangsa Indonesia melawan penjajahan pada umumnya, di masa Kebangkitan Nasional pada khususnya, kita senantiasa menghadapi suatu amanat penderitaan Rakyat. Amanat penderitaan Rakyat yang mengharukan. Amanat penderitaan Rakyat yang harus kita taati. Amanat penderitaan Rakyat yang harus kita penuhi. Oleh karena itu adalah AMANAT.

Apakah amanat itu ?

Tiga hal.

Pertama : Ciptakanlah suatu masyarakat yang adil dan makmur;

Kedua : bentuklah suatu negara kesatuan berdasarkan faham unitarisme;

Ketiga : anutlah cara bermusyawarah, dalam suatu badan dan sistem mono-kameral.

Amanat penderitaan Rakyat itulah yang menjiwai Piagam Jakarta, yang pada tanggal 22 Juni 1945 ditandatangani oleh sembilan orang, yaitu Sukarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, Agus Salim, Achmad Subarjo, Wachid Hasjim dan Muhammad Yamin.

Piagam Jakarta ini memuat lengkap amanat penderitaan Rakyat yang saya sebutkan tadi, yaitu : satu masyarakat adil dan makmur, satu negara kesatuan yang berbentuk republik, satu badan permusyawaratan perwakilan Rakyat.

Piagam Jakarta adalah suatu dokumen historis, yang memelopori dan mempengaruhi pembentukan Undang-undang Dasar 1945.

Oleh karena itu maka naskah Piagam Jakarta itupun saya sampaikan nanti dengan resmi kepada sidang Konstituante ini.

Amanat Penderitaan Rakyat selanjutnya menjiwai Undang-undang Dasar 1945, yang mengiringi Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Undang-undang Dasar 1945 pun memuat lengkap Amanat Penderitaan Rakyat yang saya sebutkan tadi, yaitu : satu masyarakat yang adil dan makmur, satu badan permusyawaratan perwakilan Rakyat yang bersifat mono-kameral.

Amanat Penderitaan Rakyat itu menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dalam keseluruhannya . Ia meliputi pembukaannya, ia pun meliputi batang tubuhnya.

Undang-undang Dasar 1945 adalah dasar untuk mengakhiri penderitaan Rakyat di zaman penjajahan dan memulai kesejahtraan di zaman kemerdekaan.

Karena itulah maka Undang-undang Dasar 1945 adalah luhur artinya dalam sejarah Bangsa Indonesia, agung kedudukannya dalam Revolusi Nasional kita.

UNDANG-UNDANG DASAR 1945 MERUPAKAN DOKUMEN HISTORIS, ATAS DASAR MANA REVOLUSI DIMULAI DAN YANG DAPAT DIPAKAI UNTUK LANDASAN GUNA PENYELESAIAN REVOLUSI PADA TINGKATAN SEKARANG.

Atas Undang-undang Dasar Proklamasi 17 Agustus 1945 kita mulai Revolusi Nasional kita, fisik dan mental, dan kita lakukan tindakan-tindakan kepahlawanan berturut-turut sejak 10 November 1945.

Atas dasar Undang-undang Dasar Proklamasi 17 Agustus 1945 kita menyongsong Negara Kesatuan berbentuk Republik, bersistem monokameral dan bertujuan masyarakat adil dan makmur, Negara yang kemudian diakui oleh 10 negara asing berturut-turut pada tahun 1947 dan 1948.

Tetapi setelah kita mengalami pasang naiknya jiwa semangat Undang-undang Proklamasi 17 Agustus 1945 itu, kita menyaksikan pasang surutnya semenjak penandatanganan peersetujuan KMB pada akhir 1949 sampai sekarang.

Benar revolusi fisik terhenti di masa sesudah akhir 1949, dan penghidupan dan kehidupan di dalam negeri menuju ke arah ukuran-ukuran yang normal.

Benar kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia diakui berturut-turut oleh lebih dari 60 negara pada tahun 1949 dan 1950 dan akhirnya oleh Persatuan Bangsa-bangsa pada tahun 1951. 

Benar kita dapat memulai membersihkan diri dari sisa-sisa zaman kolonial dan mulai membangun atas dasar-dasar nasional.

Tapi ikhtiar kita untuk mengatur penghidupan dan kehidupan kita senantiasa mengalami keseretan-keseretan, bahkan akhir-akhir ini terancam juga dengan kemacetan-kemacetan yang membahayakan. 

Di bidang politik terjadi penyalahgunaan prinsipil mengenai ideologi, kebijaksanaan, kepemimpinan dan sebagainya, di antara parta-partai dan pemimpin-pemimpinnya.

Di bidang militer terjadi penyalahgunaan kekuasaan, yang menunjukkan sifat-sifat warlordism. 

Di bidang sosial ekonomi terjadi perebutan rezeki dan kekayaan dengan tendensi-tendensi menuju ke kapitalisme nasional.

Kita mencoba menghentikan segala sesuatu itu dengan minta pendapat Rakyat, dengan mengadakan pemilihan umum, yang menghasilkan DPR sekarang, guna mengatur penghidupan dan kehidupan kita sehari-hari dan menghasilkan Konstituante ini, guna mengatur penghidupan dan kehidupan kita di masa yang akan datang.

DPR bersidang, bekerja dan memeras tenaga dan pikirannya. Konstituante bersidang, bekerja dan memeras tenaga dan pikirannya. 

 Malahan kita mengadakan Musyawarah Nasional, dan Musyawarah Nasional Pembangunan, dan pula konferensi-konferensi militer antara staf pusat dan komandan-komandan teritorial.

Akan tetapi, sekalipun demikian :

• Pertentangan-pertentangan politik toh menjadi-jadi !

• Pemberontakan bersenjata toh meledak !

• Korupsi toh merajalela !

Kita bertanya, mengapa kemerosotan, mengapa disintegrasi, mengapa afglijdingsproces itu berjalan terus-menerus di semua lapangan, di bidang politik, di bidang militer, di bidang sosial ekonomi ?

Jawabannya tak lain dan tak bukan ialah : karena kita nyeleweng. Nyeleweng di semua lapangan ! Nyeleweng di semua bidang dari jiwa dan semangat Undang-undang Dasar Proklamasi 17 Agustus 1945. Kita bersalah mulai memandang Undang-undang Dasar 1945 itu sebagai suatu dokumen yang mempunyai arti historis belaka. Kita bersalah mem-perofanasi-kan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan memperingati tiap-tiap tahun pada tanggal 17 Agustus secara adat kebiasaan atau sleur belaka.

Dalam susasana yang demikian, dapatlah dimengerti di beberapa kalangan, resmi maupun tidak resmi, militer maupun tidak militer terdengar semua bisikan-bisikan, yang lambat-laun menjadi suara gemuruh, menjadi laksana taufan, untuk memekikkan stop kepada pertumbuhan Negara dan Masyarakat kita yang menuju ke jurang kemusnahan itu, dengan kembali ke jiwa semangat Undang-undang Proklamasi 1945.

Sebab, Revolusi Nasional kita sekarang belum selesai ! Belum selesai,

• Karena tujuannya menciptakan masyarakat adil dan makmur belum tercapai;

• Karena negara unitaris yang bersistem mono-kameral masih diancam oleh bahaya federalistis yang menghendaki sistem bikameral;

• Karena masih ada golongan-golongan di dalam dan di luar negeri yang dengan ambil kesempatan mumpung melancarkan ofensifnya di bidang-bidang politik, militer, ekonomi dan keuangan.

Dari itulah maka Undang-undang Dasar Proklamasi 1945, yang kita pakai sebagai dasar memulai Revolusi Nasional kita empat belas tahun yang lalu, masih kita perlukan sebagai landasan untuk menyelesaikan Revolusi Nasional kita pada tingkatan sekarang ini !

Sekarang kita datang pada pokok pikiran yang :

UNDANG-UNDANG DASAR 1945 ADALAH CUKUP DEMOKRATIS DAN SESUAI DENGAN KEPRIBADIAN BANGSA INDONESIA : 

“KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN/PERWAKILAN’ (PEMBUKAAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945).

Undang-undang Dasar 1945 tak bisa lain daripada demokratis ! Sebab demokratis adalah salah satu sila, salah satu sendi, salah satu dasar pokok dari pada Negara dan Masyarakat kita, semenjak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Hal itu dinyatakan baik dalam Piagam Jakarta maupun dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yang mempergunakan perkataan ‘kerakyatan.’

Akan tetapi kerakyatan yang dimaksudkan di situ adalah lain dari demokrasi yang kita praktikkan selama ini.

Dalam pidato saya pada waktu melantik Konstituante, saya katakan antara lain : janganlah kita meniru, janganlah kita mengimport dan mengoper demokrasi liberal, karena sistem itu tidak cocok dengan jiwa, semangat dan kepribadian Bangsa Indonesia, dan tidak cocok pula dengan keadaan di Tanah Air kita.

Yang cocok dengan iklim Indonesia adalah suatu sistem demokrasi, di mana golongan-golongan yang lemah mendapat perlindungan, di mana golongan-golongan yang kuat dibatasi kekuatannya, di mana dihalangi terjadinya eksploitasi golongan yang lemah oleh golongan yang kuat.

Itu berarti bahwa demokrasi Indonesia haruslah demokrasi yang terbimbing atau demokrasi yang terpimpin, guided democracy, dus yang tidak berdiri di atas faham-faham liberalisme.

Dalam konsepsi saya untuk menyelamatkan Republik Indonesia, yang pada tanggal 21 Februari 1957 saya pertimbangkan di depan forum masyarakat Indonesia, kukatakan bahwa demokrasi yang kita pakai selama ini adalah demokrasi Barat, namakanlah ia demokrasi parlementer.

Karena tidak cocok dengan iklim Indonesia, maka terjadilah ekses-ekses dalam penyelenggaraan demokrasi Barat itu, seperti misalnya pensalahgunaan makna oposisi di bidang politik, pelanggaran disiplin dan hierarchi di bidang militer, korupsi dan lain-lain sebagainya di bidang sosial ekonomi.

Maka oleh karena itu, untuk menghindarkan segala kesulitan baik yang terletak di bidang eksekutif, maupun yang terletak di bidang konstitusi, perlulah kita kembali ke demokrasi yang dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945, yang paling sesuai dengan iklim Indonesia, dan yang dinamakan ‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.’

Apa yang dimaksud dengan ‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan’ itu ? Yang penting : 

UNDANG-UNDANG DASAR 1945 LEBIH MENJAMIN TERLAKSANANYA PRINSIP DEMOKRASI TERPIMPIN. 

DEMOKRASI TERPIMPIN ADALAH DEMOKRASI.

Definisi Demokrasi Terpimpin :

1. Demokrasi terpimpin ialah demokrasi, atau menurut istilah Undang-undang Dasar 1945 – ‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan’;

2. Demokrasi terpimpin bukanlah diktator, berlainan dengan demokrasi sentralisme, dan berbeda pula dengan demokrasi liberal, yang dipraktikkan selama ini;

3. Demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang cocok dengan kepribadian dan dasar hidup Bangsa Indonesia;

4. Demokrasi terpimpin adalah demokrasi di segala soal kenegaraan dan kemasyarakatan, yang meliputi bidang-bidang politik, ekonomi dan sosial;

5. Inti daripada pimpinan dalam demokrasi terpimpin adalah permusyawaratan yang ‘dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan’ bukan oleh ‘perdebatan dan penyiasatan yang diakhiri dengan pengaduan kekuatan dan penghitungan suara pro dan kontra.’ Hasil permusyawaratan perwakilan itu kemudian diserahkan kepada seorang Presiden, yang dipimpin oleh permusyawaratan itu pula, guna dilaksanakan. Dalam melaksanakan hasil permusyawaratan tersebut, Presiden menunjuk tenaga-tenaga yang baik dan cakap sebagai pembantu-pembantunya, tetapi Presiden tetap secara individual (tidak secara kolektif bersama-sama dengan pembantu-pembantunya) bertanggungjawab kepada majelsis permusyawaratan perwakilan rakyat itu.

Selanjutnya, dalam menjalankan sehari-hari haluan negara (menurut garis-garis besaryang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat) Presiden harus bekerja bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat, yang dilakuan pula dengan permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan, tidak dengan mengutamakan perdebatan dan penyiasatan yang dapat mengakibatkan pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat atau penyerahan kembali mandat seluruh Kabinet, hal-hal mana tidak dimungkinkan menurut Undang-undang Dasar 1945;

6. Oposisi dalam arti melahirkan pendapat yang sehat dan yang membangun diharuskan dalam alam demokrasi terpimpin; yang penting ialah cara bermusyawarah dalam permusyawaratan perwakilan yang harus dipimpin dengan hikmah kebijaksanaan;

7. Demokrasi terpimpin adalah alat, bukan tujuan;

8. Tujuan melaksanakan demokrasi terpimpin ialah mencapai suatu masyarakat yang adil dan makmur, yang penuh dengan kebahagiaan material dan spiritual, sesuai dengan cita-cia Proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Aguatus 1945;

9. Sebagai alat, maka demokrasi terpimpin mengenal juga kebebasan berpikir dan berbicara, tetapi dalam batas-batas tertentu, yakni batas keselamatan Negara, batas kepentingan rakyat banyak, batas kepribadian bangsa, batas kesusilaan dan batas pertanggunganjawab kepada Tuhan;

10. Masyarakat adil dan makmur tidak bisa lain daripada suatu masyarakat teratur dan terpimpin, yang terikat pada batas-batas tuntutan keadilan dan kemakmuran, dan yang mengenal ekonomi terpimpin; dalam melaksanakan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 dalam rangka ekonomi terpimpin masih tersedia sektor-sektor perekonomian bagi usaha partikelir;

11. Untuk menyelenggarakan masyarakat adil dan makmur diperlukan suatu pola, yang disiapkan oleh Dewan Perancang Nasional yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 80 Tahun 1958, dan untuk menyelenggarakan pola tersebut harus dipergunakan demokrasi terpimpin, sehingga dengan demikian demokrasi terpimpin pada hakikatnya adalah demokrasi penyelenggaraan atau demokrasi karya (werk-democatie);

12. Konsekuensi dari pelaksanaan prinsip demokrasi terpimpin ialah :

a. penertiban dan pengaturan menurut wajarnya kehidupan kepartaian sebagai alat perjuangan dan pelaksanaan cita-cita bangsa Indonesia dalam suatu Undang-undang Kepartaian, yang ditujukan terutama kepada keselamatan Negara dan Rakyat Indonesia, sebagaimana diputuskan oleh Musyawarah Nasional pada bulan September 1957; dengan jalan yang demikian itu dapat dicegah pula adanya sistem multipartai, yang pada hakikatnya mempunya pengaruh tidak baik terhadap stabiliteit politik di Negara kita;

b. menyalurkan golongan-golongan fungsional, yaitu kekuatan-kekuatan potensi nasional dalam masyarakat kita, yang tumbuh dan bergerak secara dinamis, secara efektif dalam perwakilan guna kelancaran roda pemerintahan dan stabiliteit politik;

c. keharusan adanya sistem yang lebih menjamin kontinuiteit dari Pemerintah yang sanggup bekerja melaksanakan programnya, yang sebagian besar dimuat dalam Pola Pembangunan Semesta.

Saudara-saudara sekalian, 

Menurut hemat saya definisi Pemerintah mengenai Demokrasi Terpimpin ini tidak perlu diperpanjang. Ia sudah terang. Ia sudah jelas.

Definisi itu menjadi lebih jelas pula, jika ditinjau dalam rangka uraian saya yang terdahulu.

Karena itu saya hendak mengalihkan pembicaraan kepada pokok pikiran yang keempat :

UNDANG-UNDANG DASAR 1945 MENJAMIN PEMERINTAHAN YANG STABIL SELAMA LIMA TAHUN (Pasal 7) – LEBIH DARI UNDANG-UNDANG DASAR SEMENTARA YANG SEKARANG – OLEH KARENA KEKUASAAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DIBATASI (TIDAK DAPAT MENJATUHKAN PEMERINTAH I.C. PRESIDEN) BERHUBUNG KEKUASAAN TERTINGGI (YAITU KEDAULATAN RAKYAT) ADA DI TANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT. 

PARALEL DENGAN DEMOKRASI TERPIMPIN MAKA KEBIJAKSANAAN EKONOMI TERPIMPIN DIDASARKAN PADA UUD 1945. 

Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 berbunyi sebagai berikut :

Ayat (1) : Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekekuargaan.

Ayat (2) : Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.

Ayat (3) : Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat.

Lebih dulu perlu diketahui bahwa Maklumat Politik Pemerintah Republik Indonesia tertanggal 1 November 1945, antara lain mengatakan bahwa ‘segala milik bangsa asing, selain daripada yang diperlukan oleh Negara kita untuk diusahakan oleh Negara sendiri, dikembalikan kepada yang berhak, serta yang diambil oleh Negara akan dibayar kerugiannya dengan seadil-adilnya.’

Adapun mengenai milik orang asing lainnya (yaitu non-Belanda), maka kebijaksanaan Pemerintah harus dilaksanakan dalam rangka yang luas (dengan) mengingat soal-soal politik, ekonomi dan sebagainya. Tentang ekonomi terpimpin berdasarkan Pasal 33 : 

Perumusan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 itu telah dioper dalam keseluruhannya pada waktu menyusun Pasal 38 Undang-undang Sementara Tahun 1950, yang berlaku sampai sekarang.

Tetapi kita harus mengakui secara jantan, bahwa dari segi ketentuan dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 atau Pasal 38 Undang-undang Dasar Sementara itu sampai sekarang belum banyak direalisir.

Baru pada akhir tahun 1957 Pemerintah mulai mengambil tindakan-tindakan terhadap perusahaan-perusahaan yang vital, seuai dengan ketentuan-ketentuan dalam kedua pasal tersebut.

Selanjutnya Pemerintah berhasil menyelesaikan tiga Rancangan Undang-undang, yaitu tentang Agraria, tentang Pertambangan dan tentang Minyak.

Dan alhamdulillah Pemerintah telah mulai pula mengambil tindakan-tindakan pokok, diantaranya ialah mengenai pengusahaan tambang minyak Sumatra Utara, yang dipercayakan kepada Perusahaan Minyak Nasional atau Permina, dan mengenai pengawasan produksi serta distribusi minyak di dalam negeri, yang diserahkan kepada Badan Penyalur dan Pengawas Pengusahaan Minyak Bumi.

Mengapa Pemerintah belum banyak merealisir ketentuan-ketentuan dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945, atau Pasal 38 Undang-undang Dasar Sementara 1950 itu ?

Karena – seperti kukatakan dalam pidato saya dalam upacara pelantikan Konstituante pada tanggal 10 November 1956 – kita mempraktikkan di negeri kita prinsip demokrasi liberal, yang meliputi di dalamnya prinsip ekonomi liberal, yang berintikan paham-paham free enterprise dan equal opportunity for everybody – kebebasan bertindak dan kesempatan yang sama bagi semua orang.

Kini akibat-akibat dan ekses-ekses dari pelaksanaan prinsip ekonomi liberal di Negara dan Masyarakat Indonesia – Indonesia, yang jauh berbeda dengan Eropa dalam keadaan, dalam sifat, dalam tabiat, yah, dalam rupa-rupa lainnya.

Keadaan ekonomi Negara merosot, keadaan keuangan Negara merosot, keadaan sosial Masyarakat merosot – di semua lapangan kian merosot, dan ... merosot terus menerus.

Maka (saya) menyatakan untuk bertindak menghentikan kemerosotan integral itu, menyetop afglijdingsproces dalam Negara kita, menyetop pauperiseringsproces dalam Masyarakat kita itu yaitu dengan kembali ke UUD 1945 serta (mengajak) : 

• Membuang prinsip demokrasi liberal dan ekonomi liberal;

• Memakai prinsip demokrasi terpimpin dan ekonomi termpimpin;

• Segera menyetujui prinsip demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin itu di meja musyawarah ini;

• (Kemudian) segera melaksanakan prinsip demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin itu di meja karya dan medan karya yang sudah menanti !

Dewan Perancang Nasional, yang harus dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 80 Tahun 1958 mulai bersidang, dan mulai menyusun blue print pembangunan semesta, pola pembangunan semesta.

Pola Pembangunan Semesta yang berpedoman pada Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945, untuk kepentingan dan keselamatan Negara dan Masyarakat Indonesia. Upaya segera dilaksanakan untuk memenuhi harapan Rakyat – untuk memenuhi amanat penderitan Rakyat ! Untuk memenuhi Dharma Revolusi.

Jagalah, jangan sampai Negara dan Rakyat menunggu-nunggu terlalu lama, sehingga Rakyat nanti terpaksa bertindak sendiri, sebagaimana kita saksikan pada permulaan Revolusi Nasional kita.

BAB I UNDANG-UNDANG DASAR 1945 INI DIPERTAHANKAN SEBAGAI KESELURUHAN

Dalam uraian saya yang terdahulu sudah saya kemukakan, bahwa Undang-undang Dasar 1945 itu, di samping perlunya dipakai lagi sebagai Konstitusi kita, kita pandang juga sebagai dokumen historis.

Jika kita memandangnya sebagai dokumen historis maka kita harus mempertahankan Undang-undang Dasar 1945 itu dalam keseluruhannnya, yaitu dengan lengkap Pembukaannya, lengkap 37 Pasalnya, lengkap Aturan-aturan Peralihannya, dan lengkap Aturan Tambahannya. 

Sebab kalau kita merubah, menambah, atau menyempurnakan satu perkataan saja pun daripadanya, maka lenyaplah sifat keasliannya atau kesejarahannya, lenyap orisinalnya atau hsitorisnya dan ia lantas menjelma menjadi misalnya Undang-undang Dasar 1959.

Benar beberapa ketentuan dalam Undang-undang Dasar 1945 tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang, di antaranya dalam Aturan-aturan Peralihan dan Aturan-aturan Tambahan yang misalnya memuat perkataan-perkataan seperti ‘peperangan Asia Timur Raya,’ ‘Panitia Persiapan Kemerdekaan,’ atau ‘Komite Nasional,’ – benar demikian, tetapi jika kita umpamanya menyetujui diadakannya penyesuaian dengan keadaan sekarang daripada ketentuan-ketentuan dalam Aturan-aturan Peralihan dan Aturan-aturan Tambahan itu, maka kita secara konsekuen harus juga menyetujui diadakannya perubahan, penambahan atau penyempurnaan terhadap pasal-pasal itu.

Dengan demikian maka seperti kukatakan tadi, pembicaraan mengenai ajakan kembali ke Undang-undang Dasar 1945 itu akan berlarut-larut dan memakan waktu, tenaga dan pikiran yang banyak dan berharga.

Berhubung dengan itu maka saya menganjurkan kepada Konstituante ini :

Terimalah Undang-undang Dasar 1945 itu dalam keseluruhannya, tangguhkanlah usaha-usaha untuk menyempurnakannya.

BAB II TENTANG PROSEDUR KEMBALI KE UNDANG-UNDANG DASAR 1945 

Pertama :

SETELAH TERDAPAT KATA SEPAKAT ANTARA PRESIDEN DAN DEWAN MENTERI, MAKA PEMERINTAH MINTA SUPAYA DIADAKAN SIDANG PLENO KONSTITUANTE.

Kedua :

ATAS NAMA PEMERINTAH DISAMPAIKAN OLEH PRESIDEN BERDASARKAN PASAL 134 UNDANG-UNDANG DASAR SEMENTARA KEPADA KONSTITUANTE, YANG BERISI ANJURAN SUPAYA UNDANG-UNDANG DASAR 1945 DITETAPKAN.

Pemerintah berpendapat, dan kita semua tentu menginsyafi, bahwa untuk melaksanakan ide ‘kembali ke Undang-undang Dasar 1945’ harus ditempuhlah prosedur yang konstitusional dan legal.

Prosedur yang konstitusional dan legal itu didasarkan atas Pasal 134 Undang-undang Dasar Sementara yang berlaku sekarang, yang menentukan bahwa ‘Konstituante bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-udang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-undang Dasar Sementara ini.’

Berhubung dengan itu maka anjuran untuk kembali ke Undang-undang Dasar 1945 ini mengandung harapan agar Konstituante bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-undang Dasar 1945 itu sebagai Undang-undang Dasar Republik Indonesia.

Ketiga :

JIKA ANJURAN PRESIDEN ITU DITERIMA OLEH KONSTITUANTE, MAKA PEMERINTAH ATAS DASAR PASAL 137 UNDANG-UNDANG DASAR SEMENTARA ‘MENGUMUMKAN UNDANG-UNDANG DASAR ITU DENGAN KELUHURAN.’ PENGUMUMAN DENGAN KELUHURAN ITU DILAKUKAN DENGAN SUATU PIAGAM, YANG DITANDATANGANI DALAM SUATU SIDANG PLENO KONSTITUANTE DI BANDUNG OLEH PRESIDEN, PARA MENTERI DAN PARA ANGGOTA KONSTITUANTE.

Piagam Bandung itu di antaranya memuat ketentuan-ketentuan :

A. Tentang diakuinya Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 sebagai dokumen historis;

B. Bahwa segala hasil Konstituante telah tercapai diserahkan kepada Pemerintah;

C. Bahwa Pemerintah segera membentuk suatu Panitia Negara untuk meninjau segala peraturan-peraturan hukum yang berlaku sampai sekarang dan badan-badan kenegaraan yang ada sampai sekarang, guna disesuaikan dengan Undang-undang Dasar 1945;

D. Tentang berlakunya Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 bagi segenap bangsa tumpah darah Indonesia sejak penandatanganan Piagam Bandung.

Pemerintah mengharapkan, agar anjuran untuk kembali ke Undang-undang Dasar 1945 itu dapat diterima baik oleh Konstituante dalam waktu yang tidak lama.

Dengan sendirinya Pemerintah, mulai hari ini bersiap sedia untuk memberikan penjelasan-penjelasan lebih lanjut dan untuk bertukar pikiran dengan Konstituante, apabila dipandang perlu.

Jika Konstituante akhirnya menyetujui penetapan Undang-undang Dasar 1945 itu sebagai Undang-undang Dasar Republik Indonesia, maka berdasarkan Pasal 137 Undang-undang Dasar Sementara hal itu harus diumuman oleh Pemerintah dengan keluhuran.

Pengumuman dengan keluhuran itu dilakukan dengan penandatanganan sebuah ‘Piagam Bandung’ oleh Presiden, para Menteri dan para Anggota Konstituante, dalam suatu rapat pleno istimewa Konstituante, yang diselenggarakan dengan upacara kenegaraan dan kebesaran.

Piagam Bandung memuat pertama-tama suatu clausule tentang pengakuan adanya Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945, yang memelopori dan mempengaruhi Undang-undang Dasar Proklamasi 17 Agustus 1945.

Kedua, Piagam Bandung memuat ketetuan bahwa segala hasil yang dicapai sampai penandatanganan piagam tersebut, baik oleh sidang pleno Konstituante maupun oleh Panitia Persiapan Konstitusi diserahkan ke pada Pemerintah.

Pemerintah berpendapat - dan pendapat itu saya sokong sepenuhnya - bahwa ketentuan dalam Piagam Bandung mengenai hasil-hasil Konstituante itu adalah sebagaimana mestinya dan setepat-tepatnya, untuk menghargai pekerjaan yang telah dilakukan oleh Konstituante selama ini.

Hasil-hasil sidang pleno Konstituante maupun hasil-hasil Panitia Persiapan Konstitusi itu, akan merupakan bahan yang berharga untuk usaha penyempurnaan Undang-undang Dasar 1945 yang akan dilakukan di hari-hari yang akan datang, atau di mana perlu dan dimungkinkan untuk ditetapkan sebagai undang-undang organik.

Ketiga, Piagam Bandung memuat anjuran kepada Pemerintah yang akan dibentuk berdasarkan Undang-undang Dasar 1945, untuk membentuk suatu Panitia Negara guna meninjau segala peraturan hukum yang berlaku sampai sekarang dan badan-badan kenegaraan yang ada sampai sekarang serta menyesuaikannya dengan Undang-undang Dasar 1945.

Dengan ketentuan yang demikian itu dalam Piagam Bandung dapatlah kiranya sekedar ditampung sesuai dengan keadaan pada dewasa ini beberapa ketentuan dalam Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan dari Undang-undang Dasar 1945, begitu pula beberapa hal yang termuat dalam ketentuan-ketentuan Penutup dan Undang-undang Sementara 1950.

Untuk jelas dan konkritnya, bersama ini saya sampaikan pula kepada Konstituante yang terhormat suatu Rancangan Perumusan daripada Piagam Bandung itu.

Saudara-saudara sekalian !

Apa yang harus dikerjakan sesudah Piagam Bandung ditandatangani, dalam pokok pikiran yang :

Keempat :

DENGAN DITETAPKANNYA UNDANG-UNDANG DASAR 1945 SEBAGAI UNDANG-UNDANG DASAR, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMEGANG KEKUASAAN PEMERINTAHAN MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR TERSEBUT, SEHINGGA KABINET KARYA HARUS MENGEMBALIKAN PORTOFOLIONYA KEPADA PRESIDEN YANG MENGANGKAT MENTERI-MENTERI MENURUT PASAL 17 UNDANG-UNDANG DASAR 1945.

Sesudah Piagam Bandung ditandatangani, dan Konstitusi Proklamasi diumumkan dengan keluhuran, dan berlaku lagi dengan keagungannya semula, maka berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 Undang-undang Dasar 1945 Presiden memegang kekuasaan pemerintahan atau kekuasaan eksekutif.

Maka berdasarkan ketentuan dalam Pasal 17 Undang-undang Dasar 1945 Presiden harus mengangkat Menteri-menteri untuk membantu Kepala Negara dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintah atau eksekutif itu.

Berhubung dengan itu maka dengan sendirinya Kabinet Karya, yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Dasar Sementara 1950, akan menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden di Jakarta segera setelah Piagam Bandung ditandantangani nanti.

Jelas hal ini tidak berarti – sebagaimana dikira oleh sementara pihak – bahwa Kabinet Karya sekarang sudah dalam keadaan demisioner atau setengah demisioner.

Kabinet Karya masih tetap memegang kekuasaan pemerintah sekarang berdasarkan Undang-undang Dasar Sementara 1950 yang masih berlaku, masih tetap memegang kekuasaan membentuk Undang-undang bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat, masih tetap bekerja seperti biasa, dan masih tetap bertanggungjawab penuh untuk pekerjaan itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Di antara pekerjaan-pekerjaan yang penting yang dilakukan oleh Kabinet Karya itu sekarang, ialah yang :

Kelima :

KABINET KARYA MENYIAPKAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG KEPARTAIAN DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG UNTUK MENYEMPURNAKAN UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM 1953, UNTUK DISAMPAIKAN KEPADA DPR SEKARANG, YANG BERJALAN TERUS SAMPAI TERBENTUKNYA DPR BARU SEBAGAI HASIL PEMILIHAN UMUM.

Sebagaimana telah diutarakan terlebih dahulu, maka Pemerintah beberapa waktu yang lalu telah membentuk dua Panitia Ad Hoc Kabinet untuk merancangkan dua rancangan Undang-undang tersebut.

Pemerintah berharap dapat menyampaikan Rancangan Undang-undang Kepartaian itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sekarang sebelum pemandangan Piagam Bandung berlangsung nanti.

Adapun Rancangan Undang-undang Penyempurnaan Undang-undang No. 7 Tahun 1953 (Undang-undang Pemilihan Umum) akan diajukan pada waktu sedemikian rupa, sehingga tidak merubah jangka waktu pemilihan umum, yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan, baik dalam Pasal 19 Undang-undang Dasar 1945, maupun dalam Pasal 57 Undang-undang Dasar Sementara 1950, maka yang akan menerima kedua Rancangan Undang-undang tersebut adalah Dewan Perwakilan Rakyat sekarang.

Menurut ketentuan dalam Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 maka semenjak penandatanganan Piagam Bandung nanti Dewan Perwakilan Rakyat sekarang masih langsung berlaku selama belum diadakan yang menurut Undang-undang Dasar ini.

Selanjutnya dikemukakan dalam pokok pikiran yang :

Keenam : 

BARU SESUDAH PEMILIHAN UMUM SELESAI, MAKA KEPADA DPR BARU DIAJUKAN RANCANGAN-RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG : 

A. PEMBENTUKAN DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG, DENGAN BERANGGOTA JUGA WAKIL-WAKIL GOLONGAN FUNGSIONAL;

B. PEMBENTUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, YANG TERDIRI DARI ATAS ANGGOTA-ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DITAMBAH DENGAN UTUSAN-UTUSAN GOLONGAN DARI DAERAH-DAERAH DAN GOLONGAN-GOLONGAN (YAITU GOLONGAN FUNGSIONAL).

Pemilihan umum yang akan datang akan diselenggarakan berdasarkan Undang-undang Penyempurnaan Undang-undang No. 7 Tahun 1953 (Undang-undang Pemilihan Umum), yang saya sebutkan tadi dan yang rancangannya sekarang sedang dipersiapkan oleh Kabinet Karya.

Kepada Dewan Perwakilan Rakyat yang baru yang akan terbentuk berdasarkan pemilihan umum yang akan datang itulah Kabinet berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 akan disampaikan Rancangan Undang-undang tentang susunan Dewan Pertimbangan Agung dan Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang masing-masing didasarkan atas Pasal 16 dan Pasal 2 Undang-undang Dasar 1945.

Salah satu pekerjaan Majelis Permusyawaratan Rakyat itu, jika sudah terbentuk, ialah yang dikemukakan dalam pokok pikiran yang :

Ketujuh :

SELANJUTNYA DILAKUKAN PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN MENURUT PASAL 6 UNDANG-UNDANG DASAR 1945.

Pemerintah berpendapat, bahwa berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945, saya sekarang masih harus tetap menjabat Presiden Republik Indonesia.

Baru sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat terbentuk dengan Undang-undang, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 Undang-undang Dasar 1945, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat itu dapat melakukan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, seperti ditetakan dalam Pasal 6 Undang-undang Dasar 1945.

Demikian pokok-pokok pikiran mengenai prosedur ‘kembali ke Undang-undang Dasar 1945.’

Saudara-saudara !

Kembali kepada Undang-undang Dasar 1945 tidak berarti kesulitan-kesulitan kita akan lenyap di dalam tempo satu malam. Tidak ada Revolusi yang kesulitan-kesulitannya lenyap dalam satu malam. Tetapi kembali kepada Undang-undang Dasar 1945 berarti bahwa kita meninggalkan sikap dualistis yang berlaku sampai sekarang ini, dan dus meninggalkan sifat ragu-ragu yang menghambat perjalanan kita sampai sekarang ini. Kembali kepada Undang-undang Dasar 1945 berarti bahwa problematik-problematik kita akan menjadi lebih terang dan lebih jelas, sehingga penyelesaiannya pun akan lebih mudah dapat tercapai.l

Kesulitan-kesulitan kita tidak akan lenyap dalam tempo satu malam. Kesulitan-kesulitan kita hanya akan dapat kita atasi dengan keuletan seperti keuletannya orang yang mendaki gunung. Tetapi berbahagialah sesuatu bangsa, yang berani menghadapi kenyataan yang demikian ini ! Berani menerima bahawa kesulitan-kesulitannya tidak akan lenyap dalam tempo satu malam, dan berani pula menyingsingkan lengan bajunya untuk memecahkan kesulitan-kesulitan itu dengan segenap tenaganya sendiri dan segenap kecerdasannya sendiri.

Bangsa yang demikian itu – bangsa yang berani menghadapi kesulitan-kesulitan, dan mampu memecahkan kesulitan-kesulitan – bangsa yang demikian itu akan menjadi bangsa yang gemblengan. Bangsa yang besar, Bangsa yang Hanyakrawarti Hambaudenda.

Bangsa yang demikian itulah hendaknya Bangsa Indonesia !

Moga-moga Tuhan memberkatinya.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Muhammad Yamin

B.M. Diah

PSII di Zaman Jepang