Perdebatan Dalam Konstituante
Setelah Presiden Sukarno menyampaikan amanat di depan Sidang Pleno Konstituante yang diberi judul Res Publica ! Sekali Lagi Res Publica,
Sidang pleno Konstituante (badan pembuat undang-undang dasar) yang dihadiri 405 anggota pada tanggal 22 April 1959 mengambil keputusan untuk membahas usulan pemerintah untuk kembali ke UUD 1945.
Pada tanggal 28 April 1959 tidak kurang dari 67 anggota telah mendaftarkan diri untuk berpidato dalam pemandangan umum dan akan memakan waktu 56 jam 15 menit. Fraksi Masyumi mengajukan 13 orang pembicara. PNI mengajukan dua orang pembicara. PKI mengajukan tiga orang pembicara, NU empat pembicara, Murba empat pembicara, Partai Katolik tiga pembicara. Ada pula Raja Keprabonan dari Fraksi Perseorangan.
Rapat Pleno Pemandangan Umum Fraksi-fraksi dalam Konstituante
Pada 29 April 1959 malam Majelis Konstituante memulai rapat plenonya yang pertama. Dari kalangan pemerintah hadir Menteri Agraria Mr Sunarjo dan Menteri Negara Mr. Moh. Yamin.
Achmad Sukarmadidjaja dari IP-KI menyatakan fraksinya mendukung penuh atas anjuran dan keputusan pemerintah untuk kembali ke UUD 1945.
S.M. Abidin dari Partai Buruh menganggap kembali ke UUD 1945 sebagai kemunduran besar. UUD Sementara dianggap jauh lebih sempurna dari UUD 1945.
Nyoto dari PKI menyatakan usulan pemerintah adalah realistis. UUD 1945 adalah dokumen historis atas dasar mana revolusi dimulai dan yang dapat dipakai untuk menyelesaikan revolusi pada tingkatan sekarang.
K.H.M. Sjukri al Ghazali dari NU tidak dapat menerima pikiran yang menyatakan Konstituante telah gagal dan menyangsikan bahwa dengan kembali kke UUD 1945 kekacauan akan hilang. Ditambahkannya, semua golongan Islam menaruh harapan pada Piagam Jakartadan amandemen atas UUD 1945.
A. Bastari dari P3-RI menyatakan sokongan sepenuhnya atas anjuran pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945.
Ido Garnida dari PRIM mengatakan sudah sejak semula ingin menggunakan UUD 1945 dan karenanya menyokong anjuran dan keputusan pemerintah untuk kembali ke UUD 1945.
Mr. Wongsonegoro dari PIR-W menyatakan bahwa tanggungjawab Konstituante adalah begitu berat jika menolak usul pemerintah untuk kembali ke UUD 1945. Karenanya tidak ada pilihan lain kecuali menerima.
Rapat Pleno yang diadakan pada tanggal 4 Mei 1959 malam dipimpin oleh Aminah Hidayat. Dari pemerintah hadir menteri Kehakiman dan Menteri Negara Moh. Yamin. Pengunjung nampak memenuhi gedung dan luar gedung Konstituante (sekarang Gedung Merdeka).
Prawoto Mangkusasmito dari Masyumi mengemukakan pendirian tidak sependapat dengan pemerintah dan mengemukakan sebaiknya Konstituante bekerja terus sampai ancer-ancer waktu Maret 1960. Prawoto mengaharapkan adanya Kabinet Presidensial Sukarno-Hatta dan menghendaki negara federasi dengan dua kamar.
Saifuddin Zuhri dari NU berpendirian supaya Piagam Jakarta dimasukkan menjadi salah satu bab atau pasal dalam UUD 1945.
Asmara Hadi dari Partindo menerima UUD 1945 dan menyatakan UUD 1945 adalah jembatan siratalmustaqim antara kuburan busuk demokrasi liberal dengan gedung demokrasi terpimpin yang di bawahnya penuh pergolakan.
Mr. A. Astrawinata dari Republik Proklamasi menyatakan bahwa fraksinya menyetujui kembali ke UUD 1945.
Rapat Pleno Konstituante yang diadakan pada tanggal 5 Mei 1959 malam masih dipimpin oleh Aminah Hidayat, dihadiri 329 anggota. Dari pemerintah hadir Menteri Maengkom dan Menteri Negara Moh. Yamin.
Da Costa dari Partai Katolik dalam pembicaraannya mengambil pendirian bahwa anjuran kembali ke UUD 1945 dirasakan sebagai tekanan karena tidak mengantarkan tujuan sejarah Konstituante dan menjadikan Konstituante sebagai boneka saja.
Sarino dari PNI menyatakan menerima UUD 1945 secara keseluruhannya dan meletakkan harapan pada pelaksanaannya terutama pada pilihan personalia yang diserahi pelaksanaan tersebut.
Karoegoen dari Irian Barat dapat menerima ide Presiden, menyetujui Kabinet Presidensial dengan syarat adanya Senat untuk lebih memberi kesempatan kepada daerah-daerah.
Madomiharna dari PRD menerima seluruh UUD 1945 dengan ketentuan Konstituante terus menyelesaikan pokok-pokok yang sudah disetujui 2/3 suara serta keputusan-keputusan itu dijadikan bahan DPR.
Rapat pleno dari pemandangan umum tentang kembali ke UUD 1945 tanggal 11 Mei 1959 dihadiri oleh Perdana Menteri Djuanda dan Waperdam III Dr. J. Leimena. Rapat dipimpin oleh Dr. Sakirman.
Pada kesempatan itu Wikana dari PKI menerima kembali ke UUD 1945. Mengadakan amandemen UUD 1945 akan mengakibatkan berlarut-larutnya pembicaraan. Pelaksanaan UUD 1945 akan diperlancar jika disertakan risalah rapat BPUPK dan PPKI. PKI bukan saja menerima UUD 1945 sebagai UUD Negara Republik Indonesia tapi juga menerima Piagam Bandung sebagai rumusan prosedur konstitusional, suatu konstitutionelle daad, perbuatan menurut hukum, dan mengusulkan perubahan kecil dalam rumusannya.
Mr. J.C. Simorangkir dari Parkindo tidak keberatan menerima kembali ke UUD 1945. Piagam Jakarta akan merupakan diskriminasi terhadap agama-agama di Indonesia. Piagam Jakarta tidak bisa dijadikan sebagai penafsiran atas sila pertama dari Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan B. St. Indra dari Partai Buruh tetap mengajukan amandemen.
Wasini Sabir dari Perti menerima kembali ke UUD 1945 tetapi minta Piagam Jakara dijadikan mukadimahnya dan dipakai dalam pasal-pasal UUD untuk menyempurnakannya.
Hamka dari Masyumi menyatakan bahwa kembali ke UUD 1945 itu bukanlah seperti yang dikatakan Asmara Hadi sebagai jembatan siratal mustaqim tetapi jalan ke neraka. Menurut Hamka, Demokrasi Terpimpin hakikatnya demokrasi fungsional, demokrasi totaliter, sedangkan Front Nasional yang akan dibentuk oleh Presiden hakikatnya adalah sebagai staats partij, partai negara.
Sudijono Djojoprajitno dari Murba membacakan pidatonya yang terdiri lebih dari 30 halaman ketikan lengkap disertai lampiran-lampirannya. Pembicara mengemukakan pendapatnya mengenai empat soal : (1) sidang pleno konstituante sebagai sidang luar biasa; (2) UUD 1945; (3) prosedur kembali ke UUD 1945; (4) Piagam Jakarta.
Sudijono menentang teori yang memuji UUDS 1950. Dia membuat perbandingan antara UUD 1945, UUD 1949 dan UUD 1950 yang disebutnya sebagai Republik Pertama, Republik Kedua dan Republik Ketiga. Selanjutnya dia mengatakan bahwa Mukadiman UUD 1945 adalah realisasi Proklamasi 1945 yang bersumber pada perjanjian Rengasdengklok dan bukan bersumber dari Piagam Jakarta. Karena itu selain mengakui Piagam Jakarta harus mengakui Piagam Rengasdengklok yang memelopori dan mempengaruhi Proklamasi 17 Agustus 1945. Lebih lanjut Sudijono menyatakan agar ada perubahan pada Piagam Jakarta yang diusulkan pemerintah. Selanjutnya Murba berpendapat bahwa Sukarno masih harus menjadi Presiden karena Sukarno merupakan pribadi yang melaksanakan segala sesuatu menurut jiwa Proklamasi 17 Agustus 1945.
Soekarno Djojonegoro dari P3RI menyatakan bahwa anjuran pemerintah merupakan hal yang positif dan konstruktif dan karena itu ia dapat menerima anjuran pemerintah seluruhnya.
Ny. Sunaryo Mangunpuspito dari Masyumi justru menganggap sukar sekali untuk dapat menerima untuk kembali kepada UUD 1945. Dia menghendaki supaya Konstituante terus bekerja menyelesaikan tugasnya membuat UUD yang lengkap dan sempurna dan UUD 1945 dipakai sebagai tambahan untuk hasil karya Konstituante.
Djadjuli Kartawinata dari PSII dalam pemandangannya mengemukakan bahwa ia merasa berat untuk menerima untuk kembali UUD 1945 karena UUD 1945 tidak lengkap, misalnya yang terkait hak-hak asasi yang tidak sesuai lagi dengan keadaan zaman. Karena itu dia mengharapkan Konstituante terus bekerja sampai waktu yang ditentukan dan jangan ada tekanan maupun paksaan.
Pada rapat pleno Konstituante tanggal 12 Mei 1959 yang dipimpin oleh Faturrachman, masih ada 12 pembicara dari 65 pembicara yang mendaftarkan diri. Dari pemerintah hadir pula Menteri Penerangan Soedibjo. PM Djuanda dan Menteri Negara Moh. Yamin selalu menaruh perhatian besar terhadap setiap pembicara.
Siauw Giok Tjhan dari Baperki menjelaskan pendirian fraksinya bahwa atas pertimbangan yang cukup kuat tidak ada alasan untuk tidak mengesahkan anjuran pemerintah kembali ke UUD 1945. Dikatakannya bahwa menerima UUD 1945 justru untuk tetap mempercepat proses pembangunan bangsa Indonesa yang homogen dalam masyarakat adil dan makmur bagi setiap warga negara. Sejarah rumusan Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 menunjukkan bahwa UUD 1945 berjiwa anti rasialisme dan bersemangat menentang diskriminasi rasial. Adapun Pasal 6 UUD 1945, “Presiden adalah orang Indonesia asli,” lahir karena ketika itu masih ada kemungkinan kaum militer Jepang akan mempergunakan senjata untuk memaksa kita menerima seseorang menjadi Presiden. Lebih lanjut Siauw Giok Tjan menyatakan kepercayaan penuh kepada Presiden Sukarno yang akan melaksanakan UUD 1945 nanti. Menurutnya Dwitunggal Sukarno-Hatta tidak mungkin terlaksana karena perbedaan pandangan di antara keduanya, Sukarno berpendapat bahwa revolusi nasional belum selesai dan Hatta menyatakan bahwa revolusi nasional sudah selesai.
M. Sapija dari Republik Proklamasi mengemukakan pendiriannya bahwa bukan kepentingan revolusi nasional yang harus disesuaikan dengan pemikiran yuridis-formal, tetapi sebaliknya pemikiran yuridis formal yang harus disesuaikan dengan pemikiran revolusi nasional. Kembali ke UUD 1945 berarti pelaksanaan UUD 1945 dengan tenaga-tenaga pelaksana dan golongan-golongan fungsional yang tepat dan pelaksanaan kemakmuran rakyat yang merata di seluruh tanah air dan pelaksanaan kembalinya Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia dalam tempo sesingkat-singkatnya. Dampak KMB adalah membolehkan orang-orang kontra-revolusi menduduki jabatan-jabatan penting yang ternyata telah menghambat kepentingan-kepentingan revolusi.
M. Sapija sangat mencela orang-orang yang mengejek demonstrasi dan pawai-pawai rakyat mendukung kembali UUD 1945. “Apakah si pengejek hendak mengatakan juga bahwa Revolusi Agustus 1945 yang didukung rakyat itu adalah revolusi-revolusian... dan massa aksi yang mengadakan demonstrasi dan pawai adalah demonstrasi-demonstrasian ?” Pada akhirnya M. Sapija menyatakan pendirian fraksinya yang menyatakan bahwa kembali ke UUD 1945 adalah suatu tindakan revolusioner dan harus disambut dengan pemikiran dan tindakan revolusioner pula.
Maruto Nitimihardjo dari Parta Murba menyatakan bahwa tindakan pemerintah dengan menganjurkan Konstituante mengesahkan UUD 1956 sebagai UUD 1945 sebagai UUD tetap Republik Indonesia sebagai tindakan Konstitusional dan apabila anjuran ini diterima oleh Konstituante melakukan tindakan legal 100%. Ia tidak sependapat dengan orang yang mengatakan bahwa UUD 1945 rusak dan sudah ketinggalan zaman. Kembali ke UUD 1945 menurut pembicara berarti kesanggupan rakyat untuk menolak penjajahan dan terus mempertahankan kemerdekaan. Maruto menyatakan menerima anjuran pemerintah kembali ke UUD 1945 secara keseluruhan. Sukarno-Hatta tidak perlu tetap menjadi Dwitunggal.
I.J. Kasimo dari Partai Katolik menegaskan kembali pendirian fraksinya yang sudah dinyatakan oleh Drs. Mang Reng Say yaitu menerima UUD 1945 secara keseluruhan dan mengakui adanya Piagam Jakarta sebagai dokumen historis.
Alasan Partai Katolik menerima anjuran pemerintah, yaitu dalam hubungan Dasar Negara dan dalam hubungan politis psikologis. Dalam hubungan Dasar Negara dikemukakan, bahwa Partasi Katolik memilih Pancasila sebagai satu-satunya dasar negara untuk Republik Indonesia.
Menurut Kasimo, hanya ada dua alternatif yaitu Konstituante menerima usul pemerintah atau menolaknya. Jika menolak keadaan sekarang akan berlarut-larut yang berarti pula negara dan masyarakat tetap menuju ke jurang kemusnahan. Sedang bila menerima berarti akan timbul kesempatan untuk melaksanakan perubahan-perubahan penting yang akan dapat berlaku menuju ke arah negara dan masyarakat yang sehat.
Sunarjo Umar Sidik dari PRI menerima dengan tegas anjuran mengesahkan UUD 1945 dan meminta perhatian pemerintah agar dalam pelaksanaannya memperhatikan benar-benar kondisi daerah karena menurut pembicara tidak jarang di antara mereka yang berkedudukan jauh dari ibukota terdapat banyak tenaga yang dapat diharapkan bantuannya dalam membina negara dan bangsa.
Sidang Pleno Konstituante pada Senin siang. Tidak diketahui tanggal berapa dan siapa yang memimpin.
Baheramsjah St. Indra dari Partai Buruh menyatakan bahwa fraksinya mungkin nanti akan menerima anjuran pemerintah jika pemerintah telah memberikan penjelasan dan apabila penjelasan atau jawaban itu dapat dibenarkan oleh fraksinya dan apabila usul-usul fraksinya mendapat perhatian, antara lain kembalinya Dwitunggal Sukarno-Hatta,diperkuatnya kabinet dengan tokoh-tokoh proklamasi, Konstituante dinyatakan menjadi MPR Sementara dan dibentuk sebuah Senat.
Prof. Kahar Muzakar dari Partai Masyumi meskipun tidak secara tegas menyatakan menolak anjuran pemerintah, dalam pemandangan umumnya mengatakan bahwa anjuran pemerintah itu tidak wajar dengan alasan bahwa di dalam UUD 1945 tidak terdapat sumber-sumber hukum Islam dan karena itu meminta supaya pemerintah mempertimbangkan lagi usulnya.
Kahar Muzakir menyatakan supaya Konstituante dibiarkan bekerja terus sampai bulan Maret 1960 dan diberi kesempatan untuk menyusun UUD yang berdasarkan Islam. P.M. Djuanda akan berjasa jika Konstituante diberi kesempatan menyelesaikan tugasnya, akan tetapi jika akan memaksakan untuk menerima kembali UUD 1945 maka akan mengakibatkan kekecewaan umat Islam.
Mr. Tadjuddin Noor dari PIR-H berpendapat bahwa Konstituante tidak mempunyai wewenang untuk mengadakan pemandangan umum dan mengambil keputusan tentang anjuran pemerintah karena itu adalah hak/wewenang DPR. Anjuran kembali ke UUD 1945 itu diajukan oleh partai-partai yang mempunyai menteri di dalam kabinet dan jika nanti diterimma oleh Konstituante pemerintah dapat mengesahkannya berdasarkan Pasal 137 Ayat 3 UUDS 1950.
Drs. Go Gien Tjwan dari Fraksi Lima Orang menyatakan bahwa ia menyetujui seluruhnya pernyataan ketua Fraksi Baperki Siauw Giok Tjhan. Usul pemerintah untuk menentukan UUD 1945 sebagai UUD tetap dimasukkan untuk memperteguh kesatuan rakyat Indonesia dan atas pertimbangan ini tidak melihat alasan keberatan terhadap usulan pemerintah.
Ia menyatakan tidak ada adanya perbedaan antara rakyat Indonesia yang bersatu melawan kaum penjajah. Bukti-bukti menunjukkan mereka dari keturunan asing tidak sedikit yang telah memberikan pengorbanan untuk perjuangan kemerdekaan dan bekerja pada pemerintah atau badan resmi pemerintah.
Semua pasal dalam UUD 1945 yang tidak sesuai lagi dengan keadaan zaman akan diubah, ditambah dan disempurnakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan berpedoman pada persamaan hak bagi semua warga negara.
Mr. Yap Thiam Hien juga dari Fraksi Lima Orang menyatakan tidak dapat menerima kembali ke UUD 1945 dan ia menerima UUDS 1950 secara keseluruhannya, supaya terus dijadikan UUD Republik Indonesia. Ia hanya dapat menerima UUD 1945 sebagai bahan berharga untuk menyusun UUD Republik Indonesia. Ia menolak UUD 1945 karena “sebagai dasar hukum negara yang demokratis, naskah UUD 1945 tidak memenuhu syarat-syarat minimum dan dalil-dalil demokrasi terpimpin tidak meyakinkan.”
Ko Kwat Oen dari dari Fraksi Kesatuan dapat menerima anjuran pemerintah seluruhnya karena hal itu adalah untuk mengatasi kesulitan dan mengharapkan agar pelaksanaannya betul-betul berada di tangan pejabat –pejabat yang mempunyai kecakapan. Ia pun menyetujui Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin serta mengusulkan agar Konstituante dijadikan MPR yang pertama.
Asnawi Said dari GPPS mengatakan bahwa Demokrasi Terpimpin sangat cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia dan prinsip Demokrasi Terpimpin hendaknya dimasukkan ke dalam mukadimah UUD 1945 dan di dalam pasal yang mengatur sistem politik dan ekonomi. Ia berharap agar Presiden Sukarno turut aktif dalam percaturan politik dan dapat langsung berhubungan dengan rakyat.
Kembali ke UUD 1945 memberikan ruang bergerak yang lebih luas kepada Presiden Sukarno tetapi janganlah Presiden Sukarno tergelincir ke dalam jurang fasis dan diktator militer. Bung Karno harus ada di tengah-tengah rakyat dan bersedia menerima kritik dan koreksi sehat dari rakyat. Kembali ke UUD 1945 harus berarti membersihkan anasir-anasir korupsi dan melikuidasi modal monopoli asing di Indonesia.
M. Tahir Abubakar dari PSII mengatakan bahwa kembali ke UUD 1945 tanpa adanya hak-hak asasi manusia samalah artinya dengan pencabutan hak-hak pokok dari rakyat. Ia menganjurkan supaya hasil-hasil Konstituante yang sudah sah mendapat perhatian, apabila UUD 1945 diterima.
Dengan menyesal pembicara mengatakan bahwa soal Demokrasi Terpimpim bukanlah wewenang Konstituante untuk membahasnya, melainkan menjadi wewenang DPR.
I.R. Lobao dari Permai menyatakan bahwa anjuran pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 itu bukan hal yang mengejutkan tetapi yang sudah lama dinanti-nantikan. Keyakinan Fraksi Permai terhadap UUD 1945 tidak berdasarkan fanatisme, tetapi keyakinan yang sadar dengan meninjau dari faktor pandangan hidup dari arti kata-kata yang tersirat dalam preamble UUD 1945 itu.
Rapat Pleno Konstituante 13 Mei 1959 merupakan hari terakhir dari pemandangan umum para anggota Konstituante dan sampai pada hari Rabu siang hanya empat orang lagi yang terdaftar akan berbicara.
PM Djuanda berserta Wakil PM Leimena, Menteri Penerangan Sudibjo dan Menteri Negara Moh. Yamin terus menghadiri rapat-rapat terakhir ini. Peserta yang hadir relatif konstan dan sering hanya sekedar memenuhi quorum. Namun demikian, masyarakat yang ingin mendengarkan uraian para anggota konstituante tetap banyak.
Selasa Malam sampai Rabu Siang
Hamara Efefendi dari IPKI menerima kembali ke UUD 1945 dan menitikberatkan harapan akan pelaksanaannya nanti yang akan tergantung dari para pelaksanaannya. Bung Karno diharapkan dapat memilih pelaksana-pelaksana itu dengan tepat. Jangan sampai orang-orang yang telah dianggap bernoda terhadap revolusi duduk dalam pimpinan negara dan kalau mereka masih ada seharusnya disingkirkan. Sedangkan mengenai penyerdehanaan partai-partai diharapkan tidak akan menimbulkan perpecahan.
Sutisna Sendjaja dari Gerpis (Gerakan Pilihan Sunda) berpendirian sejak dulu menginginkan Indonesia ini berbentuk federasi dan tidak peduli jika dirinya dianggap reaksioner. Ia juga mengajukan usul agar pemerintah bersama DPR menyerahkan segala kekuasaannya kepada satu presidium yang dipimpin oleh Presiden Sukarno dengan orang-orang yang berwibawa sebagai anggota-anggotanya. Presidium itu bekerja selama tiga tahun dan setelah itu mengembalikan kekuasaannya kepada Rakyat. Dalam waktu enam bulan Presidium memberikan pertanggungjawabannya kepada Rakyat. Konstituante bekerja terus sampai bulan Maret.
Menurutnya orang-orang yang dianggap berwibawa adalah Presiden Sukarno, Moh. Hatta, Sultan Hamengkubuwana, Kusna Puradiredja, KASAD, KSAL, KSAU dan Kepala Kepolisian Negara.
H. Zainul Arifin dari NU mengatakan bahwa Piagam Jakarta mempunyai sayrat-syarat pokok kaidah dasar negara. Piagam Jakarta bukan hanya dokumen historis saja, tapi menjiwai UUD 1945 dan piagam ini seperti dikatakan oleh Prof. Dr. Notonegoro, mempunyai kedudukan lebih atas daripada UUD 1945, karena ia sudah ada sebelum proklamasi kemerdekaan dan sebelum disusunnya UUD 1945. Piagam Jakartalah yang jadi dasar proklamasi kemerdekaan dan bukan UUD 1945. Piagam Jakarta tidak dapat hanya dipandang sebagai mukadimah dari UUD 1945, tetapi ia merupakan sumber dari segala sumber, juga menjadi sumber abadi dari UUD 1945.
Selain itu Zainul Arifin mengemukakan usulnya mengenai perubahan perumusan Piagam Bandung. Salah satu pokok harus dicantumkan sebaga berikut : “Piagam Jakarta adalah pokok-pokok kaidah asas-asas dasar negara yang menjadi dasar dan jiwa UUD 1945.” Piagam Jakarta tadi jadi landasan dan pedoman bagi pemerintah dalam penyusunan Undang-undang organik bersama-sama DPR. Dengan demikian naka anjuran pemerintah tadi dapat diselesaikan.
H. L. Rumasweuw dari Kesatuan Irian Barat dapat menerima kembali ke UUD 1945 dan menyatakan pentingnya Senat jika UUD 1945 dapat diterima. Ia pun meminta kepada Konstituante supaya anjuran pemerintah itu dapat diterima secara aklamasi.
Sudjatmoko dari PSI menyatakan bahwa fraksinya menyetujui anjuran pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 dengan niat untuk meninggalkan keburukan dan kekhilafan di masa lalu, dengan niat memulihkan kembali bangsa dengan pembangunan ekonomi dan memberi kesempatan untuk keluar dari kesulitan. (Perlu) usaha bersama dari semua golongan dari patriot sejati, yang setia dan berbakti kepada kepentingan Indonesia dan bukan kepada kekuasaan yang berpusat di luar Indonesia.
Dikatakannya bahwa kita sekarang sedang mengalami suatu proses dan usul temporer dari pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 itu tidak berdiri sendiri. Dalam hubungan ini toleransi bukan suatu “deugn” dan bukan suatu “noodzaak” dan yang sangat penting adalah penampungan, penyaluran, penyesuaian konstitusional dan institusional.
Dalam rangka konstitusi negara maka dua kriteria harus terpenuhi yaitu : (1) apakah konstitusi itu memberi kesempatan untuk berlangsungnya proses peralihan dan kemajuan masyarakat; (2) apakah konstitusi memberi kesempatan supaya kita tetap bersatu.
UUD 1945 membuka kesempatan untuk itu, memberi kesempatan untuk regenerasi mobil dan renaissance intelektual, untuk usaha ke jurusan yang baik. Kesempatan itu baru berarti jika ia benar-benar digunakan, dan jika benar-benar kita ikhlas melepaskan “vested interest” dengan mengatasi segala perbedaan perselisihan.
Anwar Sutan Aminudin dari PPTI dalam pemandangan umumnya menyimpulkan pendapatnya bahwa fraksinya bisa menerima anjuran pemerintah dengan catatan bahwa penyempurnaan UUD 1945 itu dilakukan oleh Konstituante. PPTI tidak berkeberatan terbentuknya Kabinet Presidensial dengan Sukarno-Hatta dan diadakannya pemilihan umum untuk Parlemen dan Senat. Sedangkan terkait dengan Piagam Jakarta, piagam tersebut adalah merupakan sumber hukum.
Sahamad Sudjono (Acoma) dari Fraksi Pekerja menyatakan menerima anjuran pemerintah yang merupakan jalan ke luar dari dari kesulitan-kesulitan yang dialami sekarang ini baik oleh Konstituante yang mengalami “keseratan” dalam menjalankan tugasnya maupun oleh masyarakat dan negara pada umumnya. Adapun penyempurnaan UUD 1945 sebaiknya ditangguhkan sampai terbentuknya MPR.
Bicara tentang Piagam Jakarta, Sahamad Sudjono menegaskan bahwa Piagam Jakarta itu tidak mempunyai kekuatan hukum, sesuai pandangan salah seorang penandatangan Piagam Jakarta itu sendiri dalam sebuah bukunya.
Sedangkan mengenai pandangan mengenai kembalinya Hatta sebagai Wakil Presiden, Sahamad Sudjono menyatakan bahwa Hatta bukanlah materi atau pasal atau rumusan konstitusi yang mengharuskan atau menjadi syarat diterimanya anjuran pemerintah untuk kembali UUD 1945. Ia menganjurkan supaya pemujaan terhadap seseorang itu tidak dikemukakan dalam Konstituante tetapi di bidang lain.
Hendrobudi dari Gerakan Banteng RI menyatakan menerima seluruhnya anjuran pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945 seraya menyampaikan pertanyaan, “sanggupkah pemerintah melaksanakan UUD 1946 itu sesuai dengan amanat Presiden ? Sanggupkah pemerintah menghentikan pemberontakan-pemberontakan ? dan apakah anggota Konstituante yang menyeleweng dengan pemberontak masih diakui sebagai anggota Konstituante?”
Rabu Malam
Mr. Djamaludin Dt. Mangkuto dari Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) mengemukakan bahwa usul pemerintah (kembali ke UUD 1945) itu adalah tergesa-gesa, tidak meminta uitspraak kepada Parlemen tentang kebijakannya itu.
Pembicara berpendapat bahwa jika untuk mengatasi kesulitan sekarang ini adalah merupakan satu-satu jalan untuk mengatasi kesulitan, maka Masyumi menyatakan bersedia membicarakannya lebih dalam lagi.
Sukarni Kartodiwirjo dari Murba menegaskan kembali bahwa Murba menerima demokrasi terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945 secara bulat. Piagam Jakarta tidak ada hubungannya dengan UUD 1945. Sukarni setuju dengan pernyataan Drs Ben Mang Reng Saya dari Partai Katolik yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta tidak boleh dan tidak dapat menjadi sumber hukum.
Menurut Sukarni, persoalan kita sekarang ialah mencari jalan ke luar dan bukan persoalan kalah menang. Masyarakata adil dan makmur hanya bisa dibangun bukan dalam alam demokrasi sesuai UUD 1950, akan tetapi hanya bisa dibangun dalam demokrasi terpimpin, berencana semesta dan dilindungi UUD 1945.
Unsur-unsur dan kekuatan yang anti imperialisme kapitalisme dan liberalisme mutlak harus dipupuk, dipersatukan dan tidak usah dipertentangkan. Demokrasi terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945 menyetop liberalisme dalam rangka lapangan politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan menutup pintu bagi imperialisme dan kapitalisme.
Anwar Sanusi dari PKI (tidak ada catatan)
M. A. Hanafiah dari Fraksi PKI berbicara tentang demokrasi terpimpin, UUD 1945, tuntutan dibentuknya kabinet presidensial Sukarno-Hatta dan Piagam Jakarta.
Tentang Demokrasi Terpimpin, PKI bisa menerima dan yang dikehendaki PKI adalah demokrasi gotong-royong anti kapitalisme dan feodalisme. Selama empat belas tahun kita merdeka, kita tidak maju dalam mempraktikkan demokrasi itu. Selama ini kita menghadapi dua macam pengalaman yaitu kejadian-kejadian yang mengarah ke diktator dan fasisme seperti peristiwa 17 Oktober, perebutan kekuasaan oleh Zulkifli Lubis dan kawan-kawan dan pemberontakan PRRI. Kedua adalah kejadian yang mengarahkan ke anarkhi yang mengacaukan seluruh lapangan kehidupan.
Tentang UUD 1945, berdasarkan kenyataan sekarang, hendaknya para penentang kembali ke UUD 1945 itu memperhitungkan langkah-langkahnya, karena ternyata telah mempunyai pengaruh yang luar biasa di semua lapisan Angkatan Perang termasuk di Kepolisian, organisasi massa bahkan sampai menembus tembok-tembok penentangnya. Sebagai contoh dikemukakannya adanya pernyataan tertulis dari Masyumi Majalengka dan Tegal serta SBII yang mendukung putusan kembali ke UUD 1945, dan mereka turut serta dalam pawai-pawai raksasa.
Berbicara soal tuntutan dibentuknya Kabinet Presidensial Sukarno-Hatta, pembicara mengemukakan bahwa keasaannya lebih merugikan Bung Karno sendiri daripada menguntungkannya, terbukti dengan adanya Maklumat Politik November 1945 dan Hatta telah meratakan jalan akan terciptanya perjanjian KMB.
Menurut Hanafiah, Bung Karno telah lebih sepuluh tahun memberi kesempatan kepada politik yang bertentangan dengan pemikiran revolusionernya, membiarkan wibawanya dipergunakan dengan sebutan dwitunggal. Akan tetapi beberapa tahun terakhir ini setelah bencana-bencana akibat politik Hatta dan Sjahrir itu tidak tertahankan lagi oleh rakyat dan Bung Karno sendiri, maka sesuai dengan wataknya yang dekat dengan rakyat banyak, Bung Karno mulai memutar kembali roda Republik ke jurusan yang dituntut semangat Revolusi Agustus 1945, ke jurusan yang dituntut rakyat, yaitu pembatalan KMB dan Manifes Politik November 1945.
Tentang Piagam Jakarta, pembicara hanya sedikit menyinggungnya dan PKI menyimpulkan tidak menaruh keberatan terhadap perumusan sebagaimana yang tertera dalam rencana Piagam Jakarta.
Mr. Sudarisman Purwokususumo dari Fraksi PNI.
Dalam bagian penutup dari pidatonya, pembicara mengajukan pertimbangan pada sidang pleno Konstituante dan Pemerintah supaya UUD 1945 segera diputuskan lebih dahulu sebagai UUD Republik Indonesia dan setelah itu menyempurnakan Piagam Bandung bagi segi yuridis formalnya maupun segi materinya.
UUD 1945 yang telah diputuskan sebagai UUD RI dan Rancangan Piagam Bandung disempurnakan seperlunya, perlu dipertimbangkan agar Piagam Bandung dijadikan bab dalam UUD sebagai “aanhangsel” dari UUD 1945.
Akhirnya pembicara menegaskan pendiriannya bahwa PNI meletakkan harapannya pada pelaksanaan UUD 1945 terutama pada pilihan personalia yang akan melaksanakannya.
Komentar
Posting Komentar