Homo Ludens

Selain disebut sebagai zoon politicon, homo socius, economic animal, rational animal manusia juga disebut sebagai homo ludens atau makhluk yang bermain. Dan permainan yang sedang digandrungi untuk ditonton di negri ini adalah permainan sepakbola sebanding dengan kesukaannya menonton permainan politik antara kubu Jokowi dan dan non Jokowi.

Tentang permainan sepakbola saya sudah mengenalnya sejak saya kecil. Di kampung nenek saya selalu ada sebuah lapangan sepakbola di setiap desa. Tapi bermain sepakbola bisa di mana saja. Bisa di halaman sekolah di sawah saat musim kemarau atau di hutan karet di sela sela menyabit rumput. Bolanyapun dibuat sendiri dari getah karet yang disadap.

Di SMP Negri LIV Filial saya jarang bermain sepak bola karena sekolah saya di seputaran Roxy Jakarta lebih memberi pelajaran main voli atau bola basket dan berenang. Meski begitu saya suka diajak bermain bola di sebuah lapangan di Karang Tengah yang berbatasan dengan Cinere. Di sinilah saya menyadari bahwa bakat saya tidak di sepak bola. 
Baru di SMEA PPS yang terletak di kaki Gunung Lawu ibu Mar sesekali menyuruh kami main bola. Kami harus berjalan kaki sekitar 1 km dari sekolah menuju lapangan bola yang merangkap menjadi tempat upacara bendera tingkat kecamatan. Sesekali tempat itu disulap menjadi tempat pertunjukan dangdut semisal grup Ken Arok. Pernah juga jadi tempat main akrobat.

Ada yang menelusuri jejak olah raga sepakbola sampai ke peristiwa Karbala di mana Husein bin Ali bin Thalib cucu Nabi Muhammad SAW dibunuh dengan dipenggal kepalanya dan kepala itu dijadikan permainan seperti sepak bola.
Tetapi melihat Iran sebagai pusat Syiah pun bermain bola di Rusia di samping Arab Saudi sebagai dedengkot Wahabi maka rasanya tidaklah benar bahwa permainan bola bermula dari Karbala.

Di rumah saya nyaris semuanya suka nonton sepak bola. Dulu kami membuat upacara nonton bola di depan teve dengan segelas cola dan sebungkus kacang asin. Terakhir saya nonton sepakbola Anniversary Cup di GBK karena diajak bapak dan tetangga. Si bungsu bahkan kiper futsal dan kritikus sepakbola. Sejak SD sudah jadi penggemar fanatik Persib dan menulis di kolom Pikiran Rakyat berhadiah tiket gratis nonton bola. Semalam saya dia sempat berdebat saat menganalisis pertandingan. Analisisku persis seperti analisis anchor tapi analisisnya beda. Bersama kakaknya mereka fans berat Liverpool. Ibunya pernah jadi pemain sepakbola perempuan Putri Parahyangan yang berpusat di lapangan polisi Tegallega. 
Kebetulan temannya vice manager Persib jadi bisa nonton di tribun VVIP di Stadion Jalak Harupat bersama teman teman sekolahnya.

Di musim piala dunia kali ini nampaknya keluarga saya mendukung Inggris. Tapi saya lebih cenderung mendukung Perancis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Dari Seorang Teman

UNCI (United Nations Commission on Indonesia)

Museum Sebagai Jendela Kebudayaan